• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

Hidup sebagai minoritas di Indonesia memang tidak mudah. Tidak banyak orang yang mampu merasakan ketidakadilan yang mereka terima

Rezha Rizqy Novitasary Rezha Rizqy Novitasary
21/03/2023
in Personal
0
Menjadi Minoritas

Menjadi Minoritas

798
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Salah satu siswa saya ada yang beragama Kristen. Dalam satu angkatan, yang beragama Kristen ada tiga orang. Tentu saja mereka adalah golongan minoritas di sekolah. Saya akui, sekolah belum cukup memberikan fasilitas bagi mereka yang minoritas. Jangankan tempat ibadah, libur khusus hari raya mereka saja hanya terbatas pada tanggal merah yang ditetapkan secara nasional.

Padahal, kami sebagai muslim mendapat jatah libur hari raya Idulfitri lebih dari seminggu. Meskipun tanggal merah yang ditetapkan hanya dua hari saja. Siswa-siswi tersebut juga tidak memperoleh fasilitas guru agama Kristen. Jadi, selama KBM mereka tidak mendapatkan materi sama sekali. Hanya pada saat ujian semester saja, sekolah memfasilitasi soal yang telah terpesan ke Bapak Pendeta sebelumnya.

Hidup sebagai minoritas di Indonesia memang tidak mudah. Tidak banyak orang yang mampu merasakan ketidakadilan yang mereka terima. Para pimpinan dan atasan juga tak ambil pusing jika ada hak yang tidak mereka terima.

Pengalaman Menjadi Minoritas

Saya sendiri pernah mengalami hidup sebagai minoritas. Salah satunya saat menempuh pendidikan di salah satu kampus negeri di Bali. Saya cukup kaget saat melihat tidak ada satu pun Masjid maupun musala di kampus tersebut. Jika hendak sholat, para mahasiswa biasanya menggelar sajadah di ruang kelas yang sudah kosong.

Untungnya ada satu ruangan sempit dekat perpustakaan jurusan Kimia yang dimodifikasi jadi musala. Meskipun kami masih kerepotan karena harus berwudhu di toilet, namun saya merasa sudah cukup beruntung. Dalam hati ada rasa nelangsa. Masa’ sih kampus negeri tidak menyediakan masjid atau musala?

Baca Juga:

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Selain itu libur di saat Idulfitri dan Iduladha juga pendek. Hanya sesuai tanggal merah yang tersedia. Lain halnya dengan libur di saat hari raya Saraswati, Galungan, Kuningan dan Nyepi.

Namun, saya menyadari apa yang saya alami di sana sebagai minoritas, itu pula yang dialami kawan minoritas di Jawa. Atau kawan yang beragama Hindu, Kristen, Katolik, Budha, atau Konghucu di lingkungan muslim.

Misalnya saja di salah satu kampus negeri yang juga menerapkan hal yang sama. Dalam kampus negeri itu tidak ada Gereja, Vihara, maupun Pura yang tersedia. Padahal agama-agama tersebut telah diakui di Indonesia.

Di kampus itu, hari libur buat hari raya agama selain Islam pun juga pendek. Umumnya hanya satu hari saja. Tak lebih dari tanggal merah yang ditetapkan secara nasional.

Saat saya melaksanakan PPL di Singaraja, saya amat terkejut ketika tahu bahwa sekolah-sekolah negeri di Bali juga melarang siswinya berjilbab. Padahal jilbab merupakan salah satu syariat Islam. Mengenakannya adalah hak bagi pemeluk Islam.

Melatih Kepekaan dan Rasa Empati

Mengalami sendiri pahitnya menjadi minoritas membuat saya jadi lebih peka. Saya jadi bisa membayangkan betapa tertekannya siswa-siswi saya yang beragama Kristen di sekolah yang mayoritas guru dan muridnya beragama Islam.

Sehari sebelum Natal, mereka harus tetap masuk untuk mengikuti class meet yang diselenggarakan sekolah. Mereka juga tak mendapat guru agama. Kadang, mereka juga tak punya kesempatan untuk mengajukan diri sebagai ketua kelas apalagi ketua OSIS.

