Senin, 3 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Nifas

    Haidh, Nifas, dan Istihadhah: Fitrah Perempuan yang Dimuliakan

    Usia 20-an

    It’s OK Jika Masih Berantakan di Usia 20-an

    Haidh

    Haidh Bukan Alasan Mengontrol Tubuh Perempuan

    Haidh

    Haidh dan Bias Tafsir: Ketika Tubuh Perempuan Dikontrol Agama

    Ekonomi Biru

    Meniti Keadilan di Gelombang Ekonomi Biru

    Haidh

    Membaca Ulang Makna Haidh dalam Islam

    Aksesibilitas Fasilitas Umum

    Aksesibilitas Fasilitas Umum Bukan Hanya Proyek Seremonial!

    Perempuan KUPI yang

    KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

    Mandat KUPI

    Membaca Mandat KUPI dalam Kerangka Rahmatan lil ‘Alamin

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Nifas

    Haidh, Nifas, dan Istihadhah: Fitrah Perempuan yang Dimuliakan

    Usia 20-an

    It’s OK Jika Masih Berantakan di Usia 20-an

    Haidh

    Haidh Bukan Alasan Mengontrol Tubuh Perempuan

    Haidh

    Haidh dan Bias Tafsir: Ketika Tubuh Perempuan Dikontrol Agama

    Ekonomi Biru

    Meniti Keadilan di Gelombang Ekonomi Biru

    Haidh

    Membaca Ulang Makna Haidh dalam Islam

    Aksesibilitas Fasilitas Umum

    Aksesibilitas Fasilitas Umum Bukan Hanya Proyek Seremonial!

    Perempuan KUPI yang

    KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

    Mandat KUPI

    Membaca Mandat KUPI dalam Kerangka Rahmatan lil ‘Alamin

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Perkosaan dalam Perkawinan Perspektif Islam

Istilah perkosaan dalam perkawinan masih kerap dinilai sebagai contradictio in terminis, yakni sebuah kombinasi kata yang bertentangan satu sama lain. Perkosaan dipandang hanya mungkin terjadi di luar perkawinan. Benarkah demikian?

Nur Rofiah Nur Rofiah
26 Maret 2021
in Hukum Syariat, Rujukan
0
Perkawinan

Perkawinan

628
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Istilah perkosaan dalam perkawinan masih kerap dinilai sebagai contradictio in terminis, yakni sebuah kombinasi kata yang bertentangan satu sama lain. Perkosaan dipandang hanya mungkin terjadi di luar perkawinan. Benarkah demikian? Bukankah yang hanya terjadi di luar perkawinan adalah perzinahan?

Pemerkosaan dalam perkawinan dapat dipahami sebagai hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, baik korban dalam kondisi sadar atau tidak, ataupun disertai ancaman dan kekerasan fisik maupun tidak. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK menemukan bentuk kekerasan seksual kepada istri meliputi pemaksaan hubungan sesuai selera suami, misalnya istri dipaksa anal seks, oral seks, atau memaksa memasukkan benda ke vagina istri, pemaksaan hubungan saat istri tertidur atau sedang haid, juga intimidasi lisan dan fisik dalam rangka pemaksaan hubungan seksual.

Sejarah peradaban manusia memang diwarnai dengan cara pandang yang mendudukkan perempuan sebagai objek dalam sistem kehidupan. Selama berabad-abad perempuan dipandang milik mutlak laki-laki, yakni ayah/suami/anak/kerabat laki-lakinnya, yang bisa dijual, dihadiahkan, diwariskan, dan dieksploitasi secara seksual ataupun lainnya. Dalam situasi seperti ini, perkosaan dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda:

Pertama, perkosaan bukanlah kejahatan atas perempuan yang menjadi korbannya, melainkan atas laki-laki yang menjadi pemiliknya. Jika kasus diselesaikan dengan denda, maka ia bukan diberikan pada perempuan yang diperkosa, melainkan pada laki-laki yang menjadi pemiliknya. Kedua, perkosaan pada perempuan yang tidak punya laki-laki (ayah/suami/anak/kerabat) sebagai pemilik, bukanlah tindakan kejahatan sebagaimana menemukan koin di jalan,

Ketiga, perkosaan laki-laki atas perempuan yang dimilikinya bukanlah tindakan kejahatan, termasuk perkosaan inses dan termasuk perkosaan suami atas istri. Mengatakan laki-laki pemilik memperkosa perempuan yang dimilikinya sama anehnya dengan mengatakan seseorang mencuri uang dari dompetnya sendiri.

Jadi, masyarakat yang meletakkan perempuan sebagai objek/benda/harta suami tidak mengenal perkosaan dalam perkawinan dan memandang istilah ini sebagai Contradictio in Terminis. Bagaimana dalam pandangan Islam?

