Mubadalah.id – Dahulu, ada perempuan muslim tapi tidak berjilbab kita anggap tidak baik. Sudah berjilbab, tapi berpakaian tidak sesuai dengan konsep keinginan persepsi kita anggap buruk. Sekarang, sudah mengenakan jilbab dan berpakaian sopan tapi jilbabnya melingkar di leher kita anggap menyalahi aturan Islam (tidak syar’i). Bahkan, ada salah satu Uztad membuatkan istilah sebagai “jilbab sakaratul maut”—untung tidak ditambahi “su’ul khatimah”.
Padahal, Islam itu ajaran yang sangat demokratis. Tidak pernah ada ajaran untuk hal penghakiman dan menyalah-nyalahkan. Ini tentu tidak berarti Islam sangat longgar dan tidak tegas. Justru karena Islam hadir lewat penalaran akal yang logis dan argumentatif.
Islam, dengan Al-Qur’an dan Hadist-nya, itu sebagian besar adalah ilmu, yang dogma itu hanya sebagian kecil saja yang berkaitan dengan ibadah-ibadah yang sifatnya mahdlah, seperti salat, zakat, haji dan dst. Selebihnya adalah bab muamalah, bab ilmu.
Memang, anjuran hijab dalam, yang kemudian kita terjemahkan dengan penggunaan jilbab dimaksudkan untuk menjaga muru’ah seorang perempuan. Tapi soal model jilbabnya itu tergantung kecakapan, kedewasaan dan kultur masing-masing perempuan. Islam tidak ikut mengaturnya.
Bagian terpentingnya adalah menjaga muru’ah, misalnya lewat penjagaan aurat. Dan, aurat sendiri sesungguhnya adalah sesuatu yang bukan hanya sekadar bermakna materi. Tetapi lebih menyublim sebagai sebuah kepribadian atau akhlak lahir batin seorang perempuan.
Maksud saya, harus ada kesambungan cara pikir antara berhijab dengan keinginan untuk menjadi pribadi yang baik. Silahkan mana yang kita utamakan lebih dulu. Boleh Anda misalnya, menjadi pribadi yang baik dulu baru kemujian berhijab, atau boleh men-trigger diri dengan memakai hijab supaya terpantik untuk menjadi pribadi yang baik.
Tentu pernyataan saya tersebut sangat bisa kita debat. Tapi, yang jelas urusan jilbab tidak perlu terkooptasi. Misalnya hanya karena model pemakaiannya tidak sesuai dengan persepsi keinginan kita lantas kita menyebutnya menyalahi aturan Islam. Toh, urusan orang memakai jilbab bisa sangat kompleks faktor, dan analisinya.
Hijab dan Seluk-Beluk Perjalanannya
Ada pengaruh paradigma hijab dalam nuansa sejarah yang sangat kolonialis. Hijab telah terpolitisasi dan mendapatkan perhatian yang signifikan sejak abad ke-19, terutama dalam konteks masyarakat Muslim. Periode ini melihat penetapan hijab sebagai simbol masyarakat Muslim oleh penguasa kolonial di Timur Tengah.
Konteks historis ini telah memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan penggunaan hijab di berbagai belahan dunia. Dalam hal ini, hijab memang menjadi identitas, tetapi sebagai identitas yang kita paksakan secara politis.
Selain itu, praktik menutup kepala (hijab) sesungguhnya tidak hanya ada di dalam Islam, dan telah menjadi hal yang umum di komunitas Yahudi, Kristen, dan Hindu. Namun, hijab telah menarik lebih banyak kontroversi dan perhatian dalam kaitannya dengan Islam sejak abad ke-19.
Hal ini sebagian penyebabnya oleh keragaman interpretasi dan praktik di dalam Islam itu sendiri. Yakni dengan beberapa orang menganggap hijab sebagai kewajiban agama yang kita narasikan secara ekstrem dan kaku, sehingga malah menciptakan huru-hara.
Hidup di era modern dalam abad seperti sekarang ini, budaya populer jelas juga ikut andil dalam pembentukan munculnya ragam fenomena hijab, termasuk munculnya model jilbab cekek leher.
Di kota-kota metropolitan global, kita bisa melihat ragam model jibab yang mencerminkan pengaruh tren masyarakat modern dan terversifikasi komunitas Muslim di seluruh dunia. Fenomena ini telah mendorong banyak diskusi yang lebih luas tentang hijab, baik dalam dimensi budaya, agama, dan politiknya.
Tren dan Budaya Populer
Hijab sebagai bagian dari tren budaya populer sekaligus menunjukkan bahwa hijab telah menjadi elemen penting dalam budaya populer, khususnya di Indonesia. Hal ini terutama terjadi setelah era reformasi pada tahun 1998, yang memberikan kebebasan bagi individu untuk berpakaian sesuai dengan ajaran Islam, termasuk mengenakan hijab.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan pesantren atau kelompok masyarakat yang berbasis Islam, tetapi juga menyebar ke semua lapisan masyarakat, dari bawah hingga atas.
Hijab telah menjadi bagian dari dunia fashion dengan berbagai tren dan gaya populer di kalangan industri model. Media massa memainkan peran penting dalam mengenalkan tren busana Muslim melalui pemodelan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh terkenal, selebriti, bahkan pejabat tinggi. Masyarakat pun akhirnya ikutan meniru gaya busana yang media massa tampilkan tersebut, sehingga hijab berangsur-angsur menjadi bagian dari budaya populer.
Budaya populer, termasuk gaya berhijab, kita anggap sebagai gaya hidup bagi sebagian masyarakat, yang juga memengaruhi nilai spiritualitas hijab itu sendiri sebagai komoditas dengan nilai ekonomi yang tinggi. Ini menjadi topik unik dan menarik. Di mana media massa memiliki pengaruh besar terhadap penentuan perilaku masyarakat, termasuk dalam meniru gaya berpakaian yang seolah-olah dianggap dapat memberikan identitas tertentu bagi seorang Muslimah.
