Mubadalah.id – Banyak ikhtilaf atau perbedaan dari para ulama mengenai turunnya wahyu yang pertama. Namun, Jumhur Ulama meyakini bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah Surat Al-Alaq ayat 1-5 ketika Nabi Muhammad sedang beruzlah di Gua Hira pada malam ke-17 bulan Ramadan, saat usia Nabi menginjak 40 tahun.
Pendapat ini sesuai dengan hadist yang riwayat Aisyah ra dalam Shahih Bukhari, Muslim, Al-Hakim, dan Al-Baihaki. Namun pendapat ini tidak bermaksud menghakimi pendapat lain yang menyatakan bahwa Al-Quran turun pada malam Lailatul Qadar. Karena semua pendapat memiliki dasar hadis masing-masing.
Mengacu pada pendapat beberapa pakar tafsir yang menyebutkan bahwa Al-Qu’ran diturunkan melalui dua tahap. Yaitu secara keseluruhan dan bertahap. Sebelum diturunkan kepada Nabi, Allah Swt telah menurunkan Al-Qur’an secara keseluruhan di langit dunia, dikumpulkan menjadi satu di Baitul Izzah.
Selanjutnya, Al-Qur’an turun ke bumi melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, dan ayat demi ayat. Dalam waktu yang berbeda sesuai dengan kebutuhan selama lebih dari dua puluh tahun.
Hak-hak Perempuan disebut dalam Al-Qur’an
Banyak ayat Al-quran yang turun untuk memberikan keadilan dan mengangkat harkat serta martabat perempuan. Karena kita tahu, bahwa kondisi sosial bangsa Arab saat itu sangat memandang rendah perempuan. Seringkali perempuan tidak memiliki nilai, terkubur hidup-hidup, digauli tanpa batasan, dipoligami secara berlebihan. Bahkan diwariskan kepada anaknya. Naudzubillahi min dzalik.
Hak-hak perempuan yang ada hingga sekarang adalah suatu terobosan yang sangat berkeadilan dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah ayat tentang poligami pada surat An-Nisa ayat 3.
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,” (Surat An-Nisa ayat 3).
Para ulama dan pakar tafsir sepakat dalam memaknai ayat ini bukanlah sebagai perintah atau anjuran untuk laki-laki berpoligami. Karena sejatinya poligami bukanlah bangunan rumah tangga yang idel dalam Islam. Di mana Islam lebih menghendaki pernikahan yang monogami atau berisitri tunggal. Sekali lagi, bahwa ayat ini bukanlah anjuran, hanya membolehkan praktik poligami karena sebab-sebab umum dan khusus.
Sunah Monogami
إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة
Artinya, “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169).
Secara sosio historis, masyarakat bangsa Arab menikahi perempuan tanpa memiliki batasan. Justru Surat An-Nisa ayat 3 ini turun untuk membatasi masyarakat Arab dalam memiliki istri. Bayangkan saja, jika Allah Swt langsung memberikan perintah secara tegas melarang poligami dan hanya menghendaki monogami. Sudah barang tentu, Islam akan sulit masyarakat Arab menerimanya. Angka 4 ini menjadi angka yang dinilai tepat untuk membatasi perilaku poligami laki-laki Arab jahiliyah yang awalnya hingga tak terhingga.
Tentang Waris dan Kesaksian Perempuan
Kemudian, perkara waris. Sebelum Islam datang, perempuan tidak mendapatkan warisan, bahkan mereka yang menjadi objek warisan. Namun Islam mensyariatkan bagian warisan untuk perempuan walaupun tidak sama dengan laki-laki. Namun, ketentuan warisan ini seringkali belum terlaksana secara menyeluruh di kalangan umat Islam.
Praktiknya, ada beberapa keluarga yang menerapkan sistem pembagian secara merata dalam perkara warisan. Islam tidak bermaksud merendahkan perempuan, justru sebaliknya. Besaran angka waris bagi perempuan menjadi hal yang sangat progresif pada masa jahilayah kala itu yang sama sekali tidak memberikan warisan kepada perempuan.
Pemahaman awal yang memandang kesaksian perempuan adalah setengah dari laki-laki, memiliki banyak dasar yang mungkin memiliki banyak perdebatan hingga sekarang. Islam menghitung kesaksian perempuan walau hanya setengah dari laki-laki. Namun, coba kita tarik pada masa Arab jahiliyah sebelum Islam turun. Perempuan benar-benar tidak memiliki nilai, apalagi kok diperhitungkan suara dan kesaksiannya.
Masih banyak ayat Al-Quran yang memposisikan perempuan sebagai subjek sekaligus meningkatkan derajat perempuan sebagai manusia yang utuh. Secara historis, perempuan memiliki sejarah panjang dalam perlakuan yang kurang baik dan manusiawi. Maka, tidak heran jika banyak perempuan yang mengalami ketertinggalan. Namun, hal tersebut tidak lantas menjadi legitimasi dalam perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan.
Syariat Islam yang Nabi Muhammad Saw. bawa melalui kalamullah, sangat indah dalam memuliakan perempuan. Hal ini merupakan langkah-langkah progresif yang berusaha membongkar tembok kebatilan bangsa Arab waktu itu. Bahkan menjadi bukti bahwa Islam adalah ramah perempuan.
Ini semua adalah proses, maka sangat memungkinkan adanya kajian lebih lanjut untuk merekonstruksi makna beberapa ayat al-Quran yang saat ini tafsirnya masih mengindikasikan ketidakadilan. Hingga saat ini ruang ijtihad masih terbuka lebar untuk para ahli yang memang menguasai bidang tersebut, sekaligus memahami kaidah dan batasan dalam memaknai suatu kalamullah. Wallahu a’lam bi showab. []