ISLAM SEBAGAI SISTEM DAN PROSES

Islam adalah sebuah sistem sehingga setiap ajarannya terhubung satu sama lain yang bergerak menuju sebuah misi dan dilandasi dengan seperangkat prinsip moral. Misi Islam setidaknya dapat dirumuskan menjadi tiga hal yang saling terkait:

Pertama, mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil Alamin), termasuk bagi perempuan. Kedua, menyempurnakan akhlak mulia manusia (liutammima makarimal akhlaq), tidak hanya termasuk akhlaknya perempuan tapi juga akhlak pada perempuan. Ketiga, mendidik manusia untuk menjadi diri yang terbaik bagi keluarganya (khoirukum liahlih), termasuk pada perempuan sebagai ibu, istri, dan anak.

Semua ajaran Islam dibangun di atas landasan moral berupa seperangkat prinsip dan nilai seperti Tauhid yang melarang keras penghambaan pada selain Allah termasuk penghambaan perempuan pada laki-laki, kemanusiaan termasuk kemanusiaan perempuan, kemaslahatan umum termasuk kemaslahatan bagi perempuan, keadilan termasuk keadilan pada perempuan, keselamatan termasuk keselamatan perempuan, kelestarian alam, dan aneka kebajikan universal lainnya.

Menjadi seorang muslim adalah hidup dengan cara hidup untuk dan hanya menuhankan Allah yang dibuktikan dengan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk-Nya, termasuk makhluk manusia yang berjenis kelamin perempuan. Allah berkuasa secara mandiri, maka manfaat hanya menuhankan-Nya tidak kembali pada Allah, melainkan pada manusia. Tauhid dengan demikian paralel memiliki sikap memanusiakan manusia.

Islam juga adalah sebuah proses yang tak berkesudahan sepanjang hidup manusia untuk mewujudkan sistem kehidupan sebagai rahmat bagi semesta, terutama kelompok lemah (dluafa) dan yang dilemahkan (mustadl’afin). Dengan seperangkat moral foundation di atas, proses pemanusiaan manusia, termasuk perempuan, tidak hanya terjadi selama masa pewahyuan, tapi juga setelahnya hingga Kiamat. Ajaran Islam terus bergelut dengan sistem nilai dan tradisi yang menistakan kemanusiaan para dluafa dan mustadl’afin, termasuk penistaan atas kemanusiaan perempuan.

Proses Selama Pewahyuan

Selama 23 tahun masa pewahyuan, Islam mendorong proses panjang pemanusiaan perempuan. Proses ini berangkat dari titik nol kemanusiaan, yakni cara pandang bahwa perempuan bukan manusia sehingga bisa dikubur hidup-hidup saat lahir, diwariskan, dipoligami tanpa batas dan tanpa syarat adil, menuju kemanusiaan penuh perempuan, yakni cara pandang bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya dengan menghormati takdir biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki sehingga memastikan mereka tidak alami kezaliman apapun, terutama kezaliman hanya karena menjadi perempuan.

Selama masa pewahyuan, kita menemukan dua jenis strategi, yaitu Pertama, langsung ke tujuan final, misalnya melarang keras penguburan bayi perempuan hidup-hidup, persetubuhan inses, dan lainnya. Kedua, strategi bertahap (Tadrij) melalui target antara, seperti poligami dari tak terbatas tanpa syarat adil, menjadi maksimal 4 dengan syarat adil sambil diingatkan betapa sulitnya adil dalam poligami, hingga hanya monogamy lah yang adil. Al-Qur’an tak jarang juga merekam situasi saat itu dan meminjam cara berfikir masyarakat kala itu yang masih meletakkan perempuan sebagai benda.

Kita bisa mengidentifikasi tiga jenis ayat al-Qur’an yang merekam tiga tahap proses panjang tersebut. Pertama, ayat tItik berangkat, yaitu ayat yang mengandung cara pandang bahwa perempuan adalah objek/benda. Hati-hati memahami ayat semacam ini secara tekstual karena makna tekstual ini justru yang akan diubah secara perlahan-lahan selama masa pewahyuan.

Kedua, Ayat target antara, yaitu ayat yang mengandung cara pandang bahwa perempuan adalah sepersekian dari laki-laki. Ini adalah ayat tentang titik temu ajaran ideal Islam yang mendudukkan perempuan sebagai manusia sepenuhnya dengan kondisi riil masyarakat yang masih mendudukkan perempuan sebagai benda. Hati-hati juga karena ada kecenderungan besar untuk memahaminya sebagai ajaran ideal.

