Mubadalah.id – Dalam berbagai kesempatan, guru yang sangat saya cintai: Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, senantiasa mengaitkan setiap relasi manusia, mulai dari relasi njelimet anatara pemerintah dan rakyat hingga relasi indah suami istri dengan menggunakan Q.S. An-Nas. Secara khusus, pemikiran Cak Nun tentang relasi pasutri.
Yang paling disoroti adalah penempatan 3 sinonim kata Tuhan yang dijejerkan pada setiap ayatnya dengan masing-masing maknanya yang tentu saja tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Oh iya, setiap kali hendak membahas hal ini, Cak Nun selalu mengungkapkan dulu bahwa beliau tidak pernah merasa berkuasa atas istrinya, Bu Novia Kolopaking.
Berdasarkan pemikiran Cak Nun, Bu Novi selalulah merupakan individu merdeka dengan segala otoritasnya yang tahu jelas mengenai hak dan kewajibannya sebagai seorang manusia, perempuan, istri, dan ibu. Dan kesemua haknya haruslah tetap didapat dan tidak tereduksi atas nama kekuasaan beliau sebagai seorang suami.
Sebelumnya, disclaimer dulu. Saya bukan ahli tafsir. Tulisan saya di sini hanya menyampaikan kembali pemikiran Cak Nun: Emha Ainun Nadjib. Baiklaaah… mari kita mulai. Begini kata Cak Nun; Satu. Pada ayat pertama surat An-Nas itu Tuhan menempatkan diri-Nya sebagai Rabb: Kul audzu birabbinnas.
“Katakanlah aku berlindung kepada Rabb-nya manusia,” begitu kata-Nya. Makna Rabb sendiri meskipun secara umum masihlah tetap Tuhan, tapi memiliki sifat lebih signifikan terkait dengan pengayoman. Rabb adalah Pengayom, Pengasuh, Penjaga, Pengurus, Pengabul, tempat kita mengadu dan meminta.
Maka melalui pemikiran Cak Nun ini menyelaraskan Rabb dengan hubungan antar manusia yang saling kasih. Karena toh Tuhan saja menempatkan diri-Nya sebagai Rabb yang saling mengasihi dengan hamba-Nya hingga jika mau meminta perlindungan maka dengan sayangnya Dia akan memberikan tempat bernanung. Lha ini masa antar makhluk Tuhan kok mau saling sikut atau saling kuasa. Ya tydack mesra, kawanku… sama sekali tidak menyenangkan hati.
Kedua. Ayat selanjutnya berbunyi: Malikinnas.. “Rajanya manusia”. Nah ini, pemikiran Cak Nun sampai di sini saja diwanti-wanti bahwa Tuhan sengaja menempatkan kata ini pada ayat kedua adalah tentu saja karena Tuhan tidak mau sampai Raja dengan segala kekuasaanya dijadikan alat relasi melebihi kasih, apalagi tanpa kasih. Ambyarlah semua hidupmu dikuasai raja yang tidak mencintaimu dan tidak kamu cintai sama sekali. Tentu merupakan awal dari kesengsaraan.
Posisi Raja ini tidak perlu dikeluarkan seandainya posisi Rabb sebagai pengayom sudah cukup memenuhi seluruh jalan hidup makhluk. Taruhlah contoh saat kita membicarakan negara-negara ‘suri tauladan’, rasanya pada hampir setiap generasi, pastilah takkan melewatkan kisah kejujuran dari negara Jepang.
Yang katanya bahkan siapa pun yang meninggalkan barang atau duit sebanyak apa pun di bandara, meskipun si pemilik terserang amnesia dan baru kembali ke bandara tersebut untuk mengambil barang yang ditinggalkan setelah berminggu-minggu, maka barang tersebut niscaya akan tetap berada pada tempat semula tanpa bergeser sedikit pun. Tak perlulah ngomongin isinya yang sudah jelas tidak akan tersentuh.
Nah maksudku ini, ketika segalanya sudah bisa diselesaikan dengan rasa cinta dan pengembangannya yang indah, maka Malik tidaklah perlu beraksi. Kasus selesai dengan cara Rabb.
Lalu ketiga, pada ayat ke tiga berbunyi: Ilahinnas.. “Sembahan manusia”. Yang tentu saja kekuatannya sudah berada di atas level Raja. Jika raja menunjukkan kekuasaannya, maka tentu saja Yang Disembah sudah menunjukkan penaklukannya dengan segala ancaman yang mengintai jika tidak mau menurut.
Siapa sih yang akan bergerak tanpa ketakutan jika sudah begini? Atau yang lebih jauhnya, siapa sih yang akan merangkak dengan penuh cinta jika seperti ini? Dan memang tidak boleh ada salah satu yang merangkak dong jika kita lagi ngomongin hubungan antarmanusia.
Tentu saja sifat Ilah ini hanya berlaku untuk Tuhan kepada makhluk-Nya. Sebagaimana kata dua guru besar mubadalah kita: Kiai Faqih dan Bu Nyai Nur Rofiah yang senantiasa mengulang-ulang bahwa manusia, ketaatan mutlaknya hanya dan hanya berlaku untuk Allah semata. Tidak yang lainnya atas nama dan posisi apa pun juga.
Nah, pertanyaannya sekarang adalah: relasimu dengan semua lini di level mana? Jika dengan yang kamu anggap kekasih saja relasi kamu ada di level Malik maka mending mundur deh daripada kamu terjebak pelayan-majikan zone, kan ogah banget! Apalagi jika sudah memasuki ranah Ilah. Jiwa ragamu terlalu berharga jika dipertaruhkan buat hubungan gak manusiawi ini. []