Mubadalah.id – Ramadan menjadi bulan yang dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tidak hanya terbatas pada umat Muslim saja yang merayakannya. Tetapi juga banyak non-Muslim sangat antusias dalam menyambut bulan suci yang di dalamnya banyak kegiatan momental tersebut. Salah satu di antaranya adalah momen sahur.
Tradisi sahur adalah momen di mana umat muslim makan dan minum sebelum memulai puasa. Mulai dari setelah dibunyikannya tanda imsak sampai terdengar lantunan adzan maghrib, tanda buka puasa sudah tiba.
Saat waktu sahur, kalian pasti tidak asing mendengar marbot atau penjaga masjid membangunkan penduduk untuk melaksanakan sahur. Ia menggunakan toa masjid sampai seluruh penduduk mendengar. Tidak henti-hentinya, banyak marbot yang mencoba untuk berkreasi menggunakan kata-kata yang unik dalam mempersuasi penduduk. Tujuannya agar tertarik lalu segera untuk bangun dari tidurnya. Lebih-lebih dapat menghibur dan melahirkan tanda tawa bagi penduduk.
Bias Gender
Sayangnya, dalam praktik itu, upaya marbot untuk membangunkan tidak selamanya mulus. Masih banyak marbot-marbot masjid yang masih terbelenggu dalam budaya patriarki, sehingga terdapat makna bias gender yang terkandung dalam kata-kata yang ia ucapkan dalam membangunkan sahur tersebut.
Misalnya, kalian pernah mendengar marbot masjid berkata begini dalam membangunkan sahur di masjid,
“Bagi ibu-ibu yang sudah bangun untuk bisa segera untuk memasak, karena waktu imsak akan dikumandangkan beberapa menit lagi..”
Dalam ucapan marbot tersebut, seakan-akan tugas memasak untuk sahur, utamanya pekerjaan masak itu sendiri masih sering mereka anggap sebagai pekerjaan yang seharusnya dan hanya dilakukan oleh perempuan.
Pandangan seperti ini tidaklah sepenuhnya tepat. Jika kita melihat peradaban yang semakin inklusif membuka diri terhadap baik laki-laki atau perempuan dalam menjalankan hak yang sama. Sekarang sudah banyak kita temukan perempuan karir ataupun sebaliknya laki-laki yang bekerja dalam ranah domestik. Sebenarnya tidak ada perbedaan atau ketimpangan dalam sebuah profesi. Semuanya mulia dalam mensejahterakan kehidupan bersama keluarga.
Rekonstruksi Peran Perempuan
Dalam konteks ini, penting untuk merekontruksi pandangan marbot masjid yang masih terbelenggu pada budaya patriarki terhadap peran perempuan. Perempuan tidak sebagai pelayan dapur sehingga banyak pekerjaan dapur yang seharusnya dan hanya boleh perempuan lakukan. Laki-laki juga punya tanggung jawab dan partisipasi terhadap itu.
Hakikatnya, antara laki-laki (baca: suami) dan perempuan (baca: istri) tidak memiliki pekerjaan mutlak. Sehingga pekerjaan itu hanya boleh dilakukan oleh salah satu entitas tersebut. Tapi keduanya memiliki bagian integral dalam menjaga kebersamaan dan keharmonisan dalam menjalankan unsur-unsur kehidupan secara bersama. Termasuk dalam menyediakan hidangan sahur.
Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Islam. Di mana Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam menjalankan perintah agama. Dalam konteks sahur, sekali lagi baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan hidangan sahur, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa memasak untuk sahur, utamanya pekerjaan memasak sendiri, bukanlah pekerjaan yang harus perempuan pikul sendiri. Peran marbot masjid dalam membangunkan untuk sahur adalah bagian dari kontribusi masjid untuk menjaga kesejahteraan penduduk dalam menjalankan ibadah puasa. Namun sepatutnya kata-kata yang terkandung untuk membangunkan sahur tidak bias gender atau dapat mendiskriminasi salah satu gender tertentu.
Dengan demikian, mari kita jadikan Ramadan tahun ini sebagai momentum untuk merefleksikan kembali pandangan kita terhadap peran gender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam tradisi sahur. Semoga dengan pemahaman yang lebih baik tentang kesetaraan gender dalam Islam, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi semua umat. []