Mubadalah.id – Al-Qur’an memberikan isyarat lewat Qs. Al-Hujurat ayat 13 sebagai tuntunan menumbuhkan relasi yang inklusif. Pada dasarnya, sikap inklusif yang tertanam pada jiwa setiap manusia akan membawa pada relasi yang lebih baik.
Inklusif berarti memiliki keterbukaan, saling menerima, memahami perbedaan baik suku, agama, warna kulit, termasuk juga pada konteks difabel dan non difabel. Sedangkan ekslusif adalah kebalikannya, memisahkan atau mengotak-kotakkan berdasarkan suatu ketentuan.
Saya menyimak perspektif menarik dari Bu Nyai Nur Rofi’ah Bil Uzm pada acara Ramadan Inklusi, bahwa dunia ini sudah terlalu lama berjalan berdasarkan kebutuhan non difabel. Pembuatan infrastruktur, kebijakan, bahkan hukum Islam sejak zaman dahulu menitikberatkan pada non difabel dan meminggirkan kebutuhan difabel.
Nah, sebagai umat muslim yang mengenal konsep maslahah, kita patut berusaha mewujudkan kemaslahatan agar terasa oleh semua pihak. Agar bukan hanya non difabel yang hidup dan beraktivitas dengan nyaman, melainkan difabel juga merasakan hal yang sama. Itulah bentuk dari keadilan hakiki.
Mengulik Makna QS. Al-Hujurat ayat 13
Ayat al-Qur’an bukan hanya berisi tentang persoalan ibadah dan hukum Islam, melainkan mengatur juga hubungan sosial antar manusia. Allah telah menuntun manusia untuk inklusif melalui ayat Al-Qur’an. Yaitu mengatur tentang relasi antar manusia adalah Qs. Al-Hujurat ayat 13.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Secara spesifik, Wahbah Zuhaili memberikan keterangan bahwa ayat ini berkenaan dengan larangan membanggakan nasab. Tapi secara umum, ayat ini berkenaan dengan tata krama dalam hidup bersosial. Ayat ini menuntun pada relasi inklusif dalam konteks perbedaan suku dan bangsa dan mengajarkan untuk saling memuliakan satu sama lain.
Setiap manusia tidak bisa memilih lahir di suku apa, berwarna kulit apa, orang tuanya siapa, dan lahir dengan memiliki fisik yang lengkap atau tidak. Ketidakberdayaan manusia dalam menentukan nasib lahirnya adalah bukti bahwa manusia tidak patut menerima beban deskriminasi atas sebuah perbedaan.
Itulah sebabnya Allah mengisyaratkan perbedaan lahiriah bukan sebuah hal besar yang dapat mengubah pandangan Allah, apalagi mengubah pandangan manusia. Nilai seorang hamba adalah dari ketakwaannya kepada Allah. Ayat ini dapat menjadi pengingat untuk tidak membeda-bedakan antara difabel dan non difabel karena derajat semua manusia adalah sama di mata Allah.
Implementasi pada Relasi Difabel dan Non Difabel
Sebagaimana ayat di atas dan interpretasi ringkasnya, kita dapat mengimplementasikan pada konteks relasi difabel dan non difabel. Mungkin kita sudah sangat mengerti bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama, yang membedakan adalah ketakwaan manusia kepada Allah. Ya, ini sudah umum kita pelajari sejak kecil.
Kita lebih dulu menumbuhkan tenggang rasa pada relasi antara orang kaya dan orang miskin, antar suku dan agama, bahkan subordinasi perempuan. Tapi, kita perlu sadari ada segmen lain yang bisa masuk pada implementasi ayat ini, yaitu relasi difabel dan non difabel.
Bu Nyai Nur Rofi’ah juga menyinggung bahwa prinsip dasar manusia adalah bisa memanusiakan sesama manusia. Selama ini difabel merupakan label bagi manusia yang memiliki kekurangan fisik dan mental, tidak pernah menyasar akhlak.
Padahal Allah menilai makhluknya berdarkan takwa, bukan fisik. Sehingga beliau memberi pesan agar kita dapat membangun kesadaran kemanusiaan melampaui nilai fisik, tapi ketakwaan dan amal sholih.
Perundang-Undangan di Indonesia memang sudah bergerak ke arah inklusif, tetapi masih bergerak sangat pelan dalam penerapannya. Contohnya, Secara legal pada UU no. 8 Tahun 2016 mengatur terkait hak kerja layak bagi difabel.
Namun di lapangan, difabel masih mendapatkan diskriminasi bahkan sejak perekrutan pekerjaan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah, peran kuasa pemimpin, dan kesadaran diri sendiri merupakan kesatuan utuh untuk mewujudkan relasi yang inklusif.
Peran pemimpin di berbagai lapisan juga sangat penting. Singkatnya, untuk apa sebuah aturan perundang-undangan, jika yang memegang kuasa pelaksanaan tidak bisa mewujudkan? Berjalannya aturan akan tetap mementingkan pihak yang terlihat menguntungkan dan diskriminasi pada difabel tidak akan cepat teratasi.
Terakhir adalah soal kesadaran diri. Memang masih sangat awam pengetahuan tentang relasi inklusif di di masyarakat umum, tapi bukan berarti pengetahuan kecil tidak ada artinya.
Kesadaran diri sedikit banyak dapat muncul karena pengetahuan. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki ilmu dan pengalaman tentang relasi inklusif, harus bisa membagikannya pada masyarakat di sekitarnya. []