Mubadalah.id – Setiap kali sampai di bulan Muharam, selalu teringat tentang satu hari agung yang mulia tidak hanya oleh umat baginda Muhammad, tetapi juga oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Hari yang kita yakini penuh berkah untuk memuliakan perempuan dan anak ini selalu memberi kesan lain bagi umat Islam khususnya, di setiap tahun baru.
Secara literal, Muharram bermakna ‘bulan yang dimuliakan’ atau ‘bulan yang haram untuk berperang’. Bulan ini masuk dalam empat bulan haram (al-Asyhurul Hurum); Zulkaidah, Zulhijah, Rajab dan Muharam. Selain memang masuk di antara bulan-bulan mulia, di dalamnya juga terdapat hari mulia yang kita sebut Asyura’, tepat pada tanggal 10 Muharram.
Asyura’ dalam gramatikal Arab, merupakan pindahan (al-‘udul) dari Asyirat(un) yang berarti ‘yang kesepuluh’. Di mana, perpindahan kata dari Asyirat(un) menjadi Asyura’(u) menurut Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Atsqallani (w. 852 H/1449 M) dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 4, hal. 245) menyimpan maksud khusus. Yakni al-mubalaqah wa at-ta’dhzim (memberi pengagungan dan penghormatan lebih).
Ramai Kegiatan Kemanusiaan
Wajar saja di banyak tempat hari itu ramai dengan pergelaran acara-acara peduli sosial dan kemanusiaan. Seperti santunan anak yatim, sedekah kepada duafa, dan lain-lain secara besar-besaran. Kendati acara tersebut di mata sebagian kecil orang akhir-akhir ini dianggap kurang terhormat, lantaran sekian banyak anak yatim terpajang dan dimediakan dalam perosesi santunan itu.
Alih-alih akan tersantuni dan kita muliakan, malah seolah mempermalukan mereka. Namun bagi saya pribadi, kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa untuk nalar yang amat sederhana. Parahnya lagi jika yang ngomong demikian tidak turut menyantuni.
Di halaman Masjid Agung Praya, Lombok Tengah, NTB, sudah menjadi acara tahunan di setiap hari Asyura’, menyantuni sekian banyak anak yatim yang kita kenal dengan Rahman Rahim Day. Acara ini digelar oleh seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) se-Lombok Tengah.
Santunan Anak Yatim Piatu
Kita dapat melihat sendiri bagaimana semringah senyum mereka yang tersantuni. Mereka bisa turut bahagia di hari yang ramai kebahagiaan itu. Boleh jadi di antara mereka ada yang yatim piatu, hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibu. Tetapi berkat acara itu, mereka turut mendapatkan hangat kasih sayang dan santunan.
Pada 10 Muharam kemarin, saya yang sedikit menepi dari ribuan orang yang memadati halaman Masjid Agung Praya, sejenak berpikir ‘Jika saja setiap hari adalah hari santun menyantuni, iblis dan malaikat pasti iri pada manusia’. Bayangkan saja, nyaris tidak satu pun orang bersedih di tempat itu. Tidak terdengar jerit tangis kriminalisasi, pelecehan seksual, KDRT, dan seterusnya.
Semua orang tampak bahagia dan membahagiakan. Di lapangan tersebut mereka semua setara. Baik yang datang dengan mobil pribadi, sepeda motor pribadi, maupun anak-anak yatim yang datang dengan angkutan umum, tidak ada bedanya. Mereka sama-sama tersenyum lebar. Semoga relasi ini tetap terjalin dengan baik, selamanya.
Saya bergumam sendiri, ‘Hari Asyura’ adalah hari mulia, di mana manusia mulia saling memuliakan satu sama lain’.
Rahasia di Balik Anjuran Puasa Asyura’
Suatu ketika sahabat Abdullah bin Abbas berkisah tentang baginda Muhammad yang datang ke kota Madinah. Sontak saja nabi kaget saat melihat orang-orang Yahudi Madinah berpuasa di hari Asyura’, seakan tanpa jeda beliau langsung bertanya apa gerangan yang terjadi, mengapa mereka semua berpuasa. Orang-orang Yahudi tersebut menjawab;
هذا يوم صالح هذا يوم نجّى الله بني إسرائيل من عدوّهم فصامه موسى قال: فأنا أحق بموسى منكم. فصامه وأمر بصيامه
“Hari ini adalah hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan bani Israil (dari kejaran Firaun), lalu Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur sekaligus memperingati hari tersebut. Nabi bersabda, ‘Saya lah yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada kalian,’ pungkasnya, lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya agar turut mengikutinya.” (Shahih al-Bukhari (juz 3, hal. 44) bab Shiyamu Yaumi ‘Asyura’).
Puasa Asyura’ adalah ejawantah dari wujud syukur baginda Musa ‘alaihissalam karena telah diselamatkan Allah dari kejaran Firaun beserta bala tentaranya. Saat itu, Nabi Musa tidak hanya bersama para lelaki, tetapi juga dari kalangan perempuan dan anak-anak. Ada sekian banyak jiwa suci yang hampir melayang, mati sia-sia. Namun, berkat pertolongan Allah, mereka semua selamat. Lebih dari itu, adalah keselamatan ajaran yang ia bawa. Untuk mengenang itu semua, Nabi Musa berpuasa.
Lalu, mengapa harus dengan puasa? Jujur, saya sendiri belum menemukan tafsir para ulama terkait alasan mengapa harus kita kenang dengan berpuasa. Saya lebih tertarik mencurigai asrar as-shoum (rahasia-rahasia puasa) yang menjadi salah satu alasan.
Di antaranya, yaitu mengubur egoisme sedalam-dalamnya dengan cara tidak membebek hasrat-hasrat rendah yang melekat pada diri kita, termasuk menjaga lisan, mata, telinga, kelamin dan seterusnya. Maka tidak terpungkiri bahwa puasa adalah ibadah yang berdampak maslahat baik pada pribadi maupun sosial kita. Dan, kemaslahatan sosial adalah kedamaian dan kenyamanan bersama.
Sehingga, tepat sekali saat baginda Musa memilih puasa sebagai media mengenang kejadian bersejarah itu. Pertolongan Allah kepada Nabi Musa bersama umat setianya, menjelma dalam bentuk keselamatan, kedamaian dan rasa aman. Demikian pula puasa, jika kita lakukan dengan sungguh-sungguh akan menciptakan keselamatan, kedamaian dan kenyamanan sosial.
Asyura’, Hari Memuliakan Perempuan dan Anak
Perempuan adalah lambang pejuang kehidupan, dan anak adalah perlambang generasi, penerus kehidupan selanjutnya. Perempuan sebagai sang pejuang kehidupan ini dilihat dari kisah ibunda Nabi Ismail kala memperjuangkan kehidupan buah hatinya. Di tengah padang pasir, di bawah terik matahari yang tidak biasa, Sayyidah Hajar merawat putranya seorang diri.
Kiai Husein Muhammad menjelaskan hikmah di balik pemilihan tokoh perempuan dalam kisah tersebut. Yaitu, untuk memperlihatkan besar jasa perempuan yang telah memperjuangkan kehidupan selama ini. Telah tercatat sejarah, orang-orang Khaibar telah sejak dahulu memuliakan istri-istri mereka di hari Asyura’ dengan memberi kebahagiakan besar-besaran.
Dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 4, hal. 248) dikatakan;
عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ بِإِسْنَادِهِ قَالَ كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارتهمْ وَهُوَ بِالشِّينِ الْمُعْجَمَةِ أَيْ هَيْئَتَهُمُ الْحَسَنَةَ
“Berdasarkan kisah riwayat Qais bin Muslim bahwa penduduk Khaibar itu berpuasa di Hari Asyura’ dan menjadikannya sebagai hari raya; mereka menghadiahkan baju baru, belanja perhiasan dan menampilkan kondisi terbaik mereka.”
Alasan yang berkelindan erat dengan di atas (membahagiakan perempuan), adalah membahagiakan anak-anak di hari Asyura’. Karena tidak membahagiakan mereka bagian dari tidak menghargai jasa perempuan yang memperjuangkannya.
Dan, tidak menghargai perjuangan walau sedikit adalah bagian dari hama peradaban. Selamat menunggu hari Asyura’ tahun depan. Semoga kita semua diberi kemampuan dan kesempatan untuk memberi kebahagiaan lebih besar kepada keluarga. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab. []