Mubadalah.id – Di grup WhatsApp RT, unggahan Facebook, hingga video TikTok, ibu-ibu Indonesia, terutama yang berusia 30 hingga 50 tahun, menjadi aktor yang tak terduga dalam membentuk ruang digital. Sekilas, konten yang mereka bagikan terlihat biasa saja: resep masak, undangan pengajian, atau video lucu. Namun di balik itu semua, terdapat praktik sosial yang menunjukkan peran perempuan akar rumput dalam menjaga ketenangan sosial dan merawat perdamaian.
Tulisan ini mencoba menunjukkan bagaimana para ibu rumah tangga dan perempuan komunitas, melalui praktik keseharian di ruang digital, sejatinya telah menjalankan empat pilar utama dari agenda Women, Peace and Security (WPS), pencegahan konflik, perlindungan, partisipasi, dan pemulihan pasca-konflik.
Dalam konteks digital saat ini, konflik bisa dipicu oleh hal-hal yang tampak sederhana, sebuah pesan hoaks, unggahan penuh kebencian, atau isu SARA yang viral tanpa verifikasi. Perempuan, terutama ibu-ibu yang disebut sebagai digital immigrants (Kurniawan dkk, 2020), sering kali menjadi kelompok yang rentan menerima dan menyebarkan informasi semacam itu. Namun mereka juga bisa menjadi garda depan pencegahan.
Banyak dari mereka kini aktif menyebarkan klarifikasi, mengedukasi sesama anggota keluarga. Bahkan memproduksi konten digital yang menumbuhkan nilai damai dan toleransi. Mungkin dalam bentuk status WhatsApp, video pendek edukatif, atau komentar menyejukkan di grup media sosial. Ini adalah bentuk nyata dari upaya pencegahan konflik yang sering tidak diakui, tetapi sangat berdampak.
Bahkan, konflik bersenjata dan konflik sosial sama-sama menghadirkan risiko tinggi bagi perempuan: kekerasan seksual, pengungsian, dan stigma. Namun dalam ruang digital pun, perempuan menghadapi bentuk baru kekerasan, seperti perundungan siber, doxing, hingga ancaman seksual. Di tengah situasi itu, perempuan juga menunjukkan kemampuan luar biasa untuk melindungi komunitasnya.
Contohnya dapat dilihat dari pelatihan yang dilakukan oleh Perkumpulan Urang Banten (PUB) di Lampung, yang membekali perempuan dengan literasi digital untuk mengenali dan melawan hoaks. Ini membuat mereka mampu melindungi jaringan sosial di sekitarnya dari informasi yang memecah belah.
Dari Obrolan Dapur Menjadi Narasi Publik
Perempuan telah lama memiliki jaringan sosial informal, dari warung sayur, pengajian, hingga arisan. Kini, jaringan ini bermigrasi ke media sosial. Obrolan dapur berubah menjadi opini publik. Mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga produsen narasi yang membentuk cara pandang publik terhadap isu-isu penting.
Riset Fiona Suwana (2016) terhadap komunitas IWITA dan FemaleDev menunjukkan bagaimana perempuan mampu menjadi kreator konten yang aktif membangun wacana damai, toleran, dan memberdayakan. Di sinilah letak partisipasi strategis perempuan, bukan di panggung formal, tetapi di ruang-ruang digital akar rumput yang nyata.
Bahkan, saat terjadi konflik atau ketegangan sosial, perempuan biasanya menjadi penopang utama pemulihan. Mereka memastikan dapur tetap menyala, anak-anak tetap belajar, dan hubungan sosial tetap berjalan. Di era digital, bentuk pemulihan ini terus berkembang dalam bentuk berbagi cerita komunitas, membangun solidaritas daring. Hingga menciptakan ruang aman secara virtual.
Perempuan tidak hanya merawat keluarga, tapi juga menjadi penjaga memori sosial dan penyembuh luka-luka kolektif yang ditinggalkan oleh konflik dan polarisasi.
Oleh karena itu, agar gerakan digital perdamaian ini terus tumbuh, setidaknya ada tiga hal penting yang harus kita perkuat:
Pertama, akses dan pelatihan berkelanjutan. Banyak perempuan, terutama di daerah pedesaan, masih belum memiliki akses internet yang memadai atau pelatihan digital yang berperspektif gender dan perdamaian.
Kedua, fasilitas produksi konten. Banyak perempuan punya cerita dan pengetahuan yang ingin ia bagikan. Namun tidak memiliki alat, seperti ponsel yang memadai, paket data, atau ruang aman untuk berkarya.
Ketiga, perlindungan hukum dan pengakuan sosial. Perempuan yang aktif di ruang digital sering menjadi sasaran kekerasan daring. Namun perlindungan hukum dan pengakuan terhadap kerja mereka masih minim. Kita perlu sistem yang memberi perlindungan dan dukungan nyata.
Perdamaian Dimulai dari Grup WhatsApp
Dengan begitu, perdamaian tidak selalu lahir dari meja diplomasi. Ia juga dibangun dari grup WhatsApp RT, dari status-status singkat yang mengajak berpikir jernih, dari konten TikTok yang menyindir kebencian dengan humor, dari obrolan pengajian yang berubah menjadi dialog lintas iman.
Perempuan, dalam kesahajaannya, sedang menjalankan mandat besar dari agenda WPS. Mereka mencegah konflik, melindungi komunitas, berpartisipasi aktif, dan memulihkan luka sosial. Mereka mungkin tak mengenakan jas diplomatik atau tampil di forum internasional, tapi lewat layar ponsel, mereka sedang merawat perdamaian. Dan itu layak kita hargai, akui, serta dukung bersama. []