Mubadalah.id – Fiqh Islam telah menjadi cahaya bagi umat berabad-abad lamanya. Namun, tidak semua umat merasakan cahaya itu dengan cara yang sama. Bagi penyandang disabilitas, hukum kadang terasa menjauh. Di sinilah Fiqh al-Murūnah datang membawa napas baru fiqh yang lentur, berjiwa kasih, dan menghargai keberagaman manusia.
Selama ini, fiqh Islam menjadi panduan utama dalam menuntun umat menjalani kehidupan spiritual dan sosial. Para ulama klasik merumuskannya dengan kedalaman ilmu dan kehati-hatian. Namun zaman terus berubah. Dunia kini bergerak cepat, dan manusia hadir dalam keragaman fisik, pengalaman, serta cara berpikir. Dalam perubahan itu, Fiqh al-Murūnah hadir bukan untuk mengganti hukum, tetapi untuk menghidupkan kembali ruh kasih di dalamnya. Ia mengajak hukum Islam menunduk pada kenyataan manusia bukan sebaliknya.
Dari Ketegasan ke Kelembutan: Menyelami Murūnah
Dalam bahasa Arab, murūnah berarti kelenturan bukan kelemahan, tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan prinsip. Para ulama perempuan KUPI menafsirkan kelenturan ini sebagai jalan ijtihad yang mengakui keberagaman kondisi manusia, termasuk difabel.
Sering kali, fiqh klasik memandang penyandang disabilitas hanya dari sisi “keringanan hukum.” Ulama memberikan dispensasi dalam ibadah, tetapi jarang menganggap mereka sebagai subjek pengetahuan. Fiqh al-Murūnah justru melihat pengalaman difabel sebagai pengalaman spiritual yang sah. Penyandang disabilitas menghadirkan cara beribadah, memahami dunia, dan memaknai hidup dengan keunikan yang memperkaya perjalanan iman umat.
Dengan semangat murūnah, fiqh tidak lagi kaku menilai siapa yang “mampu” dan siapa yang “tidak.” Hukum belajar dari manusia, bukan hanya mengatur manusia. Ia mengalir lembut seperti air tetap suci, meski menyesuaikan wadah yang ditempati.
Apakah Ini Mengubah Fiqh Klasik?
Sebagian orang khawatir, jangan-jangan murūnah berarti mengubah fondasi fiqh klasik. Padahal, murūnah justru menghidupkan kembali ruh kasih yang sejak lama ada dalam fiqh itu sendiri.
Para ulama besar seperti Imam al-Ghazali dan Imam al-Syathibi telah mengajarkan “maqāshid al-syarī‘ah” bahwa hukum Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan dan rahmah. Maka murūnah bukan pembaruan radikal, tetapi pengingat bahwa hukum harus berakar pada kasih dan berpihak pada manusia.
Bayangkan seorang penyandang disabilitas yang menunaikan salat dengan kursi roda, membaca Al-Qur’an dengan huruf Braille, atau mengikuti khutbah melalui bahasa isyarat. Semua itu bukan sekadar keringanan hukum, tetapi cermin dari rahmat Allah yang mengizinkan manusia beribadah sesuai kemampuannya. Fiqh yang lentur tidak kehilangan wibawa; justru ia menemukan kedekatan yang lebih dalam dengan kemanusiaan.
Ketika fiqh berhenti di teks, ia kering. Tetapi ketika dihidupi dengan murūnah, ia menjadi taman yang menumbuhkan kebaikan bukan pagar yang membatasi, melainkan jalan yang menuntun setiap manusia mendekat pada Tuhannya.
Kembali ke Ruh Kasih: Murūnah sebagai Rahmat
Fiqh al-Murūnah mengingatkan bahwa kekuatan Islam tidak terletak pada ketegasan hukumnya, tetapi pada kasih yang mengalir di balik setiap aturannya. Setiap ayat dan hukum lahir dari cinta Allah yang tidak membeda-bedakan bentuk tubuh, suara, atau cara berjalan seseorang.
Ketika seorang penyandang disabilitas menunaikan ibadah dengan caranya sendiri, kita sedang menyaksikan wajah murūnah ilāhiyyah. Yaitu kasih Tuhan yang menjelma dalam keberagaman manusia. Hukum dan rahmat saling berpelukan: hukum menuntun arah, rahmat memberi makna.
Maka, murūnah bukan ancaman bagi fiqh klasik. Ia adalah jantung yang menjaga hukum tetap hidup, berdenyut, dan berpihak pada manusia. Hukum tanpa kasih hanyalah teks yang beku, sedangkan kasih tanpa hukum kehilangan arah.
Fiqh al-Murūnah mempersatukan keduanya dalam keseimbangan yang lembut menghidupkan hukum, menghangatkan hati, dan menegaskan bahwa setiap manusia, termasuk penyandang disabilitas, berhak merasakan cinta dan keadilan Tuhan. []










































