Mubadalah.id – Dalam perkawinan poligami, seringkali perempuan hanya menjadi objek kebutuhan dan keinginan laki-laki. Pengobjekan ini mengakibatkan keterpurukan, kezaliman dan kekerasan menimpa perempuan.
Memang di dalam kitab-kitab tafsir rujukan, kebanyakan ulama memaknai ayat an-Nisa itu dengan menempatkan perempuan sebagai objek sasaran perkawinan poligami.
Tetapi di dalam kitab-kitab tersebut masih ada ungkapan yang memungkinkan pemaknaan dengan menempatkan perempuan sebagai subjek dalam perkawinan poligami.
Jika perempuan menjadi subjek, maka ia bisa mendefinisikan keadilan, keinginan, persetujuan dan kerelaan dalam perkawinan poligami. Ini berbeda sekali dengan terjemahan ayat dalam bahasa Indonesia atau tepatnya penggalan ayat yang hanya bisa kita pahami dengan menempatkan perempuan sebagai obyek.
Penggalan ayat ‘fankihu ma thaba lakum min an-nisa matsna wa tsulatsa wa ruba’, seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan: “Nikahilah perempuan-perempuan yang engkau sukai, dua, tiga atau empat”.
Dalam terjemahan Departemen Agama misalnya menyatakan: “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat”.
Adapun terjemahan ustadz Muhammad Thalib menyebutkan: “Hendaklah kamu menikahi siapa saja di antara perempuan-perempuan yang kamu sukai dua orang, atau tiga orang, atau empat orang”.
Perempuan Menjadi Subjek
Dalam terjemahan seperti ini, perempuan dinikahi kapan laki-laki suka, dan tentu tidak akan dinikahi kapan ia tidak suka.
Pada poligami pun, perempuan dinikahi sesuai kesukaan dan kesenangan laki-laki saja. Perempuan tidak memiliki pilihan dengan membaca redaksi terjemahan untuk suka atau tidak suka terhadap perkawinan poligami.
Terjemahan seperti ini telah mereduksi makna-makna yang juga terkandung dalam ayat tersebut, seperti yang diungkapkan dalam beberapa penafsiran ulama klasik.
Kita menjadi teringat pada perdebatan ulama terhadap kebolehan menterjemahkan al-Qur’an. Seperti yang tercatat dalam disiplin ulum al-Qur’an, pada awalnya mayoritas ulama mengharamkan penterjemahkan al-Quran.
Hal ini karena tidak akan pernah mungkin ada penterjemahan (pemindahan) dari bahasa pertama ke bahasa yang kedua secara tepat dengan semua karakter dan makna yang ada.
Apalagi untuk kasus al-Qur’an yang memiliki ribuan rahasia dan makna. Yang mungkin kita lakukan hanyalah penterjemahan terhadap salah satu tafsir (makna) al-Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. []