Mubadalah.id – Islam, sejak awal telah memosisikan manusia, baik laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk yang dimuliakan. Kesetaraan dan penghormatan terhadap martabat manusia menjadi prinsip dasar dalam setiap ajarannya. Sayangnya sebagian ajaran Islam yang luhur itu sering kali ditafsirkan secara sempit dan bias gender. Akibatnya, peran-peran biologis dan reproduktif perempuan kerap dijadikan alasan untuk menyingkirkan mereka dari ruang publik, atau dianggap sebagai bukti kelemahan mereka.
Padahal, jika kita menelusuri teks dan spirit Islam secara lebih mendalam, sebagaimana dalam pendekatan Qiraah Mubadalah oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, peran reproduktif perempuan justru merupakan bentuk kemuliaan dan penghargaan Tuhan terhadap perempuan, bukan bentuk keterbatasan.
Tubuh Perempuan dalam Pandangan Islam
Islam mempertimbangkan kondisi khusus tubuh perempuan yang memiliki rahim, yang pada masanya akan mengalami menstruasi dan menopause, bisa hamil selama sembilan bulan, serta memiliki kelenjar susu yang dapat menyusui selama dua tahun usia bayi. Semua hal ini bukanlah “kelemahan”, melainkan anugerah besar dan bagian dari fungsi kehidupan yang Allah percayakan kepada perempuan.
Karena peran-peran biologis inilah, Islam memberikan berbagai bentuk rukhshah (keringanan) dalam ibadah. Misalnya, perempuan tidak wajib salat atau berpuasa saat menstruasi, atau memperoleh kemudahan tertentu ketika hamil dan menyusui.
Sayangnya, keringanan tersebut sering orang-orang tafsirkan sebagai bukti kelemahan iman atau rendahnya status perempuan daripada laki-laki. Padahal, menurut Kiai Faqih, tafsir yang semacam ini lahir dari pembacaan yang tidak proporsional terhadap teks agama. Beliau menegaskan bahwa “keringanan itu adalah bentuk penghargaan terhadap fungsi tubuh dan peran reproduktif perempuan, bukan bentuk diskriminasi.”
Allah Swt. justru sedang menunjukkan apresiasi dan dukungan moral agar perempuan memperoleh kenyamanan dalam menjalankan peran-peran reproduktifnya. Dengan kata lain, Islam memberikan ruang keleluasaan agar perempuan dapat menjalankan kodrat biologisnya tanpa kehilangan hak spiritual dan sosialnya.
Di sinilah muncul prinsip penting dalam perspektif mubadalah—yaitu keadilan. Ketika Islam memberikan penghargaan terhadap peran reproduktif perempuan. Maka secara moral, laki-laki memiliki kewajiban untuk mendukung dan memfasilitasi peran tersebut. Dukungan ini bukan hanya dalam bentuk empati, tetapi juga tanggung jawab konkret dalam ranah sosial dan struktural.
Kiai Faqih menulis bahwa “urusan perempuan dalam peran reproduktifnya bukan semata tanggung jawab perempuan sendiri, melainkan urusan kemanusiaan yang mesti kita gotong bersama.” []