Mubadalah.id – Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas), gagasannya pertama kali oleh Kepala BKKBN di era pemerintahan Presiden Soeharto. Gagasan ini mendapat sambutan baik, dan perayaannya resmi pertama kali pada 29 Juni 1993. Namun legalitas peringatan Harganas ini baru pada 15 September 2014, melalui Kepres RI No. 39 Tahun 2014 tentang penetapan 29 Juni sebagai Harganas dan tidak termasuk hari libur.
Tema pada peringatan Harganas tahun ini, masih berfokus pada target penurunan angka resiko stunting, “Ayo Cegah Stunting, Agar Keluarga Bebas Stunting”. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan peran dan fungsi keluarga di Indonesia dalam memperkuat ketahanan dan pembangunan nasional. Salah satunya percepatan penurunan stunting. Sebab tujuan tersebut akan lebih mudah tercapai melalui optimalisasi peran keluarga sebagai bagian terkecil di masyarakat.
Resiko stunting menurut WHO adalah kondisi balita yang memiliki status gizi kurang yang sangat kronik pada masa perkembangan dan pertumbuhan. Mulai dari gizi ibu hamil yang kurang (KEK) hingga melahirkan. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh si anak saja, dampak panjang dari stunting juga memiliki imbas pada pembangunan nasional. Hal ini karena kondisi yang muncul berpengaruh pada kesenjangan ekonomi dan kemiskinan antar generasi.
Data dan Fakta terkait Stunting
Secara umum jika kita lihat dari tahun 2018 hingga 2021, tren angka stunting terus mengalami penurunan. Terakhir di tahun 2021, angka stunting nasional berada pada angka 24,4% yang turun sekitar 3,3% dari 27,7% di tahun 2019. Namun angka ini masih cukup tinggi, sehingga percepatan penurunan stunting menjadi salah satu bagian dari tujuan pembangunan, dalam pemenuhan hak anak dari segi kesehatan.
Sedangkan Uliyanti menulis dalam Jurnal Vokasi Kesehatan yang menyebutkan setidaknya ada dua faktor stunting, yakni faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung ini berkaitan dengan nutrisi ibu saat hamil, nutrisi balita, serta penyakit infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebabnya oleh banyak hal. Antara lain water, sanitation, and hygiene (WASH) yang terdiri dari sumber air minum, kualitas fisik air minum, dan kepemilikan jamban.
Benarkah Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan Berpengaruh pada Resiko Stunting
Berdasarkan faktor tidak langsung di atas, kualitas lingkungan khususnya air minum yang kita konsumsi juga dapat berpengaruh terhadap meningkatnya resiko stunting. Dalam Permenkes RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010 terkait persyaratan air minum yang aman. Berdasarkan parameter tidak keruh, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna. Hal ini dilihat dari segi fisika, mikrobiologi, kimiawi, dan radioaktif pada air minum tersebut.
Selain itu, personal hygiene yang kurang baik juga sangat beresiko menyebabkan stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Aisah (2019) memperlihatkan hasil bahwa jenis jamban, air bersih, dan kejadian diare memiliki hubungan dengan terjadinya stunting pada balita. Bahkan disebutkan pula, anak yang berasal dari keluarga dengan sumber air yang tidak baik dan jenis jamban yang tidak layak, beresiko 1,3 kali mengalami stunting.
Jika melihat kondisi lingkungan, khususnya sumber air dan sanitasi yang buruk sangat berpengaruh meningkatkan resiko stunting. Hal ini karena air menjadi kebutuhan vital bagi kehidupan sehari-hari manusia. Ketika air yang kita konsumsi dan gunakan berasal dari sumber air yang tidak terlindungi, maka akan sangat berpotensi menyebarkan penyakit seperti diare, muntaber, typus, dan sebagainya.
Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menjaga Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan
Selain membekali para calon pengantin dengan prekonsepsi sebelum menikah agar tidak beresiko stunting, pemahaman terhadap peran keluarga untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih sangatlah penting. Karena selain kondisi kesehatan ibu saat hamil dan pasca melahirkan, lingkungan di sekitarnya juga berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak nantinya.
Telah banyak terssebutkan di atas, faktor tidak langsung yang memengaruhi peningkatan resiko stunting adalah bagiamana menjaga kebersihan serta kesehatan lingkungan. Tentunya hal ini bukan menjadi tanggung jawab ibu saja untuk mengoptimalkan menjaga dan merawat anaknya, namun menjadi peran seluruh keluarga. Apalagi ketika tinggal bersama keluarga besar yang tentunya perlu adanya pemahaman bersama, bahwa kondisi lingkungan khususnya di rumah akan mempengaruhi pada perkembangan anak.
Ada beberapa hal kecil dan sederhana yang dapat kita biasakan di dalam keluarga untuk mencegah resiko stunting. Seperti, membiasakan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menggunakan jamban yang layak, membiasakan anak untuk buang air di kamar mandi, mengkonsumsi air minum yang layak, tidak merokok saat akan/sedang bermain dengan anak. Dan kebiasaan-kebiasaan kecil lainnya yang mulai kita biasakan untuk mengoptimalkan peranan keluarga dalam mencegah terjadinya stunting pada anak.
Keluarga sebagai tonggak pembangunan sudah seharusnya memiliki kesadaran, bahwa peranan dan fungsinya sangat kita butuhkan untuk mendukung dan mencapai tujuan baik pemerintahan, yakni dalam menurunkan prevelensi stunting nasional.
Namun, di samping itu hadirnya pemerintahan sebagai pemangku kebijakan juga perlu memperhatikan kesejahteraan dan ketahanan dari keluarga di Indonesia. Jika ada dukungan dan perhatian dari pemerintah, tentu akan berdampak pada tercapainya tujuan. Baik untuk pemenuhan hak tumbuh dan berkembang anak-anak Indonesia di masa depan.
Maka, refleksi Hari Keluarga Nasional ke-29 ini menjadi momentum penurunan angka stunting. Di mana bukan hanya sebatas program pemerintahan saja. Akan tetapi bagaimana seluruh elemen masyarakat dapat bekerjasama dan berkolaborasi, terlebih dalam mengoptimalkan peran dari keluarga. []