Mubadalah.id – Hubungan antara orang tua dan anak adalah hubungan antara orang yang melahirkan dan yang dilahirkan, hubungan antara orang yang merawat dan yang dirawat, antara orang yang dididik dan yang mendidik, antara yang lebih tua dan yang lebih muda. Sehingga keduanya jelas memiliki hak dan kewajiban. Sebab, hak dan kewajiban adalah dua sisi dari koin yang sama. Di samping mempunyai sejumlah kewajiban, orang tua jua mempunyai hak, misalnya hak untuk dihormati.
Begitu juga dengan anak. Ia memiliki hak untuk disayang oleh kedua orang tuanya. Jika orang tua memperoleh penghormatan dari anak, maka anak memperoleh kasih sayang dari orang tua. Dan salah satu bentuk penghormatan terhadap orang tua adalah menaati perintahnya, tentu sejauh tak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah.
Sementara ayah dan ibu sebagai yang lebih tua harus menunjukkan kasih sayangnya kepada anak sebagai yang lebih muda. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
عَنْ زَرْبِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ جَاءَ شَيْخٌ يُرِيْدُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبْطَأَ الْقَوْمُ عَنْهُ أَنْ يُوَسِّعُوْا لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوْقِرَ كَبِيْرَنَا. (رواه الترمذي) Artinya: “Dari Zarbi, dia berkata, “Aku mendengar Anas bin Malik menuturkan, seorang tua hendak menemui Rasulullah saw, lalu ketika itu sekelompok kaum yang bersamanya menghormatinya dan menyuruhnya lebih dahulu menghadap Rasul. Lalu Rasul pun bersabda: “Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua”. (HR. al-Turmudzi).
Jadi, kewajiban orang tua adalah menyayangi dan haknya adalah memperoleh penghormatan. Sebaliknya, kewajiban anak adalah menghormati orang tua dan haknya adalah memperoleh kasih-sayang. Seseorang diwajibkan menghormati jika memperoleh kasih-sayang. Dan orang tua diwajibkan menyayangi jika memperoleh penghormatan. Ini bersifat timbal balik, resiprokal.
Dengan demikian, di antara keduanya mestinya tak saling menunggu. Padahal biasanya, seseorang akan memperoleh hak jika telah melaksanakan kewajiban. Semangat hadits ini, bahwa yang harus didahulukan adalah kewajiban. Orang tua seharusnya menyayangi, dengan segala perilaku, pemberian dan termasuk dalam hal perintah kepada anaknya. Suatu perintah harus berlandaskan sebuah kasih sayang bukan sebuah eksploitasi.
Begitu juga anak, harus menghormati dan memuliakan orang tuanya dengan segala tindakan dan perkataan. Beginilah cara al-Qur`an dan hadits menjelaskan mengenai kewajiban anak terhadap orang tua. Mereka harus menghormati, berbuat baik, menaati dan bertutur kata yang sopan dan santun (QS. Al-Isra’, 17: 23).
Kedua orang tua, terutama ibu, telah mengawali melakukan kewajiban dengan memberikan kasih sayangnya sejak anak masih bayi bahkan masih dalam kandungan. Hamil dengan penuh kesusahan, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik dan menafkahi. Semua itu merupakan bentuk kasih sayang yang telah dilakukan kedua orang tua (QS. Luqman, 31: 14 dan QS al-Ahqaf, 46: 15).
Dari itu, kewajiban bagi anak tak bisa lain kecuali menghormati dan memuliakan orang tuanya. Pertanyaannya, bagaimana bentuk penghormatan terhadap orang tua? Bagaimana mendefinisikan ketaatan itu? Jelas sekali bahwa penghormatan kepada orang tua mempunyai banyak bentuk, di antaranya adalah dengan berbuat baik kepada mereka, mendoakan dan memenuhi keinginan mereka, atau mentaati perintah-perintahnya. Penghormatan ini sekali lagi merupakan perimbangan dari pengorbanan anak terhadap anak.
Demikian tingginya pengorbanan itu sehingga Islam menetapkan bahwa durhaka terhadap kedua orang tua termasuk salah satu dosa besar. Dalam suatu hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبَيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الْكَبَائِرِ، قَالَ: اْلاِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. (رواه الترمذي) Artinya: “Rasulullah suatu saat ditanya mengenai dosa-dosa besar. Nabi menjawab: “menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa, dan memberikan kesaksian palsu”. (HR Turmudzi).
