• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Runtuhnya Rezim Bashar al-Assad dan Harapan Baru untuk Suriah

Runtuhnya rezim Bashar al-Assad adalah pengingat bahwa kekuasaan yang menindas tidak akan bertahan selamanya.

Yayat Hidayat Yayat Hidayat
11/12/2024
in Publik
0
Runtuhnya Rezim Bashar al-Assad

Runtuhnya Rezim Bashar al-Assad

735
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setelah lebih dari dua dekade bertahan di tengah protes, konflik, dan kecaman internasional, rezim Bashar al-Assad akhirnya tumbang. Runtuhnya rezim Bashar al-Assad ini tidak hanya menandai akhir dari era panjang kekuasaan otoriter di Suriah, tetapi juga membuka babak baru yang penuh harapan sekaligus tantangan bagi rakyatnya.

Bagaimana sebuah bangsa yang telah porak-poranda oleh perang dan perpecahan sektarian menemukan kembali pijakannya? Di balik kegembiraan atas kebebasan yang baru diraih, ada ketidakpastian yang membayangi: akankah Suriah mampu bangkit dari reruntuhan?

Kisah jatuhnya Bashar al-Assad adalah cerita tentang manusia—jutaan perempuan, anak-anak, dan laki-laki yang hidupnya terguncang oleh konflik yang tak berkesudahan.

Dari kota-kota yang kini menjadi puing hingga kamp pengungsian yang penuh sesak. Penderitaan mereka mengingatkan kita akan harga mahal dari kebebasan dan keadilan. Namun, di tengah kegelapan, harapan tetap menyala. Harapan akan perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi yang melampaui luka sejarah.

Rezim Bashar al-Assad

Bashar al-Assad naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2000 menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad, yang memerintah Suriah selama hampir 30 tahun. Dengan latar belakang sebagai dokter mata yang pernah menempuh pendidikan di London. Banyak pihak awalnya berharap Bashar akan membawa reformasi dan keterbukaan di Suriah.

Baca Juga:

7 Oktober: Merayakan Genosida Sedunia

Konflik Gaza dan Perlunya Solidaritas Internasional untuk Perdamaian

Setahun Genosida; Dibunuh karena Terlahir sebagai Palestina

Palestina telah Berhasil Mengubahku

Namun, harapan tersebut dengan cepat sirna. Dalam praktiknya, Bashar melanjutkan tradisi ayahnya. Mempertahankan kekuasaan melalui kontrol militer, represi politik, dan propaganda negara.

Pada 2011, gelombang “Arab Spring” menyapu Timur Tengah, termasuk Suriah. Protes damai yang menuntut reformasi politik di Suriah segera direspon dengan kekerasan brutal oleh pemerintah Assad. Tindakan ini memicu perang saudara yang melibatkan berbagai aktor domestik dan internasional. Hingga kemudian menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terbesar di abad ke-21.

Penyebab Kejatuhan Rezim Assad

Kejatuhan Bashar al-Assad adalah kisah tentang kekuatan rakyat yang perlahan namun pasti meruntuhkan rezim otoriter yang selama dua dekade mencengkeram Suriah. Dalam lebih dari satu dekade konflik, suara-suara protes yang awalnya kecil berubah menjadi gelombang perlawanan yang tak terbendung.

Situasi ekonomi yang memburuk memperburuk keadaan. Masyarakat menghadapi kelangkaan kebutuhan dasar, melonjaknya pengangguran, dan inflasi yang melumpuhkan. Meski Assad mencoba mempertahankan kendalinya melalui represi militer dan propaganda, semakin banyak rakyat Suriah yang menolak untuk tunduk pada ketidakadilan yang berlangsung terlalu lama.

Di sisi lain, dukungan internasional yang selama ini menjadi tumpuan Assad mulai goyah. Rusia, yang selama bertahun-tahun menjadi sekutu utamanya, menghadapi tantangan besar dari perang di Ukraina, memaksa negara itu untuk mengurangi intervensinya di Suriah.

Iran, mitra lainnya, juga terpukul oleh masalah ekonomi dan ketidakstabilan domestik. Tanpa dukungan kuat dari kedua negara ini, Assad kehilangan pijakan geopolitiknya, membuat posisinya semakin rentan. Dalam konteks ini, kelompok oposisi, meskipun beragam dan sering kali tidak bersatu, menemukan momentum untuk merebut wilayah-wilayah strategis yang selama ini menjadi simbol kekuasaan rezim.

Momen klimaks dari kejatuhan Assad terjadi ketika pasukan oposisi memasuki Damaskus. Mereka mengakhiri kekuasaan keluarga Assad yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade. Namun, kemenangan ini tidak serta-merta membawa stabilitas.