Dalam lingkup masyarakat yang lebih besar, kesenjangan antara pemeluk agama mayoritas dan minoritas tampak semakin nyata. Seorang kawan saya yang beragama Islam, kebetulan serumah dengan ayah ibunya yang beragama Kristen. Waktu itu, ibu dan komunitasnya hendak mendirikan gereja di desa tempat mereka tinggal.

Mereka ingin mendirikan gereja di tanah warisan salah satu nenek moyangnya. Secara hukum tentu saja mereka berhak melakukan hal tersebut. Tanah itu milik mereka, dan mereka berhak mempergunakannya sebaik mungkin.

Namun, ibu kawan saya itu justru didemo oleh para warga yang beragama Islam. Sebagian pendemo datang sambil membawa tongkat. Kegaduhan terjadi di depan halaman rumah kawan saya. Para pendemo menolak pendirian gereja dengan alasan akan mengganggu ketenangan hidup bermasyarakat.

Menurut mereka, adanya gereja akan menganggu keimanan para warga yang mayoritas muslim. Mereka bersuara nyaring sambil memekikkan takbir bersahutan. Sangat wajar jika muncul kedongkolan di hati ibu kawan saya. Semenjak peristiwa itu, ia merasa sangat benci kepada pemeluk agama Islam. Bisa kita bayangkan bukan bagaimana kesenjangan yang tercipta antara kawan saya dan ibunya yang tinggal serumah?

Negara Menjamin Kebebasan Beragama

Pada akhirnya, gereja gagal mereka dirikan. Komunitas Kristen itu akhirnya hanya berhasil mendirikan rumah yang difungsikan sebagai tempat berkumpul dan beribadah saja.

Mengapa setiap pemeluk agama bersikap eksklusif terhadap kelompoknya? Seolah-olah hanya kelompoknyalah yang penting dan paling layak hidup di dunia. Padahal, negara telah menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu.

Orang bersikap eksklusif berharap mendapat pengakuan dari pemeluk agama lain bahwa agama dialah yang paling benar. Bahwa kelompoknyalah yang paling kuat.

Mungkinkah dengan bersikap eksklusif dan intoleran akan membuat pemeluk agama lain kagum? Tentu tidak. Yang ada justru kebencianlah yang akan mengakar di hati mereka.

Mengapa kita seolah-oleh membenci pemeluk agama lain? Membenci orang yang berbeda pilihan dengan kita. Padahal, Allah yang menciptakan perbedaan ini. Andai Allah berkehendak, Dia akan menciptakan semua manusia sama.

Toleransi antar Umat Beragama

Perlu kita ingat pula, salah satu ciri mukmin yang baik dan beriman kepada hari akhir adalah memuliakan tetangga. Tetangga adalah orang yang tinggal di dekat rumah kita. Apapun agama dan kepercayaannya mereka tetap tetangga kita.

Bersikap toleran kepada pemeluk agama lain tidak akan mengurangi kadar keimanan kita. Justru hal itu akan memperkuat rasa persaudaraan antar masyarakat.

Masing-masing pemeluk agama akan merasa nyaman tinggal di rumah dan menunaikan ibadah menurut caranya masing-masing. Tak ada kecurigaan, tak ada kekhawatiran. Semua orang bisa hidup dengan damai. Indonesia rumah bersama, sepertinya harus selalu kita gaungkan dalam setiap acara-acara kemasyarakatan.

Para tokoh agama harusnya jadi orang pertama yang selalu mengingatkan pentingnya toleransi antar umat beragama. Bukan malah jadi provokator jika ada umat agama lain yang hendak beribadah sesuai kepercayaannya.

Terakhir saya ingin mengutip salah satu kalimat Gus Dur. Beliau pernah ditanya apa tanda-tanda kerasnya hati? Gus Dur menjawab, “Saat melihat Gereja, Kau takut imanmu runtuh. ‘Tapi saat membaca Al Quran, tak sedikit pun hatimu tersentuh.” []

Tags: agamagerejamasjidmayoritasMinoritasPerdamaiantoleransi
Rezha Rizqy Novitasary

Rezha Rizqy Novitasary

Guru Biologi SMA, tertarik dengan isu perempuan dan kesetaraan gender. Rezha merupakan peserta Kepenulisan Puan Menulis Vol. 1.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Iklim

    Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID