Mubadalah.id – Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id menjelaskan bahwa isu perempuan menjadi pemimpin politik di yudikatif dan legislatif sebenarnya telah relatif selesai.
Bahkan menurut beliau, tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak perempuan memiliki kapasitas, pengetahuan, dan kecakapan untuk menjadi bagian dari lembaga-lembaga publik yang menentukan arah kehidupan bangsa.
Terlebih, kini banyak perempuan yang duduk di kursi parlemen, di bangku hakim, di ruang akademik, bahkan di gelanggang diplomasi internasional. Mereka bukan sekadar pengisi kuota, tetapi penentu arah kebijakan.
Nyai Badriyah mengingatkan bahwa proses penerimaan ini tentu tidak datang begitu saja. Ia adalah hasil dari sejarah panjang perjuangan perempuan Muslim, seperti Huda Sya‘rawi dan Munirah Tsabit di Mesir, yang berani menantang tafsir keagamaan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Melalui kerja intelektual dan aktivisme, mereka membuka jalan bagi lahirnya pemahaman fiqh yang lebih adil gender dan selaras dengan prinsip rahmah dalam Islam.
Dalam sejarah Islam, ternyata ada banyak ulama besar yang berpandangan progresif tentang peran perempuan. Nyai Badriyah mencatat, di antara mereka adalah Imam Abu Hanifah, Ibnu Hazm azh-Zhahiri, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan Hasan al-Bashri.
Keempat tokoh ini secara terbuka memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin maupun hakim. Bahkan, Ath-Thabari dan Hasan al-Bashri tidak membatasi sama sekali kekuasaan kehakiman perempuan.
Argumen mereka adalah ” jika perempuan boleh menjadi mufti (pemberi fatwa agama), maka tentu ia juga boleh menjadi hakim.”
Sebab, baik fatwa maupun keputusan hukum sama-sama menuntut kemampuan istinbath—yakni menggali hukum dari sumbernya—serta kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dalam pandangan ini, kompetensi dan integritas menjadi ukuran utama, bukan jenis kelamin. []










































