Mubadalah.id – Pada pertemuan sebelumnya, Al-Ghazali mengungkapkan persepsinya waktu muda terhadap ilmu yang mempengaruhi perjalanan intelektualnya. Menurutnya, Ilmu yang sempurna adalah ilmu seperti fikih, usul fikih dan semacamnya yang dapat mengkomparasikan antara peran akal dan “wahyu” (periwayatan).
Ilmu yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual dan mengabaikan wahyu sehingga cenderung disambut “kurang baik” oleh Tuhan. Pun, juga bukan ilmu yang bertendensi pada periwayatan dan ikut-ikutan semata sekiranya tidak ada testemoni dari akal untuk menjustifikasi serta mengabsahkannya.
Dalam bagian ini, Al-Ghazali mengulas pengalaman pribadinya di masa lampau. meskipun Beliau sebagai sufi agung waktu itu, namun dengan kekuasaan Allah ia ditakdirkan untuk tetap mengampu pelajaran yang dulu pernah digeluti, yaitu mengajar pelajaran fikih usul fikih. Di tengah kesibukan aktivitasnya untuk mengajar sekaligus menjalani kehidupan sufi, sebagian murid Beliau (dalam bidang usul fikih) menyarankan untuk mengarang karya usul fikih sebagai penyempurna dari dua kitab sebelumnya.
Mendengar usulan itu, Al-Ghazali merespon positif dan memutuskan untuk menggarap apa yang diminta para muridnya. supaya lebih memudahkan para santri dan pelajar generasi selanjutnya, Beliau bertekad untuk mengarang kitab pertama (dalam bidang usul fikih) yang sistematis serta detail dan mendalam kajiannya. Kitab tersebut kelak dikenal dengan nama kitab Al-Mustashfa, salah satu kitab induk usul fikih Mutakallimin. Kitab pamungkas yang menyempurnakan dua kitab sebelumnya yaitu Tahzdib Al-Wusul dan Al-Mankhul.
Tahzdib Al-Wusul kitab yang dinilai terlalu besar serta terlalu luas penjabarannya sehingga mengesankan melebar kemana-mana dan potensi membingungkan kepada pelajar. Sebaliknya, kitab Al-Mankhul ternyata terlalu ringkas, banyak poin-poin usul fikih yang penting tidak terakomodir di dalamnya.
Di tengah kekurangan dua kitab sebelumnya maka lahirlah kitab Al-Mustashfa yang menyempurnakan dari kekurangan-kekurangan dua kitab sebelumnya itu, kitab yang tidak terlalu ringkas, pun tidak terlalu luas. Kitab yang dapat menjelaskan poin-poin penting dalam ilmu usul fikih serta tidak membosankan bagi pembaca karena ketebalannya.
Imam Al-Ghazali, menyebutnya sebagai kitab “Tawassut baina Al-Ikhlal wa Al-Imlal”. Terjemah bebasnya, “Tengah-tengah antara kurang (karena terlalu ringkas) dan membosankan (karena terlalu luas)”. Al-Mustasfa kitab yang merepresentasikan poin-poin ilmu usul fikih dengan penjelasan secara sistematis, bahkan Al-Ghazali mengklaim bahwa siapapun yang memandang (mempelajari) sekilas kitab al-Mustasfa niscaya dia akan mengetahui terhadap tujuan-tujuan dari ilmu usul fikih.
Diantara ciri khusus yang dimiliki Al-Ghazali terletak pada karakter dalam menyusun kitab-kitab karangan Beliau. Pertama, karangan dalam usul fikih. Beliau menyusun tiga kitab tersebut saling berkelindan serta saling melengkapi satu sama lain. Sebagaimana telah diulas di atas. Selanjutnya, dalam bidang fikih, Al-Ghazali juga memiliki tiga kitab yang unik. karakteristik lahirnya tiga kitab dalam fikih ini tidak jauh beda dengan faktor yang terjadi pada karangan dalam bidang ilmu usul fikih.
Al-Basit adalah kitab tebal yang dikarang oleh Imam Al-Ghazali dalam bidang fikih. Kitab yang disarikan dari kitab gurunya Imam Haramain Al-Juawaini Nihatu al-Mathlab fi diraya al-Mazhab. Sebagaimana nasib kitab Tahzdib Al-Wusul dalam bidang usul fikih, Al-Basit juga terlalu tebal maka di resume kembali oleh beliau menjadi kitab Al-Washit.
Akan tetapi, kitab Al-Washit masih dianggap terlalu tebal hingga kurang diminati para pelajar waktu itu, karena pada masa ini bisa dibilang kajian dalam keilmuan muali menurun sebab kondisi politik yang kurang stabil. Akhirnya, diolah kembali menjadi kitab Al-Wajiz yang dianggap cocok untuk dipelajari.
Terakhir, di bidang tasawuf. Dalam Al-Mustashfa, Al-Ghazali mengaku bahwa setelah ia mengalami puncak krisis spiritual yang dahsyat, ia mendalami ilmu-ilmu thariqah menuju akhirat dan ilmu rahasia-rahasia keagamaan yaitu tasawuf. Tidak berhenti disitu, ia masih saja produktif sebagaimana sebelumnya, sehingga berhasil mengarang banyak kitab dalam bidang ini. Diantaranya, tiga kitab yang hampir mirip dengan tiga kitab dibidang fikih dan usul-fikih, tiga kitab yang saling melengkapi.
Dalam pendahuluan kitab Al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengaku;
…فصنفت فيه كتبا بسيطة ككتاب إحياء علوم الدين ووجيزة ككتاب جواهر القرآن ووسيطة ككتاب كيمياء السعادة
“…lalu aku mengarang beberapa kitab dalam bidang tasawuf ini, ada yang tebal seperti ‘Ihya’ Ulumiddin’ dan ada yang tipis seperti kitab ‘Jawahir al-Qur’an’ dan ada pula yang sedang semisal kitab ‘Kaimiyaau al-Sa’adah’.”
Tidak terlalu jauh geonologi kitab-kitab Imam Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dengan kitab dalam bidang usul fikih yang sudah dijelaskan di atas. Hanya saja, dalam bidang tasawuf ini ada riwayat lain yang mengatakan bahwa kitab bandingan dari Ihya’ Ulumiddin adalah kitab Bidayah Al-Hidayah yang sering dikaji di pesantren-pesantren untuk tingkatan dasar. Sementara untuk tingkatan menengah adalah kitab Minhaju Al-‘Abidin dan setelah itu kitab Ihya’ sebagai tingkatan tertinggi atau pamungkas. []