Dalam hadits lain, Nabi pernah menyatakan bahwa durhaka kepada kedua orang tua itu haram, dan bisa mengakibatkan seseorang terjatuh ke dalam su’u al-khatimah (meninggal dalam keadaan tidak baik). Ini menunjukkan bahwa menaati orang tua adalah wajib.
Namun, harus segera dikatakan bahwa ketaatan itu tidaklah mutlak. Ketaatan terhadap orang tua perlu dilakukan selama orang tua tidak menyuruh anak pada kemaksiatan, kezaliman, dan sebagainya. Artinya, anak tak perlu menaati orang tua sekiranya ketaatan itu menyebabkan anak terjatuh pada tindakan melanggar hukum. Nabi Muhammad bersabda:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ الْمَعْرُوْف (رواه أبو داود) Artinya: “Tidak berlaku ketaatan untuk hal-hal yang berupa kemaksiatan kepada Allah, ketaatan hanya untuk hal-hal yang baik”. [HR. Abu Daud].
Syarat lain bahwa perintah orang tua itu tidak untuk menyengsarakan atau mencederai hak-hak kemanusiaan anak. Jika si anak merasa disengsarakan dengan perintah tersebut, ia berhak untuk menolak. Misalnya dalam kasus pernikahan yang menyebabkan perselisihan antara anak dan orang tua. Anak menyatakan bahwa laki-laki itulah yang terbaik buat dirinya, sementara orang tua menyatakan sebaliknya.
Orang tua berusaha untuk membatalkan pernikahan anaknya sekalipun yang bersangkutan sudah merasa cocok dengan laki-laki pilihannya itu. Memperhatikan kasus ini, menarik mendengarkan hadits berikut. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Aisyah dinyatakan bahwa jika orang tua dan anak berselisih pendapat mengenai pernikahan, maka wali hakim yang harus melerai dan memutuskan.
Ini berarti, orang tua tidak punya hak untuk memaksa. Dan sekalipun terus memaksa, anak tidak diwajibkan untuk mengikuti kemauan orang tua. Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i disebutkan bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam dipaksa untuk dikawinkan oleh orang tuanya.
Nabi kemudian mengembalikan keputusan itu kepada si anak; mau diteruskan atau dibatalkan. Nabi tidak mengembalikan keputusan akhir kepada orang tua melainkan pada anak. Hadits ini bisa dipahami demikian; bahwa anak di samping punya hak untuk menolak, ia juga sesungguhnya memiliki otonomi untuk menentukan siapa pendamping hidupnya yang terbaik buat dirinya.
Artinya, orang tua juga tidak bisa memaksa anak, jika benar mereka berangkat dari kasih sayang. Si anak juga tidak mudah menentang orang tua, jika mereka benar ingin memberikan penghormatan. Kasih sayang dan penghormatan, harus dilakukan secarat timbal balik. Mungkin, anak durhaka tidak akan pernah ada, jika ia hidup dalam kasih sayang. Dan orang tua yang durhaka juga tidak akan pernah ada, jika sejak kecil dia telah memperoleh kasih sayang dan waktu besar mendapat penghormatan dan kemuliaan.
Keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan penghormatan satu sama lain, adalah keluarga bahagia yang digambarkan al-Qur’an dalam surat ar-Rum, yakni keluarga mawaddah, rahmah dan sakinah (QS. Ar-Rum, 30: 21). Apalagi jika pemaksaan terhadap anak itu nyata-nyata akan mencederai kemanusiaan si anak, seperti menjual anak kepada pihak lain untuk dipekerjakan secara tidak manusiawi, dipekerjakan pada daerah rawan dan berbahaya, apalagi sampai dijadikan pelacur.
Perintah atau kemauan orang tua yang seperti ini tentu saja tidak perlu ditaati, bahkan bisa dilaporkan ke polisi karena sudah menjerumuskan si anak pada ketidakadilan. Tetapi mungkin saja orang tua melakukan tindak jual beli anak ini berangkat dari kondisi perekonomian keluarga yang sulit.
Jika itu yang terjadi, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk memberdayakan masyarakat miskin dan meningkatkan taraf hidup mereka, salah satunya dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Juga merupakan kewajiban pemerintah untuk memperbaiki pendidikan masyarakat, karena tindakan seperti itu dilakukan juga karena rendahnya pendidikan mereka. []