Pada 12 April 2019, Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional bersama Kemenetrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) dan DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta mengadakan pelatihan fiqh perlindungan anak. Acara yang diselenggarakan di Hotel Millenium, Jakarta, ini dihadiri 30 peserta perwakilan dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DKI Jakarta, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dan HIMI Persis. Acara ini diselenggarakan selama tiga hari mulai dari 12 April hingga berakhir pada tanggal 14 April 2019.
Adanya pelatihan mengenai fiqh perlindungan anak ini dilatarbelakangi banyaknya kasus perkawinan anak yang terjadi di Indonesia. Bahkan menurut hasil penelitian yang dilakukan UNICEF pada 2016 Indonesia menduduki peringkat ke-7 tertinggi di dunia dan ke-2 di ASEAN untuk kasus perkawinan anak.
Memang, perkawinan anak nampaknya menjadi hal yang dipandang lumrah di Indonesia, belum lagi masyarakatnya yang mayoritas muslim menggunakan dalil agama dalam membolehkan perkawinan anak ini. Berpegang pada hadis riwayat Hisyam bin Urwah tentang pernikahan Rasulullah Saw. dengan Aisyah ra. yang pada saat itu usianya masih sembilan tahun. Padahal jika ditelisik lebih jauh, hadis ini memiliki banyak kelemahan sehingga tidak bisa dijadikan rujukan.
Lenny N. Rosalin, Deputi Menteri PP-PA Bidang Tumbuh Kembang Anak, mengatakan dampak utama perkawinan anak adalah menghambat capaian SDGs Goal 5 butir 5.3 (menghapuskan segala praktek-praktek yang membahayakan salah satunya perkawinan anak, dini dan paksa dan sunat pada perempuan).
Selain itu perkawinan anak dapat menghambat capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), faktor penyebabnya antara lain terhambatnya pendidikan, dampak kesehatan dan ekonomi.
Anak yang menjadi korban perkawinan di bawah umur akan kehilangan kesempatan untuk bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Selain itu dalam hal kesehatan, anak perempuan belum siap alat-alat reproduksinya untuk hamil dan melahirkan, sehingga sangat rentan terjadi kematian ibu. Selain pada kematian ibu, kehamilan anak juga berdampak pada kesehatan gizi anak/bayi yang dilahirkan dan juga bisa berdampak pada kematian bayi/anak.
Meluruskan Sejarah Usia Pernikahan Aisyah
Berbicara mengenai perkawinan anak dalam Islam, mayoritas muslim merujuk pada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Aisyah di usia enam tahun. Hadis lain menyebutkan sembilan tahun. Hal ini yang kemudian dijadikan landasan teologi membolehkan perkawinan anak. Akan tetapi jika diteliti secara keilmuan hadis, hadis tersebut mengandung banyak perdebatan dan kerancuan.
Seperti yang dijelaskan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah melalui video yang berjudul “Bagaimana Pandangan ‘Aisyiyah Terhadap Perkawinan Anak” yang diunggah pada akun Youtube resmi ‘Aisyiyah Pimpinan Pusat, bahwa hadis yang memiliki isi matan berbeda-beda ini secara sanad bermuara pada Hisyam bin ‘Urwah.
Hisyam tinggal di Madinah dan kemudian berpindah ke Iraq pada masa senjanya. Menurut satu riwayat, Hisyam telah mengalami kepikunan paska kepindahannya ke Iraq. Salah satu muridnya yaitu Imam Hanafi bahkan tidak menuliskan hadis yang diriwayatkan setelah kepindahannya ke Iraq ini.
Dilanjutkan bahwa dalam sejarah menurut Ath-Thabari seluruh anak Abu Bakar lahir sebelum turunnya wahyu. Sehingga jika dikalkulasikan usia Aisyah pada saat menikah dengan Rasulullah Saw. diperkirakan 16 atau 17 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw. tidak menikahi Aisyah dalam usia anak, melainkan pada saat usia Aisyah sudah menginjak usia dewasa dan sudah dapat mengambil keputusan sendiri.
Tidak banyak orang tahu mengenai kebenaran di balik hadis tersebut dan bagaimana fakta sejarah yang sebenarnya. Maka diadakannya pelatihan Fiqih Perlindungan Anak ini salah satunya adalah sebagai upaya mengajak anak muda dalam hal ini mahasiswa untuk menjadi pionir dalam pencegahan perkawinan anak. Menyebarluaskan fakta sejarah yang sesungguhnya kepada masyrakat khususnya muslim agar tidak ada lagi pembenaran perkawinan anak dengan melandaskan pada dalil agama.
Strategi Pencegahan Perkawinan Anak
Pada hari terakhir pelaksanaan pelatihan dibahas mengenai peran anak muda dalam mengampanyekan pencegahan perkawinan anak melalui pemanfaatan media sosial. Melalui media sosial pesan-pesan akan dengan mudah tersampaikan, melihat bahwa pengguna media sosial telah mencapai berbagai kalangan usia dan gender. Dikemas dengan berbagai cara yang unik kampanye pencegahan perkawinan anak ini akan lebih menarik pengguna media sosial tanpa harus menghilangkan inti pesan.
Seperti yang dilakukan oleh para peserta pelatihan. Mereka membuat video kampanye dengan hastag #stopperkawinananak, dibalut dengan beragam scene video yang unik dan menarik, dengan durasi yang singkat menjadikan penonton mudah untuk memahami maksud dari video tersebut.
Selain itu peserta pelatihan pun diminta untuk berkreasi lewat meme. Memadukan gambar dan kata-kata yang singkat dan unik untuk menyampaikan pesan #stopperkawinananak. Salah satu meme yang berhasil memikat para fasilitator adalah kutipan kata-kata yang ditulis oleh Nurul Amelia salah satu peserta pelatihan,
“Aku hanya ingin bermain rumah-rumahan bersama teman, bukan membangun rumah tangga bersama orang. Jangan Paksa Aku!”
Adanya pelatihan ini diharapkan mampu memberi cara pandang baru mengenai perkawinan anak. Kemudian para peserta yang terdiri dari kalangan mahasiswa ini, nantinya mampu menjadi agen perubahan di lingkungan masyarakat terkait isu perkawinan anak. Tentunya acara semacam ini harus dapat diadakan kembali, sebagai salah satu upaya kampanye menekan angka perkawinan anak bahkan sampai tahap menghapuskan perkawinan anak.[]