Ketiga, ayat tujuan final, yaitu ayat yang mengadung cara pandang bahwa perempuan adalah setara dengan laki-laki sebagai manusia. Misalnya ayat tentang nilai keduanya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketaqwaan (al-Hujurat, 13), keduanya saling menjadi penjaga (auliya’) satu sama lain (at-Taubah, 71), dll. Dari mana kita bisa menentukan sebuah ayat adalah titik berangkat, target antara, dan tujuan final? Tentu dari misi Islam sebagai sebuah sistem ajaran.

Selama masa pewahyuan

Islam menggerakkan kesadaran masyarakat atas kemanusiaan perempuan, termasuk sebagai istri. Lihatlah gerakan dahsyat pemanusiaan perempuan dari titik terbawah sampai dengan titik teratas sebagai berikut: Semula status perempuan adalah objek/benda/hamba laki-laki menjadi laki-laki dan perempuan sama-sama berstatus hanya hamba Allah. Semula kedudukan perempuan adalah pelayan bagi kemaslahatan laki-laki menjadi laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi pelayan bagi kemaslahatan sesama makhluk sebagai Khalifah fil Ardl;

Semula nilai perempuan lebih rendah daripada laki-laki menjadi nilai keduanya sama-sama tinggi jika bertakwa dan sama-sama rendah jika tidak bertakwa. Semula peran perempuan pasif menerima perintah dan larangan laki-laki menjadi keduanya mesti sama-sama aktif memerintakan kebaikan (dan menikmatinya) dan mencegah kemunkaran (dan dilindungi darinya).

Demikian pula pemanusiaan perempuan sebagai istri. Semula tujuan perkawinan hanyalah kepuasan suami atas layanan istri, termasuk layanan seksual menjadi ketenangan jiwa (Sakinah) suami dan istri sehingga hubungan seksual juga mesti dilakukan dengan menjaga ketenangan jiwa kedua belah pihak. Semula landasan relasi adalah kepemilikan mutlak suami atas istri menjadi kasih sayang (Mawaddah wa Rahmah) satu sama lain. Semula suami dipandang sebagai pemilik istri menjadi keduanya adalah pasangan (zawaj).

Semula perkawinan dihayati sebagai kontrak kepemilikan suami atas istri menjadi komitmen/ janji kuat keduanya dengan Allah (mitsaqan ghalidlan) untuk saling menjaga ketenangan jiwa. Semula suami boleh sewenang-wenang pada istri menjadi keduanya mesti bergaul secara bermartabat (Muasyarah bil Ma’ruf). Semula suami menjadi pengambil keputusan tunggal dalam segala urusan keluarga menjadi keduanya mesti musyawarah;

Semula selama perkawinan istri harus memperoleh ridlo suami sedangkan suami sama sekali tidak perlu ridlo istri, menjadi keduanya mesti saling menjaga ridlo pasangannya (Taradlin) demi memperoleh ridlo Allah. Lantas bagaimana dengan hubungan seksual suami istri?

Al-Qur’an meminjam logika masyarakat waktu itu yang melihat ladang sebagai sesuatu yang sangat berharga. Pemilik terus ikhtiyar merawat tanahnya agar tetap subur, memastikan kecukupan air dan pupuknya, mencegah dari hama agar hasilnya berkualitas.

Ketika al-Quran mengibaratkan istri sebagai ladang (hartsun) bagi suami, maka makna inilah yang ditangkap oleh masyarakat kala itu. Ladang yang disemai biji-biji dan hanya akan menghasilkan makanan saja dijaga sedemikian rupa, apalagi istri yang akan menjadi tempat bersemainya benih-benih anak manusia sebagai makhluk fisik dan batin. Tentu harus dijaga dengan lebih baik sehingga bisa melahirkan generasi yang berkualitas secara lahir dan batin, bukan keturunan yang lemah (dzurriyyatan dli’afan). Dan tidak mengeksploitasinya.

Demikian pula saat Allah mengibaratkan suami dan istri saat berhubungan seksual sebagai pakaian (libas) bagi satu sama lain. Hal ini berarti bahwa hubungan seksual suami-istri mesti dilakukan dengan cara-cara yang mendudukkan keduanya sama-sama sebagai subyek sehingga saling melindungi dari bahaya, menjaga privasi, menghangatkan, dan memperindah satu sama lain, sebagaimana fungsi pakaian.

Tentu saja mengubah posisi perempuan atau istri dari objek menjadi subjek penuh membutuhkan proses terus-menerus dari kedua belah pihak yang tidak hanya menantang pada masa pewahyuan, bahkan hingga kini pun demikian.

