Mubadalah.id – Kebijakan dan gerakan kecil seringkali memicu perbincangan besar. Baru-baru ini, ajakan agar ayah hadir mengambil rapor anak di sekolah menjadi viral. Ada yang memuji sebagai upaya membangun keterlibatan ayah, ada pula yang berpendapat gerakan itu bersifat simbolis dan berisiko menjadi tontonan media.
Di balik perdebatan tersebut, terdapat persoalan struktural yang lebih dalam. Berdasarkan analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik yang BKKBN dan UNICEF rujuk, sekitar 20,1 persen anak di Indonesia setara dengan kurang lebih 15,9 juta anak tumbuh tanpa peran ayah yang aktif dalam pengasuhan.
Kondisi ini kerap kita sebut sebagai fatherless, yang tidak selalu berarti ketiadaan ayah secara fisik, melainkan keterbatasan peran ayah dalam keterlibatan emosional, pendidikan, dan keseharian anak.
Dalam konteks inilah, gerakan ayah mengambil rapor anak di sekolah hadir sebagai respons sosial, dipuji sebagai langkah awal membangun kedekatan ayah dan anak. Tetapi sekaligus juga dikritik karena berpotensi berhenti pada seremoni belaka.
Mengapa Gerakan Ini Muncul?
Gerakan “ayah ambil rapor” lahir di persilangan kepedulian publik dan kecemasan sosial. Di satu sisi, kampanye ini berusaha membuka ruang agar ayah tampak bukan hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai figur yang peduli terhadap proses tumbuh kembang dan pendidikan anak. Selama ini, urusan sekolah sering kita ilekatkan pada ibu, sementara ayah berada di pinggir percakapan.
Kehadiran ayah di sekolah, khususnya pada momen pembagian rapor, bagi sebagian keluarga menjadi pengalaman yang bermakna. Anak merasa kita perhatikan, didampingi, dan terakui. Sekolah pun memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan ayah, membangun komunikasi yang selama ini jarang terjadi. Tidak sedikit pemerintah daerah dan komunitas yang kemudian menguatkan gerakan ini melalui imbauan dan kampanye bersama sekolah.
Namun, makna simbolis selalu menyimpan risiko jika kita pahami secara sepotong. Menghadirkan ayah satu hari dalam kalender akademik tidak otomatis mengubah pola pengasuhan, pembagian peran domestik, maupun norma kerja yang selama ini menyulitkan ayah untuk terlibat secara konsisten.
Gerakan ini memang lahir sebagai respons atas fenomena fatherless, tetapi respons simbolik perlu kita jembatani dengan langkah-langkah yang lebih struktural agar tidak berhenti pada foto dan viralitas.
Pro dan Kontra: Analisis Seimbang
Argumen Pro: Momen Kecil, Dampak Nyata
Pendukung gerakan ini menekankan bahwa perubahan sosial kerap berangkat dari langkah-langkah sederhana. Kehadiran ayah saat pembagian rapor dapat menjadi pintu masuk komunikasi yang lebih intensif antara ayah, anak, dan guru. Percakapan tidak berhenti pada angka-angka nilai, tetapi berkembang pada pemahaman kebutuhan belajar anak dan dukungan emosional yang dibutuhkan.
Gerakan ini juga kita nilai memiliki nilai edukatif bagi masyarakat luas. Ia menampilkan contoh bahwa keterlibatan ayah dalam pendidikan anak adalah penting dan wajar. Bagi anak-anak yang jarang melihat ayah hadir dalam kegiatan sekolah, momen ini menyampaikan pesan kuat bahwa pendidikan bukan semata urusan ibu. Jika kita lakukan secara konsisten, praktik semacam ini berpotensi memperkaya relasi keluarga dan mendorong pembagian peran yang lebih adil.
Argumen Kontra: Kehadiran yang Masih Bersifat Simbolik
Di sisi lain, kritik terhadap gerakan ini patut kita pertimbangkan. Kekhawatiran utama adalah ketika gerakan tersebut berhenti sebagai ritual tahunan: ayah hadir, berfoto, lalu kembali pada pola lama. Tanpa kita ikuti perubahan jam kerja, kebijakan cuti ayah, atau pendidikan pengasuhan yang berkelanjutan, dampaknya akan sangat terbatas.
Selain itu, ada risiko pemaksaan norma sosial baru tanpa mempertimbangkan realitas keluarga yang beragam. Tidak semua ayah memiliki fleksibilitas waktu untuk datang ke sekolah, terutama mereka yang bekerja dengan jam panjang, jarak jauh, atau di sektor informal. Dalam konteks ini, tuntutan kehadiran fisik satu hari justru bisa menimbulkan rasa bersalah dan stigma.
Data tentang puluhan juta anak yang mengalami kondisi fatherless menunjukkan bahwa persoalan ini bukan semata soal niat individual, melainkan berkaitan erat dengan kebijakan publik, budaya kerja, dan sistem pendukung keluarga yang belum memadai.
Dari Simbol ke Aksi Nyata
Gerakan ayah ambil rapor memiliki nilai simbolik yang penting karena berhasil membawa isu keterlibatan ayah ke ruang publik. Namun, jika tujuan utamanya adalah menanggulangi problem fatherless yang berakar pada struktur sosial dan ekonomi, maka gerakan ini perlu kita pahami sebagai pintu masuk, bukan tujuan akhir.
Agar tidak berhenti sebagai retorika, beberapa langkah perlu kita pertimbangkan. Pertama, gerakan ini perlu kita integrasikan dengan program berkelanjutan, seperti pendidikan pengasuhan bagi ayah, forum komunikasi guru-ayah, dan modul keterlibatan orang tua yang tersedia sepanjang tahun.
Kedua, kebijakan kerja yang ramah keluarga seperti cuti ayah dan fleksibilitas jam kerja perlu kita perluas agar keterlibatan ayah memungkinkan secara nyata. Ketiga, penting untuk tidak mengkriminalisasi ketidakhadiran ayah, melainkan membuka pemahaman bahwa keterlibatan memiliki banyak bentuk, termasuk kehadiran emosional dan dukungan di rumah.
Pada akhirnya, kita perlu menggeser fokus dari “foto ayah di sekolah” menuju “hari-hari ayah di rumah”. Gerakan yang memulai dialog, mendorong kebijakan, dan menguatkan relasi itulah yang akan membuat anak tidak lagi merasa kehilangan. Jika gerakan ini mampu melangkah sejauh itu, ia layakkita dukung. Jika tidak, ia menjadi pengingat bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa perubahan yang berkelanjutan. []











































