Mubadalah.id – Poligami menjadi babak kisah yang mengundang perdebatan dan cenderung menganaktirikan perempuan. Poligami sendiri biasa kita pahami sebagai sistem perkawinan yang membolehkan seorang suami mempunyai istri lebih dari satu orang. Bicara poligami tentu saja sensitif, karena jika kita mencanangkan untuk melakukannya nanti disebut melanggengkan budaya patriarkis. Jika kita melarang ujung-ujungnya dicap sebagai orang yang melawan terhadap Tuhan karena tidak mengindahkan teks-teks suci-Nya.
Dalam menyikapi poligami ada tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama yaitu yang membolehkan poligami secara longgar dan hanya terfokus di ayat tanpa melihat konteks dan ayat-ayat yang lainnya. Kelompok yang kedua yakni yang membolehkan melakukannya tetapi dengan syarat tertentu, salah satunya keadilan karena hal itu merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai oleh manusia.
Kelompok yang terakhir yakni yang menolak poligami secara tegas dan keras. Dari ketiga kelompok tersebut pasti mempunyai landasannya masing-masing, kita sebagai muslim sangat perlu untuk mengkaji dan menelaah ayat-ayat poligami, karena Islam sebagai agama sifatnya inklusif yakni terbuka dan menyediakan ruang-ruang interpretasi.
Ibnu Arabi pun dalam bukunya Kiai Husein Muhammad yang berjudul “Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kyai” seolah mengafirmasi untuk melakukan interpretasi kritis terhadap ayat-ayat Al-Quran. Menurut Buya Husein, tidak ada satu pun teks di dunia ini yang tidak ditafsirkan. Karena Al-Quran bukan hanya dogma semata yang memerintah manusia untuk menaatinya tanpa melakukan pengkajian ulang, dan sifat Islam sendiri yakni memerintahkan kita untuk senantiasa kreatif, inovatif, bahkan menciptakan dan mengembangkan hal-hal baru yang sesuai dengan ajaran Islam senidiri.
Dari berbagai pandangan mengenai poligami yang membuat lucu adalah rujukannya yang sama yakni Q.S. An-Nisa ayat 2-3, mengenai ayat tersebut, dalam buku poligami karya Kiai Husein Muhammad, Muhammad Sahrur mengatakan bahwa perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah janda-janda yang mempunyai anak yatim, pandangan Muhammad Sahrur mengenai perempuan pun asing karena berbeda dengan mufassir yang lainnya.
Tetapi meskipun dianggap asing beliau tetap menginterpretasikan sesuai logika. Tentu saja dengan landasan yang kuat bahwasannya alur ayat ini dimaksudkan sebagai upaya advokasi terhadap anak-anak yatim dan janda-janda, karena dua kelompok ini merupakan sosok yang lemah.
Penafsir kontemporer lain seperti Maulana Umar Ahmad Ustmani dan Fazlur Rahman mengemukakan bahwa kebolehan beristri lebih dari satu hanya bisa dilakukan dengan para janda atau perempuan-perempuan yatim, dan bukan perempuan selain mereka.
Poligami sendiri merupakan perbuatan-perbuatan manusia sebelum Islam dan merupakan tradisi peradaban patriarkis. Pelaksanaan poligami pun bukan hanya dilakukan oleh orang arab saja, tetapi manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktikkan poligami. Poligami dipraktikkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno.
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan seluruh dunia pun melakukannnya. Lebih kejam dari itu sebelum Islam datang kaum perempuan dianggap seperti halnya benda, dan sebagai alat untuk memuaskan nafsu saja.
Menurut saya, kita menolak poligami pun bukan berarti kita menolak ajaran Islam, karena suatu keniscayaan bahwa perempuan tidak menginginkan dipoligami. Hal konkrit yang menunjukan bahwa perempuan tidak mau dipoligami yakni mereka tidak menginginkan suami melalaikan dirinya dan melalaikan anak-anaknya, karena beberapa kejadian bahwasannya laki-laki sudah berpoligami maka otomatis dia menomor duakan istri yang pertama.
Interpretasi demikian mungkin masih banyak yang menganggap salah tafsir, asal ngomong, nyeleneh, dan sebagainya. Tapi jika kita telaah lebih jauh sebenarnya Al-Quran pun turun bukan untuk mengafirmasi adanya poligami tetapi sebuah larangan yang sifatnya gradual, yakni meminimalisasi poligami yang tadinya orang melakukan seenaknya, dan akhirnya hal itu bisa tereliminasi dalam kehidupan sehari-hari. Kita mengetahui juga Islam merupakan agama yang sangat sesuai dengan semua tempat dan mampu berakulturasi sehingga tidak terasa bahwa larangan-larangan yang ada dilakukan tidak secara radikal, provokatif, dan sebagainya.
Kita juga dapat melihat bahwasannya nabi melakukan poligami hanya sebagai sebuah strategi politik beliau sehingga mampu meninggikan derajat perempuan dan menambah kuantitas muslim pada waktu itu. Sebut saja Juwairiyah binti Al-Harist Ra.
Beliau adalah anak perempuan seorang tokoh Bani al-Musthaliq. Ayah dan sukunya dikenal sangat gigih membantu perjuangan kaum musyrik dalam perang Uhud. Begitu Juwairiyah menjadi istri nabi, kaum musyrik berbonding-bondong masuk Islam dan para tawanan perang dibebaskan. Melihat seperti ini Aisyah Ra berkomentar: Saya tidak tahu ada seorang perempuan yang memberikan pengaruh besar pada masyarakatnya sebesar Juwairiyah.
Dari berbagai argumentasi di atas sangat ironi jika masih banyak orang yang mencanangkan poligami hanya dengan alasan sunnah dan mengikuti nabi. Apalagi dengan menyebutkan dalil Al-Quran tanpa memahaminya, atau bahkan menafsirkan Al-Quran hanya untuk sebuah kepentingan mereka belaka. Wallahu A’lamu Bhissowab. []