Proses Setelah Pewahyuan

Perkosaan dalam perkawinan hingga kini masih dipandang sebagai  sesuatu yang tidak ada atau mengada-ada. Artinya, istri masih lazim dipandang sebagai milik mutlak suami. Mari kita refleksikan bagaimana perkawinan didefinisikan dalam Fiqih:

Pertama, perkawinan adalah Aqdul Ibahah/ Aqdul Intifa,’ yakni akad yang membolehkan suami memanfaatkan tubuh istri. Penolakan atas ajakan berhubungan seksual kerap dianggap sebagai penolakan atas hal yang sudah diperbolehkan agama. Definisi ini sangat mungkin dikembangkan menjadi akad yang membolehkan suami-istri untuk saling menikmati satu sama lain sehingga hubungan seksual yang diperbolehkan hanyalah dengan cara yang memberi manfaat bagi kedua belah pihak, dan melarang hubungan seksual yang memberi manfaat bagi salah satu pihak, sementara bagi pihak lainnya memberi keburukan (mafsadat) apalagi bahaya (mudlorot).

Kedua, Perkawinan adalah Aqdut Tamlik, yakni akad yang memberikan hak kepemilikan pada suami atas istri. Hubungan seksual cenderung dipahami sebagai kewajiban istri dan hak suami sehingga istri yang menolak ajakan berhubungan seksual suami dinilai melanggar kewajibannya yang tentu saja berdosa. Definisi ini pun sangat mungkin dikembangkan menjadi akad yang menyebabkan suami istri saling memiliki satu sama lain sehingga hubungan seksual dipahami sebagai kewajiban sekaligus hak kedua belah pihak.

Pengembangan definisi ini sangat mungkin dilakukan mengacu pada kerahmatan dan penyempurnaan akhlak mulia sebagai misi Islam, dan fondasi moral perkawinan yang bertebaran dalam al-Qur’an.

Cara kita memahami perkosaan dalam perkawinan tentu saja terkait erat dengan konsep perkosaan di ruang publik. Misalnya apa perbedaan mendasar antara perkosaaan dan perzinahan? Apa dampak jika keduanya tidak dibedakan? Bagaimana perbedaan kerentanan laki-laki dan perempuan dalam kriminalisasi hubungan seksual, baik secara biologis dan sosial? Bagaimana strategi menyelamatkan perempuan dari blaming victim dan reviktimisasi? Mari Kita Mengaji Bersama. []

Tags: kekerasan terhadap perempuankeluargaKesalinganMarital RapeNgaji KGIperempuanperkawinanrumah tanggaulama perempuan
Nur Rofiah

Nur Rofiah

Nur Rofi'ah adalah alumni Pesantren Seblak Jombang dan Krapyak Yogyakarta, mengikuti pendidikan tinggi jenjang S1 di UIN Suka Yogyakarta, S2 dan S3 dari Universitas Ankara-Turki. Saat ini, sehari-hari sebagai dosen Tafsir al-Qur'an di Program Paskasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, di samping sebagai narasumber, fasilitator, dan penceramah isu-isu keislaman secara umum, dan isu keadilan relasi laki-laki serta perempuan secara khusus.

Terkait Posts

Nifas
Keluarga

Haidh, Nifas, dan Istihadhah: Fitrah Perempuan yang Dimuliakan

3 November 2025
Haidh
Keluarga

Haidh Bukan Alasan Mengontrol Tubuh Perempuan

3 November 2025
Haidh
Keluarga

Haidh dan Bias Tafsir: Ketika Tubuh Perempuan Dikontrol Agama

3 November 2025
Perempuan KUPI yang
Keluarga

KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

2 November 2025
Feminisme Sufistik
Publik

Feminisme Sufistik: Menemukan Ruang Tengah antara Emansipasi dan Spiritualitas

2 November 2025
Perempuan Kurang Akal
Keluarga

Perempuan Kurang Akal, atau Tafsir Kita yang Kurang Kontekstual?

1 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haidh

    Membaca Ulang Makna Haidh dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meniti Keadilan di Gelombang Ekonomi Biru

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Wangari Muta Maathai: Perempuan Afrika Pertama Peraih Nobel Perdamaian untuk Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Haidh dan Bias Tafsir: Ketika Tubuh Perempuan Dikontrol Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Menolak Tafsir yang Menafikan Martabat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Haidh, Nifas, dan Istihadhah: Fitrah Perempuan yang Dimuliakan
  • It’s OK Jika Masih Berantakan di Usia 20-an
  • Haidh Bukan Alasan Mengontrol Tubuh Perempuan
  • Wangari Muta Maathai: Perempuan Afrika Pertama Peraih Nobel Perdamaian untuk Lingkungan
  • Haidh dan Bias Tafsir: Ketika Tubuh Perempuan Dikontrol Agama

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID