Mubadalah.id – Politisasi agama adalah fenomena yang telah lama ada dalam masyarakat. Sejak zaman dahulu, agama seringkali digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu. Sebagaimana masa Khawarij dalam sejarah Islam. Khawarij adalah kelompok yang muncul pada awal periode Islam dan menjadi terkenal karena kecenderungan mereka yang ekstrim dan fanatik.
Kemunculan Khawarij dalam Islam yang dengan mudah memperalat ayat Tuhan untuk menghukumi pandangan politik yang berbeda telah menjadi tragedi besar. Khawarij merupakan prototipe dari politik identitas dengan ciri mempolitisasi agama demi tujuan politik.
Politisasi agama dapat kita definisikan sebagai penggunaan agama atau keyakinan keagamaan sebagai alat untuk meraih kepentingan politik, baik oleh individu maupun kelompok. Politisasi agama dapat terlihat dalam berbagai bentuk, seperti penggunaan retorika agama untuk mempengaruhi pendapat publik, memanipulasi keyakinan keagamaan untuk mendapatkan dukungan politik, atau bahkan penggunaan kekerasan atas nama agama.
Masa Khawarij adalah contoh nyata politisasi agama yang ekstrem dalam sejarah Islam. Kelompok Khawarij muncul pada awal periode Islam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Dinamakan Khawarij karena memisahkan diri dari pemerintahan yang ada pada saat itu. Mereka berpegang teguh pada keyakinan agama dan memusuhi siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka.
Dalam sejarahnya, kelompok Khawarij lahir dari peristiwa politik dengan jargonnya, tidak ada hukum selain hukum Allah. Kemudian menjadi mazhab atau aliran teologis yang banyak kaum muslimin ikuti di waktu itu.
Mereka menghukumi para sahabat sebagai kafir, karena meyakini dan mengikuti Sayyidina Ali dalam menerima tahkim dengan Muawiyah sama saja dengan melawan hukum Allah. Sebab apa yang Muawiyah lakukan adalah bagian dari bughat atau memberontak dan tidak ada larangan untuk dibunuh.
Kesalahan Menafsirkan Ayat Alquran
Kelompok ini muncul sebab kesalahan mereka dalam memahami atau menafsirkan makna ayat alquran. Penafsirannya sempit dan eksklusif terhadap ajaran agama. Mereka menjadikan QS. Al-Maidah:44 dan QS.Yusuf:40 sebagai dasar bahwa yang tidak menggunakan hukum selain hukum Allah. Baik Ali maupun Muawiyah mereka hukumi kafir (keluar dari agama Islam), dan tidak diakui sebagai ulil amri yang sah dan wajib diperangi.
Berangkat dari penafsiran yang penuh emosional, kemudian mereka banyak menafsirkan ayat alquran sesuai dengan kecenderungan dan kepentingan politiknya. Mereka mengklaim bahwa hanya mereka yang benar-benar mengikuti ajaran agama dengan ketat yang layak menjadi pemimpin dan memiliki otoritas politik.
Sikap ini mencerminkan politisasi agama, di mana ajaran agama mereka gunakan untuk membenarkan kekuasaan dan mengecualikan kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Berangkat dari pemahaman yang tekstual dan kecenderungan politik, seringkali menggunakan kekerasan dalam melakukan perubahan sosial dan mencapai tujuan politiknya daripada rekonsiliasi damai. Mereka meyakini bahwa tindakan radikal dan pembunuhan terhadap orang-orang yang mereka anggap kafir atau musuh agama adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan politik.
Sehingga menjurus kepada menghalalkan darah kaum muslim maupun non muslim. Sebagaimana Abdurrahman bin Muljam yang terkenal sebagai sosok yang saleh dan rajin beribadah membunuh sahabat sekaligus menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib.
Politisasi agama semacam ini juga pernah Gustave Le Bon singgung dalam bukunya “The Crowd” (1895). Ia mengungkap bahwa massa kerumunan bisa terbentuk oleh figur agamawan. Di mana mereka dipersatukan oleh ide-ide sederhana dan dangkal. Sang agamawan menganggap dia dewa, sedangkan para pengikutnya tunduk dalam ketaatan buta. Mereka laksana zombie yang dengan mudah tergiring menuju intoleransi dan kekerasan.
Tantangan dan Pembelajaran
Masa Khawarij memberikan contoh yang penting tentang bahaya politisasi agama. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik, risiko munculnya kelompok-kelompok ekstrem dan penyalahgunaan kekerasan menjadi lebih besar. Politisasi agama seperti yang terlihat pada masa Khawarij tidak hanya menimbulkan polarisasi, perpecahan, atau kebencian terhadap sesama, namun juga membahayakan keamanan masyarakat.
Begitu pula menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan pandangannya. Dimana mereka menganggap diri mereka sebagai sosok yang paling suci dan memandang rendah kelompok-kelompok lain, termasuk kaum muslim lainnya. Hal ini mencerminkan intoleransi dan sikap eksklusif yang merugikan kebebasan beragama dan pluralisme dalam masyarakat.
Padahal jika kita melihat sejarah Islam yang Rasulullah bawa selama dua puluh tiga tahun di kota Mekkah dan Madinah, tidak ada kecenderungan yang menunjukkan kekerasan dalam gerakan dakwah. Justru Rasulullah lebih mengedepankan nilai-nilai moderasi dan toleransi baik dalam ritual agama maupun bidang lain seperti sosial, politik, bahkan ekonomi.
Dari kaum Khawarij tersebut, seharusnya dapat kita ambil pelajaran bahwa penting untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, toleransi, dan dialog antaragama. Yakni sebagai langkah-langkah untuk melawan politisasi agama dan mencegah munculnya ekstrimisme yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Karena menggunakan kekerasan atas nama agama hanya memperburuk citra agama Islam itu sendiri yang cinta damai dan menghargai perbedaan.
Mari lebih bijak dalam beragama dan berpolitik. Sehingga nantinya pemimpin politik terpilih bukan karena apa agamanya. Namun berdasarkan kompetensi, integritas, dan kualitas kepemimpinan. Juga atas pertimbangan yang adil dan rasional, bukan terpengaruh oleh pertimbangan agama atau teologi tertentu. []