Di masa pandemi ini, hampir semua aktivitas publik manusia diliburkan. Salah satunya adalah sekolah. Berbulan-bulan anak-anak belajar dirumah secara online. Apakah efektif? Saya rasa tidak. Apalagi bagi yang tinggal di desa. Signal internet dan gadget mungkin sudah tidak terlalu sulit di akses. Namun, kesadaran penggunaan smartphone pada proses pembelajaran tidak semuanya mengetahui.
Jika di kota anak anak sudah bisa mengadakan kelas online melalui media zoom, google met hingga aplikasi belajar berbayar lainnya. Maka di desa tidak. Sulit untuk menerapkan pembelajaran seperti itu. Karena itu setiap seminggu sekali ada guru yang mengantarkan tugas ke rumah siswa atau siswa yang datang ke sekolah untuk mengambilnya.
Mengapa demikian?
Salah satunya karena orang tua murid di desa masih minim pengetahuan tentang pemanfaatan teknologi. Sosial media berbasis hiburan memang sudah tidak asing lagi, tapi media pembelajaran? Mereka masihlah asing. Karena itu, efektifitas belajar mengajar di desa selama pandemi ini saya rasa amat sangat kurang.
Karena saya sendiri banyak menemukan anak-anak bermain, berkeliaran dan tak mengindahkan protokol kesehatan. Anak perempuan dan laki-laki yang bahkan belum lulus SD sudah belajar mengendarai kendaraan roda dua, bahkan tanpa pengawasan orang dewasa.
Anak remaja banyak yang masih mengunjungi tempat wisata, merasa bebas semaunya. Kalau tidak menonton drama korea, maka berjoged ria didepan layar kaca adalah pilihan lainnya. Mereka beranggapan bahwa pandemi ini layaknya libur panjang, tanpa jeda dan akhir yang pasti.
Dan figur idola pada remaja, khususnya remaja putri cukup mempengaruhi. Hanya saja, kebanyakan dari mereka hanya melihat hal-hal yang terlihat di media saja. Sangat jarang remaja yang mencintai idolanya dari prestasi atau perjuangannya. Rata-rata mereka menyukai influencer dari parasnya, kemampuannya, dan aksinya dihadapan layar kaca. Yang bisa dibilang semua yang nampak di layar kaca hanyalah skenario belaka.
Kekosongan figur idola yang “positif” ini membuat remaja seringkali salah arah. Ia ingin meniru, sama seperti yang dilakukan si artis tanpa berfikir apakah itu baik atau buruk, benar atau salah. Hanya karena merasa apa yang dilakukan idolanya adalah hal yang ia sukai, maka ia meniru dan menelan mentah-mentah tanpa memikirkan terlebih dahulu dampak dan manfaatnya.
Disinilah pentingnya peran orang tua bagi anaknya. Bagaimanapun caranya, sebisa mungkin orang tua harus menjadi figur idola untuk anaknya. Atau paling tidak mengarahkan si anak untuk menemukan hal positif idolanya bukan hanya melihat sisi keartisannya saja. Tapi melihat bagaimana sang idola berjuang, melahirkan karya dan mempertahankan pencapaiannya saat ini. Supaya anak tahu, bahwa artis itu juga berawal dari mimpi dan cita-cita bukan hanya menjadi publik figur semata.
Mengajarkan anak akhlak nabi dan keteladannya melalui prilaku nyata orangtua dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya cerita semata. Karena figur idola ini merupakan salah satu sisi penting bagi kehidupan remaja. Saat ia menyukai seseorang, maka ada rasa yang besar untuk mengikuti jejak langkah idolanya nanti.
Jika hal yang di idolakannya adalah hal yang positif, maka baik langkahnya.
Jika hal yang di idolakannya hal negatif, maka orang tua harus bisa memberitahu, menjelaskan dan mengarahkan tanpa paksaan. Sebab segala sesuatu yang dipaksakan justru sering kali melahirkan pemberontakan.
Seperti saya pribadi, dulu saat masih SMP saya sudah bercita-cita menjadi anggota DPR. Karena seringnya melihat talk show politik bersama ayah saya. Dan saya juga mengidolakan Mbak Najwa Shihab, yang membuat saya ingin menjadi jurnalis seperti beliau lalu saya ingin seperti ibu saya, yang tak pernah meninggikan suara dan menghardik anak-anaknya saat kami melakukan kesalahan. Maka dari itu, peran dari figur idola amat sangat penting untuk menstimulus remaja untuk masa depannya kelak.
Masa remaja adalah masa transisi anak menuju dewasa, biasanya anak disebut remaja saat berusia 9 – 17 tahun. Karna itu, penting untuk menanamkan pemahaman dalam diri mereka untuk meraih cita-cita dan bermimpi setinggi langit. Tanamkan kesadaran untuk menggapai apa yang mereka impikan. Dampingi mereka merangkai mimpi mereka dan dukung untuk mewujudkannya.
Mari isi kekosongan figur idola dengan menjadi idola bagi mereka. Bentuk diri kita sebaik mungkin dengan membangun citra positif, dan hasilkan sebuah karya. Sehingga mereka bisa meikmati masa muda dengan produktif dan menghasilkan kreativitas sebanyak-banyaknya. []