Mubadalah.id – Dalam tradisi Katolik, perkawinan merupakan sakramen yang yang mengikat dua pribadi yang saling memberi diri sepenuhnya. Gereja memandang bahwa persekutuan ini memiliki dimensi rohani. Saat dua pribadi saling menerima dengan tulus, mereka menjadi cermin kecil dari kasih Allah yang setia dan kreatif.
Kasih Allah itu tidak jauh dari realitas kehidupan sehari-hari. Ia hadir dalam hal-hal sederhana. Misalkan dalam percakapan jujur, dalam kerja sama mengurus rumah, dalam usaha memahami perasaan pasangan, atau dalam keberanian mengakui kesalahan dan memperbaikinya.
Perkawinan Katolik tidak hanya sekadar ritus atau kontrak sosial, melainkan sebagai merupakan ruang eksistensial bagi manusia untuk menemukan dirinya dalam yang lain. Dua pribadi yang berbeda latar belakang, pola pikir, dan pengalaman hidup dipertemukan bukan hanya untuk “hidup bersama”, melainkan untuk membangun sebuah dunia kecil yang mencerminkan kedalaman cinta dan kerentanan mereka.
Perkawinan sebagai Persekutuan Cinta dan Pertumbuhan Berkelanjutan
Dalam ajaran Katolik, perkawinan bukan sekadar perjanjian legal atau ritual saja, tetapi persekutuan cinta (communio). Artinya bahwa perkawinan menjadi ruang bagi dua pribadi saling membuka diri untuk tumbuh bersama. Hal ini sangat universal. Setiap hubungan yang sehat selalu mengandung unsur menerima, mengampuni, dan bertumbuh.
Perkawinan menjadi tempat bagi dua orang untuk berlatih saling mendengarkan, mengatur emosi, menyelesaikan konflik, dan membangun dialog yang jujur. Sebenarnya nilai ini tidak eksklusif bagi umat Katolik, tetapi siapa pun dapat mengalami dinamika cinta sebagai ruang transformasi diri.
Monogami sebagai Ruang Aman untuk Kedalaman Relasi
Monogami adalah sifat dasar perkawinan dalam tradisi Katolik. Sifat ini bukanlah aturan yang membatasi, tetapi monogami merupakan ruang eksklusif yang memungkinkan kedalaman emosional dan spiritual.
Dalam hubungan monogami, kepercayaan antara suami dan isteri akan lebih mudah terbangun. Begitu juga dengan komunikasi dapat berlangsung tanpa kecemasan berlebih, keintiman tumbuh secara stabil, dan pasangan memiliki ruang untuk saling mengenal secara otentik.
Monogami memberi ruang bagi dua manusia untuk memusatkan energi cinta pada satu relasi dengan penuh kesetiaan. Ini bukan sekadar tuntutan agama, tetapi refleksi atas kebutuhan manusia akan keutuhan hati.
Tak Terceraikan sebagai Keberanian Membangun Cinta Seumur Hidup
Komitmen tak terceraikan (indissolubility) adalah ciri khas perkawinan Katolik yang sering disalahpahami sebagai beban. Tak terceraikan bukan hanya sekadar tidak boleh bercerai semata. Tetapi hal ini merupakan spiritualitas kesetiaan, yakni keberanian memilih pasangan yang sama setiap hari.
Komitmen jangka panjang memberi relasi landasan stabil untuk menghadapi krisis emosional, perbedaan karakter, tantangan ekonomi, penyakit, dan dinamika keluarga. Cinta yang berusaha bertahan tidak sama dengan cinta yang terpaksa bertahan.
Cinta yang bertahan membutuhkan usaha yakni dialog, pengampunan, kompromi, dan disiplin emosional. Semua ini hanya mungkin bila kedua pihak sama-sama ingin memperbaiki relasi. Tak terceraikan adalah undangan untuk membangun cinta yang matang, bukan kurungan yang meniadakan kebebasan.
Ketika Dua Menjadi Satu
Gagasan dasar ini bertumpu pada Kitab Suci: “Seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24).
Ayat ini bukan sekadar formula liturgis. Ini menunjukkan bahwa perkawinan adalah perjumpaan eksistensial, tempat dua kehidupan bertemu untuk membangun dunia kecil yang berdasar pada cinta, komitmen, dan tanggung jawab. Persatuan “satu daging” bukan tentang kepemilikan, tetapi tentang kesalingan yang menyatukan tanpa meniadakan keunikan masing-masing.
Gereja juga memahami persekutuan ini sebagai bagian dari rencana kreatif Allah. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan intim hidup dan cinta,” suatu relasi yang lahir oleh keputusan saling memberi diri.
Dasar teologis ini dapat diterjemahkan secara humanis bahwa manusia hanya dapat berkembang dalam relasi yang aman, stabil, dan penuh penerimaan. Perkawinan menjadi tempat seseorang belajar untuk saling menerima sepenuhnya.
Rumusan Perkawinan Katolik
Inti perkawinan Katolik bukan terletak pada cincin ataupun mahar, tetapi dalam janji suci. Rumusan janji perkawinan dalam Gereja Katolik menjadi simbol dua pribadi secara bebas menyatakan pilihan dan komitmen mereka.
Ketika mempelai berkata, “Saya memilih engkau,” Gereja menegaskan bahwa cinta hanya sah bila lahir dari kebebasan, bukan paksaan. Janji “setia kepadamu” menyatakan komitmen monogami sebagai bentuk perlindungan martabat dan keutuhan relasi. Kalimat “dalam untung dan malang, sehat dan sakit” menegaskan bahwa cinta tidak hanya untuk masa indah, tetapi juga untuk menghadapi luka.
Sementara rumusan “mengasihi dan menghormati” menegaskan dasar kasih. Kasih yang memberi diri dan hormat yang mengakui kebebasan serta keutuhan pribadi pasangan. Pada akhirnya, janji “seumur hidup” menjadi dasar sifat tak terceraikan dalam perkawinan Katolik, bukan sebagai belenggu, tetapi sebagai ruang aman bagi cinta yang terpelihara dengan kesetiaan.
Semua janji ini kemudian termateraikan dalam berkat Tuhan oleh seorang Imam. Ini menegaskan bahwa relasi manusia yang rapuh mendapat topangan oleh rahmat ilahi dan oleh komunitas Gereja yang mendukung perjalanan mereka. Janji suci ini merupakan panggilan untuk bertahan dan bertumbuh bersama.
Cinta yang Diusahakan, Bukan Sekadar Dirasakan
Perkawinan Katolik, dengan sifat monogami dan tak terceraikan sering mendapat anggapan yang idealistis. Namun ketika dipahami sebagai sebuah janji suci, maka perkawinan justru menjadi berkat tersendiri. Perkawinan menjadi ruang untuk mengusahakan cinta kasih. Monogami memberi kedalaman.
Komitmen seumur hidup memberi kasih satu sama lain.
Perkawinan dalam Gereja Katolik adalah undangan untuk merawat cinta dengan kesetiaan dan kerendahan hati. Juga untuk saling menguatkan dalam proses kehidupan. Pada akhirnya untuk menjadikan relasi sebagai sakramen yang menghadirkan kebaikan bagi pasangan, keluarga, dan dunia. Dalam kesalingan, pasangan tidak hanya bertahan, tetapi juga bertumbuh menjadi tanda kasih yang memanusiakan. []









