Perempuan jelas menjadi bagian masyarakat yang paling terpengaruh oleh tren hijab yang populer, sebagai bagian dari gaya hidup modern. Sehingga, fashion Muslimah berkembang pesat dan menjadi gaya hidup bagi sebagian besar perempuan. Budaya pop, yang sering kali kita anggap sebagai budaya yang praktis, pragmatis, dan instan, membawa pergeseran dalam makna gaya berbusana Muslimah.
Kita akhirnya tidak bisa memungkiri bahwa hijab telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya populer di Indonesia, yang terpengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan politik, media massa, dan dinamika sosial-ekonomi. Ini sekaligus menunjukkan bahwa hijab pada akhirnya tidak hanya bermakna sebagai penutup tubuh atau aurat, tetapi juga sebagai identitas modernitas dan gaya hidup yang dianggap modern bagi individu.
Perempuan dan Identitas Yang Sulit
Saya pikir bicara soal perempuan adalah bicara tentang sesuatu yang abstrak sekaligus rumit. Baik dalam konotasinya yang positif maupun yang sedikit negatif. Berikut hal-hal yang berkaitan tentang diri, kepribadian dan kehidupan perempuan.
Perempuan akan selalu abstrak sejauh dia selalu merepresentasikan imajinasi kita yang tak akan pernah berhasil memahaminya. Perempuan juga akan selalu rumit sejauh pikiran kita yang tak akan pernah mampu untuk menafsirkan keinginannya.
Agaknya, saya menerka-nerka, bahwa dari keadaan seperti itulah kemudian “kejahatan simbolis” dimunculkan untuk mendudukkan perempuan. Bahkan lebih dari itu, menundukkan perempuan dalam posisi yang sangat subordinatif.
Dalam hal ini, patriarki menjadi “duta besar” yang bertanggung jawab atas seluruh permasalahan yang tak adil yang menimpa diri, kepribadian dan kehidupan perempuan. Patriarki adalah representasi dari kekhawatiran, ketakutan dan ketidakmampuan pikiran dalam memahami dan menafsir perempuan. Karena itu, patriarki itu sendiri kita ipaksa-hadirkan untuk “mendefinisikan identitas” perempuan.
Gerakan perlawanan kemudian bermunculan. Feminisme jelas mewakili “semangat suci” tersebut. Cita-citanya untuk membicarakan identitas perempuan dari sudut pandang dirinya sendiri bagaikan “nyala lilin” yang menerangi kegelapan audiotorium kehidupan.
Sesuatu yang merepresentasikan betapa minimnya ruang bagi perempuan untuk mengeskpresikan dirinya sebagai seorang individu, kelompok masyarakat, ibu kehidupa. Bahkan sebagai manusia. Identitas perempuan akhirnya selalu saja mengalami kekaburan.
Jilbab Miliki Makna yang Beragam
Kembali ke soal perempuan dan jilbab. Saya memahami memang, bahwa hubungan antara perempuan dan jilbab sebagai hubungan identitas yang sering kita permasalahkan. Pertama-tama, penting untuk kita ingat bahwa identitas adalah sesuatu yang sangat personal. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan bagaimana mereka ingin mengidentifikasi diri mereka sendiri, termasuk dalam konteks penggunaan jilbab.
Penggunaan jilbab dalam hal ini, berposisi sebagai alat identitas dan pengembangan subjektivitas si perempuan itu sendiri. Maksudnya, jilbab atau hijab dapat kita anggap sebagai alat yang memungkinkan perempuan Islam untuk mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai subjek yang beragama atau sebagai genuine seorang perempuan. Ini menunjukkan bahwa jilbab dapat memiliki makna yang beragam dan tidak terbatas pada satu dimensi, baik secara liberatori maupun opresif.
Kedua, dalam banyak masyarakat, penggunaan jilbab sering kali kita hubungkan dengan nilai-nilai agama, budaya, atau tradisi tertentu. Bagi sebagian perempuan, mengenakan jilbab bisa menjadi ekspresi dari keyakinan agama dan identitas mereka sebagai seorang Muslim.
Sementara bagi yang lain, itu mungkin menjadi bagian dari warisan budaya atau tradisi keluarga mereka saja. Karena itu, penting untuk kita hormati dan kita hargai bahwa alasan di balik penggunaan jilbab bisa sangat bervariasi dan kompleks.
Persoalan muncul ketika penggunaan jilbab kita paksakan atau kita permasalahkan secara eksternal. Ini bisa terjadi dalam berbagai konteks, termasuk dalam lingkungan sosial, keluarga, atau bahkan secara hukum dalam beberapa kasus.
Memaksa seseorang untuk mengenakan jilbab atau mengkritik mereka hanya gara-gara tidak sesuai dengan persepsi keinginan kita, juga bisa kita kategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap otonomi individu dan kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, saya ingin mengatakan, bahwa dalam konteks masyarakat yang beragam, penting untuk membangun lingkungan yang inklusif. Di mana setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan keyakinan dan nilai-nilai mereka sendiri dengan tanpa harus takut kita hakimi atau diskriminasi.
Ini juga berarti bahwa menghormati pilihan perempuan dalam memutuskan apakah mereka ingin mengenakan jilbab atau tidak. Memilih model jilbab yang bagaimana dan juga menghargai keputusan individu terkait dengan identitas mereka secara keseluruhan adalah hal yang mesti kita utamakan. Yakni untuk membangun kehidupan yang saling memahami, bukan saling menghakimi. []