• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Pawang Hujan Mandalika: Syirik atau Memalukan?

Hidup di dunia memang penuh dengan paradoks pro kontra yang perlu disikapi dengan bijaksana, bukan latah serta merendahkan satu dengan yang lainnya. Apapun metode mendapatkan kebenarannya, toleransi menjadi salah satu kuncinya

Yulinar Aini Rahmah Yulinar Aini Rahmah
06/04/2022
in Pernak-pernik
0
Pawang Hujan

Pawang Hujan

214
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sekitar pukul 20.51 WIB, tercatat 15,6 ribu warga twitter masih ramai mencuitkan kata “memalukan” hingga menjadi trending topik pada malam selepas perhelatan moto-GP berakhir. Cuitan ini merujuk pada kejadian seorang wanita yang dianggap menjalankan sebuah ritual sebagai pawang hujan untuk menghentikan hujan di tengah area sirkuit Mandalika pada Minggu (20/3).

Kejadian pawang hujan ini tentu saja menimbulkan ramai perbincangan. Selain karena disaksikan masyarakat dunia, ritual pawang hujan ini pada akhirnya menimbulkan pro-kontra di tengah netizen Indonesia yang memang senang memancing huru-hara.

Berdasarkan berita yang dirilis CNN Indonesia, pawang hujan yang diketahui bernama Raden Roro Istiati Wulandari memang diizinkan panitia memasuki arena sirkuit untuk meredakan hujan yang menyebabkan pertandingan belum juga dimulai. Dalam aksinya, perempuan tersebut terlihat membawa sebuah mangkuk berwarna emas yang ia putari dengan sebuah pengaduk dan tidak ketinggalan juga rapalan doa yang keluar dari mulutnya.

Hal ini menggelitik untuk kita bicarakan. Di era 5.0, fenomena pawang hujan yang dianggap sebelas dua belas tugasnya dengan seorang dukun, menjadi sebuah persoalan yang menimbulkan tanda tanya tersendiri. Dalilnya bermacam-macam. Ada dalil teknologi, “Sudah ada teknologi, lalu mengapa harus kembali lagi ke zaman pra-teknologi?”. Ada pula dalil syirik tak islami.

Tidak jauh dari dunia Twitter, masyarakat Facebook-pun tidak kalah ramai dengan berita pawang hujan ini. Salah satu yang membuka cakrawala saya adalah status dari Dr. Arif Maftuhin, seorang dosen Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat ini sedang menjalani posdoktoral di Hebrew University Yerussalem.

Baca Juga:

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Tana Barambon Ambip: Tradisi yang Mengancam Nyawa Ibu dan Bayi di Pedalaman Merauke

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Temu Keberagaman 2025: Harmoni dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Dr. Arif Maftuhin menuliskan tentang ritual meminta dan menolak hujan dari perspektif agama-agama yang pada intinya hanya bisa dipahami sebagai sebuah “percaya (iman) atau tidak”, bukan sebagai sebuah pemahaman akal.

Sebelum menyimpulkan hal tersebut, Dr. Arif Maftuhin membuka statusnya dengan punchline di awal sebagaimana berikut: “Kalau sakit dan minta tolong dukun disebut syirik. Kalau sakit dan minta tolong dokter disebut berobat”.

Punchline ini seakan menggambarkan ke-paradoks-an. Sama halnya dengan jika menolak hujan dengan pawang hujan dianggap syirik sedangkan menolak hujan dengan menggunakan TMC (teknologi modifikasi cuaca) diangap canggih. Kedua fenomena tersebut seharusnya bukan-lah sebuah paradoks yang harus dipertentangkan. Keduanya berada pada posisinya masing-masing dalam sebuah perjalanan lahirnya sebuah ilmu pengetahuan.

Dalam kajian filsafat ilmu, fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori Truth and Method milik filsuf Jerman, Hans Georg Gadamer. Dalam Truth and Method, Gadamer menemukan sebuah pertentangan antara kebenaran dan metode. Metode secara bersamaan bisa menimbukan hambatan sekaligus menghasilkan kebenaran (ilmu pengetahuan).

Sebuah kebenaran yang selanjutnya menghasilkan ilmu pengetahuan bisa didapatkan dari adanya sebuah metode yang telah terverifikasi melalui sistematika atau prosedur ilmiah. Pengobatan ala dokter dikatakan (divalidasi) sebagai metode yang sah dan bernilai positif karena didalamnya mengandung serangkaian prosedur ilmiah yang disebut diagnosis.

Sama halnya dengan menangkal hujan melalui TMC. Laman Pusat Sains BRIN (BPPT) menjabarkan bahwa TMC merupakan teknologi yang dapat digunakan untuk menambah dan mengurangi intensitas curah hujan pada suatu daerah dengan menerapkan mekanisme proses lompatan (jumping process mechanism) dan mekanisme persaingan (competition mechanism). Dua rangkaian proses inilah yang disebut sebagai metode yang selanjutnya divalidasi sebagai sebuah kebenaran (truth). Sehigga metode TMC dianggap sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mapan.

Berbeda dengan cara-cara yang digunakan dukun atau pawang hujan yang notabenenya merupakan cara-cara tradisional (tanpa metode) yang mengandalkan pengalaman yang berulang (dalam bahasa jawa dikenal sebagai ilmu titen) atau secara ilmiah selanjutnya disebut sebagai observasi (pengamatan berulang-ulang).

Tidak ada sistematika metode jelas yang digunakan sehingga praktis, segala apa yang dihasilkan dukun atau pawang hujan akan menjadi sesuatu yang tidak ilmiah, tidak canggih, mengada-ada, tidak perlu dipercaya serta asumsi negatif lainnya.

Disinilah letak metode sebagai sebuah hambatan. Tidak adanya metode, selanjutnya dianggap menjadi tidak lagi sebuah kebenaran. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Penggunaan jasa dukun atau pawang hujan pada masyarakat kita hingga saat ini masih akan terus ada.

Hal ini tentu bagian dari rangkaian sistem kepercayaan, adat dan budaya yang tidak terpisahkan. Selama dalam batas norma agama, fenomena tersebut sah-sah saja sebagai sebuah kebenaran yang masih dilakukan. Tidak perlu dibesar-luaskan menjadi sesuatu yang seakan-akan menyimpang.

Dari dialektika singkat tentang pawang hujan tersebut, tulisan ini ingin membawa pesan bahwa tidak perlu latah melihat sebuah fenomena. Sebab sejatinya hidup di dunia memang penuh dengan paradoks pro kontra yang perlu disikapi dengan bijaksana, bukan latah serta merendahkan satu dengan yang lainnya.

Apapun metode mendapatkan kebenarannya, toleransi menjadi salah satu kuncinya. Ojo gumunan tur ojo gampang kepincut (jangan mudah takjub dan jangan mudah tergiur), begitu pepatah Jawa membahasakannya. []

 

 

 

 

Tags: Ilmu PengetahuanMandalikaMetodologiNusantaraPawang HujantoleransiTradisi
Yulinar Aini Rahmah

Yulinar Aini Rahmah

Terkait Posts

KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kebangkitan Ulama Perempuan

    Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tuhan Menyayangi Perempuan: Melihat Maksud Tuhan Di Balik Kodrat Haid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version