Satu pelajaran yang saya dapat hari ini: Jika diri sendiri belum juga bahagia, bagaimana bisa membahagiakan orang lain? Ungkapan itu tiba-tiba menjadi begitu benar. Saya jadi terpikir betapa pentingnya parenting itu. Pentingnya parenting untuk mendidik anak sepertinya memang terasa saat kita secara langsung berhadapan dengan anak.
Saya termenung seketika saat menyaksikan seorang Ibu yang sedang marah pada seseorang lalu melampiaskan amarahnya itu pada anaknya. Dalam hati seakan ingin menegur, tapi apa daya, bukannya menyelesaikan masalah, mungkin hanya akan membuat saya diceramahi dan sebagainya, bahkan ada lagi kasus lain yang malah membuat ibu tersebut jadi tambah memarahi anaknya. Oke, lebih baik diam.
Memang sih, saya belum tahu rasanya menjadi orang tua. Dan karena itulah, berkali-kali saya merasa pembahasan yang berkaitan dengan tema parenting ini justru menjadi penting untuk saya pelajari. Ketidaktahuan dan keresahan saya (yang nantinya) akan menjadi orang tua-lah yang lagi-lagi membawa saya untuk berusaha lebih peka dalam memahami persoalan ini. Terlihat sepele, namun sebenarnya sangat penting dan butuh konsen serta kesabaran yang sangat banyak. Iya nggak bund? Hehe.
Kita, sepertinya memang sudah semestinya memperhatikan seperti apa karakter calon pasangan kita. Karakter, sifat dan watak adalah hal yang sudah melekat pada seseorang, inilah mengapa harus mengenal dulu mereka yang akan menjadi partner seumur hidup kita. Iya, seumur hidup. Makanya perihal memilih pasangan itu cukup menjadi hal yang sangat rumit buat saya.
Apalagi hanya mengandalkan kebucinan sesaat dan cinta buta, atau hal yang kekanak-kanakan lainnya. Atau juga, mengandalkan rupa dan apapun yang berbau materi. No, gak bisa. Makin kesini, saya lebih setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa menikah adalah perihal komitmen. Bagi saya, komitmen itu bukan main-main. Dua orang yang sudah saling sepakat untuk hidup bersama, tentunya sudah saling dewasa, dan selamanya tumbuh bersama. Dengan begitu, merawat apapun yang dimiliki bersama pun juga sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama pula.
Balik ke permasalahan awal mengenai parenting, tentu pasangan kita sangat menentukan seperti apa nantinya kondisi kita dalam merawat anak. Karena pada dasarnya, merawat anak adalah tanggung jawab bersama. Seriously, saya kadang geram sama mereka yang hanya melibatkan perempuan dalam merawat anaknya.
Padahal, yang merencanakan seorang anak untuk lahir ke dunia ini kan bukan hanya ibunya saja, toh. Bukannya ingin memprovokasi dan mendatangkan amarah. Cuman gimana ya, hampir setiap hari loh saya menyaksikan budaya patriarki seperti ini ada di mana-mana. Karena memang kita ini hidup di Negara yang masih patriarki, mau gimana lagi? Seenggaknya kita sadar dulu deh. Mau bilang gak ada gunanya koar-koar, itu biar masalah nanti.
Bicara mengenai kondisi, sebenarnya, merawat anak bukan hanya butuh kesabaran, ketelatenan, atau faktor materi saja. Saya percaya bahwa hal yang menjadi inti dari merawat seorang anak tidak semata-mata karena kesejahteraan hidup, ketercukupan finansial dan bisa memberikan segala yang anak inginkan. Lebih daripada itu, faktor utama agar seorang anak tumbuh dengan baik adalah rasa bahagia.
Bahagianya seorang Ibu, bahagianya seorang Ayah, dan juga bahagianya seorang anak, pada akhirnya akan menghadirkan kebahagiaan dalam proses merawat dan membesarkan anak, yang itu menjadi kunci keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Jika seorang Ibu dan Ayah bahagia saat mengurus dan mendidik anaknya, maka anak pun akan tumbuh dengan bahagia.
Bagaimana bisa kita memberikan sesuatu kepada orang lain jika kita tidak memilikinya, bukan? Sama seperti halnya kebahagiaan tadi, orang tua (sebagai pendidik), harus berada dalam kondisi bahagia dulu, barulah ia akan memberikan kebahagiaan itu pada orang lain, yaitu anaknya sendiri.
Tapi terkadang, beberapa orang tidak begitu tertarik dengan pembelajaran mengenai parenting, karena merasa itu adalah hal yang sepele dan tidak penting. Bahkan, saat ada aturan dari KUA yang mewajibkan adanya kelas parenting bagi calon pasangan yang akan menikah, hal tersebut justru seringkali mendapat respon yang tidak baik dari masyarakat. Kira-kira begini tanggapan mereka yang pernah saya dengar:
“Mau nikah kok diribetin, mau orang-orang pada zina aja apa?”
“Parenting kok lama banget, sertifikatnya gak bisa beli aja ya?”
Dan berbagai komenan lain oleh mereka yang merasa terganggu dengan aturan tersebut.
Padahal, hal itu akan berguna nanti, ya memang tidak akan terasa sekarang. Walaupun angka perceraian yang terjadi, bukan hanya semata-mata disebabkan karena apapun yang melibatkan kedua pasangan. Sebab memang bisa jadi masalah timbul dari hal-hal di luar dugaan. Akan tetapi, bukannya lebih baik mempersiapkan segala sesuatunya sedari awal? Lagipula, menurut saya proses belajar parenting ini, seharusnya dinilai bagus untuk merekatkan hubungan antar calon pasangan. Seru gak sih? Wkwk.
Well, kita semua sudah tahu bahwa perlu perencanaan untuk melahirkan seorang anak. Oleh karena itu, segala pertimbangan sebaiknya sudah dipersiapkan untuk merawatnya. Bukan saja hal-hal yang bersifat materi, namun juga segala yang dibutuhkan untuk merawat kondisi jiwanya kelak.
Ingat, kita akan berhadapan dan merawat seorang manusia. Menjaga dan membesarkan seorang anak dengan memperhatikan segala aspek kemanusiaan yang ada pada dirinya adalah bukti bahwa kita memanusiakan manusia, dan dengan itulah kita akan menciptakan generasi yang berkualitas di masa depan. []