Mubadalah.id – Dulu sekali, beberapa tahun lalu saya pernah mengikuti diskusi online yang pembicaranya mba Kalis Mardiasih seorang penulis dan aktivis gender. Saya ingat Mba Kalis mengatakan kecenderungan orang tua overprotektif terhadap anak perempuannya bisa jadi karena pernah mengalami kekerasan seksual. Atau mengantisipasi terjadinya kekerasan seksual. Sehingga orang tua sangat berhati-hati dalam pola penjagaannya.
Bahkan sebagai seorang kakak perempuan, saya sering tanpa sadar juga mengikuti pola asuh yang sama dari keluarga. Membatasi lingkungan bermain adik perempuan saya. Saya sering melarang adik perempuan saya untuk main dengan anak laki-laki yang berusia lebih tua darinya.
Kadang saya juga melarangnya untuk bermain di dalam rumah orang lain. Memang hal ini bukan tanpa alasan. Fenomena kekerasan seksual yang terus meningkat terhadap anak perempuan sebagai mayoritas korbannya. Mendorong saya untuk memastikan adik perempuan saya dalam keadaan aman.
Kekerasan berbasis gender yang terjadi terhadap perempuan dan anak secara masif membentuk budaya membatasi ruang gerak perempuan. Cara pandang sosial menganggap rumah sebagai tempat paling aman untuk perempuan dan anak perempuan.
Kita jarang sekali membahas ruang aman bagi anak laki-laki. Dengan kata lain kita fokus membangun batasan untuk keamanan perempuan dan anak ketimbang memberdayakan mereka untuk bisa melindungi diri untuk menciptakan ruang aman.
Batas Ruang Aman
Fokus pembatasan ruang terhadap anak perempuan secara kultur sosial adalah hal yang normal yang memang begitu seharusnya (menurut pandangan kebanyakan masyarakat). Fokus kita sibuk pada keamanan anak perempuan karena jika anak perempuan mengalami kekerasan seksual terlalu banyak kerugian yang akan timbul terutama cara pandang masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.
Pemberian kebebasan terhadap anak laki-laki karena anak-laki-laki yang mengalami pelecehan tidak begitu berdampak. Atau pun anggapan anak laki-laki jarang mengalami pelecehan. Padahal tidak sedikit anak kali-laki yang menjadi korban pelecehan.
Merujuk dari data Simfoni PPA dalam kurun waktu 2024 saja sudah ada sekitar 8.810 kasus kekerasan yang terjadi terhadap laki-laki. 92 persen lebih kasus kekerasan terjadi pada anak-anak dalam kisaran umur 0-17 tahun.
Cara Pandang Pengasuhan Anak Perempuan dan Laki-laki
Dalam hal apa pun pelecehan seksual terhadap anak perempuan mudah meninggalkan jejak secara fisik dan psikologis. Begitu pula terhadap anak laki-laki meski secara fisik tidak terdeteksi, namun secara psikologis akan memberi dampak yang sama.
Ketakutan orang tua terhadap pelecehan seksual terhadap anak perempuan dibanding laki-laki karena anak perempuan sering dianggap lebih rentan dan membutuhkan perlindungan lebih. Ada persepsi bahwa anak perempuan lebih lemah secara fisik dan emosional dibandingkan anak laki-laki.
Selain itu stereotip gender menandang perempuan sebagai sosok yang perlu mendapat perlindungan. Ini sering kali membuat masyarakat lebih fokus pada keselamatan anak perempuan dari pada anak laki-laki. Bahkan dalam media, sering kali cenderung menyoroti kasus pelecehan terhadap anak perempuan, yang dapat memperkuat persepsi bahwa anak perempuan lebih sering menjadi korban pelecehan.
Masyarakat sering kali memandang anak laki-laki sebagai sosok yang kuat dan tangguh, sehingga sulit untuk menerima bahwa mereka bisa menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini dapat menyebabkan korban merasa malu atau enggan untuk melaporkan kejadian tersebut.
Perlakuan Berbeda
Pada kasus lain, pelecehan terhadap anak perempuan cenderung lebih sering menjadi objek perhatian di masyarakat. Ini bisa disebabkan karena stigma yang lebih besar terhadap laki-laki yang menjadi korban pelecehan, sehingga banyak kasus pelecehan terhadap anak laki-laki yang tidak dilaporkan.
Selain itu bagaimana pandangan agama dan nilai moral yang memberikan perhatian khusus terhadap kesucian dan kehormatan perempuan. Hal ini membuat masyarakat lebih fokus pada pelecehan terhadap anak perempuan.
Kondisi demikian menciptakan batasan ruang terhadap perempuan dan kebebasan terhadap anak laki-laki. bahkan pengalaman pribadi saya sebagai anak perempuan yang memiliki batasan jam keluar dari keluarga dengan alasan keamanan.
Nenek pernah berkata “anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Jika anak laki-laki tidur di jalanan pun tidak menjadi persoalan berbeda dengan kamu anak perempuan yang jika mengalami pemerkosaan bisa menyebabkan kehamilan.”
Pentingnya Perhatian terhadap Anak Laki-laki
Padahal anak perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi menjadi korban pelecehan. Walau pun besar kecil kerugiannya jelas berbeda secara pengalaman perempuan dan laki-laki. Namun kekerasan seksual terhadap keduanya sama-sama berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup.
Penting untuk diingat bahwa pelecehan terhadap anak laki-laki juga merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian dan penanganan yang sama. Perlindungan terhadap anak haruslah inklusif dan mencakup semua gender.
Pelecehan terhadap anak laki-laki dapat memiliki dampak yang signifikan dan jangka panjang pada kesehatan fisik, emosional, dan sosial mereka. Seperti trauma dan krisis jati diri yang akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial.
Perlindungan dan perhatian terhadap anak laki-laki sama pentingnya terhadap anak perempuan. Pelecehan yang terjadi terhadap anak laki-laki juga perlu ada penanganan, sehingga tercipta kesetaraan ruang bagi anak laki-laki dan perempuan. []