Suriah kini menghadapi tugas monumental untuk menyembuhkan luka perpecahan, membangun kembali negara yang telah luluh lantak, dan memastikan keadilan bagi mereka yang telah menderita selama konflik. Kisah ini bukan hanya tentang runtuhnya seorang penguasa. Tetapi tentang harapan yang menyala di tengah reruntuhan, memanggil kita semua untuk merenungkan pentingnya keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas global.

Krisis Kemanusiaan yang Mendalam

Salah satu dampak paling menyedihkan dari konflik Suriah adalah krisis kemanusiaan yang dihasilkan. Data PBB menunjukkan bahwa lebih dari 500.000 orang tewas dalam perang ini, dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi. Banyak di antara mereka yang hidup dalam kondisi memprihatinkan di kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga seperti Turki, Lebanon, dan Yordania.

Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan dalam konflik ini. Mereka tidak hanya kehilangan rumah dan keluarga, tetapi juga menjadi korban eksploitasi, perdagangan manusia, dan kekerasan berbasis gender. Dalam konteks ini, perspektif Mubadalah yang menekankan keadilan dan kesetaraan menjadi sangat relevan untuk mengangkat isu-isu tersebut ke permukaan.

Peluang untuk Masa Depan Suriah

Setelah kejatuhan Bashar al-Assad, Suriah menghadapi babak baru yang penuh harapan sekaligus tantangan. Di tengah reruntuhan kota dan kehancuran sosial akibat perang berkepanjangan, ada peluang untuk membangun kembali negara ini sebagai tempat yang lebih adil, inklusif, dan damai. Namun, jalan menuju masa depan tersebut tidaklah mudah.

Kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh rezim lama memunculkan ancaman baru berupa persaingan antar kelompok oposisi. Di mana masing-masing memiliki visi berbeda tentang arah negara ini. Proses rekonsiliasi menjadi prioritas utama, terutama karena masyarakat Suriah terdiri dari beragam kelompok etnis dan agama yang harus kembali bersatu setelah perpecahan yang mendalam.

Langkah awal yang harus diambil adalah menciptakan dialog terbuka di antara semua pihak. Proses rekonsiliasi ini harus melibatkan pengakuan atas pelanggaran-pelanggaran masa lalu dan menawarkan keadilan bagi para korban kekerasan, tanpa terkecuali.

Rekonstruksi fisik negara juga menjadi kebutuhan mendesak. Rumah-rumah yang hancur, sekolah-sekolah yang runtuh, hingga fasilitas kesehatan yang tidak lagi berfungsi membutuhkan dukungan internasional dalam bentuk dana dan keahlian.

Selain itu, pemimpin baru Suriah harus memastikan bahwa pembangunan kembali ini tidak hanya fokus pada infrastruktur, tetapi juga menciptakan kebijakan yang melindungi hak asasi manusia, terutama bagi kelompok minoritas yang selama ini menjadi sasaran diskriminasi.

Di balik tantangan besar ini, tersimpan harapan bahwa Suriah dapat menjadi contoh bagaimana sebuah bangsa yang pernah hancur oleh konflik dapat bangkit kembali. Prinsip inklusivitas dan keadilan yang ditawarkan oleh nilai-nilai Islam progresif dapat menjadi panduan untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.

Dalam dunia yang semakin terhubung, komunitas internasional, termasuk Indonesia, juga memiliki peran penting dalam mendukung transformasi Suriah melalui diplomasi, bantuan kemanusiaan, dan solidaritas global. Masa depan Suriah akan bergantung pada keberanian rakyatnya untuk bangkit, sekaligus komitmen dunia untuk tidak meninggalkan mereka dalam kesepian.

Epilog

Kisah Suriah memberikan banyak pelajaran bagi Indonesia, sebuah negara dengan keberagaman agama, etnis, dan budaya. Salah satu pelajaran utama adalah pentingnya menjaga persatuan di tengah perbedaan. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Muslim, memiliki tanggung jawab moral untuk terus mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, baik di dalam negeri maupun di arena internasional.

Sebagai anggota aktif PBB, Indonesia juga dapat memainkan peran penting dalam mendukung proses perdamaian di Suriah, baik melalui diplomasi maupun bantuan kemanusiaan.

Runtuhnya rezim Bashar al-Assad adalah pengingat bahwa kekuasaan yang menindas tidak akan bertahan selamanya. Namun, perubahan tidak datang dengan mudah. Dibutuhkan keberanian, solidaritas, dan kerja keras untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi.

Sebagai pembaca, kita dapat terlibat dengan cara sederhana namun bermakna: memperluas wawasan, mendukung inisiatif kemanusiaan, dan terus menyuarakan keadilan. Mari kita jadikan pengalaman Suriah sebagai pengingat bahwa kemanusiaan adalah fondasi yang tidak boleh kita abaikan, apa pun tantangan yang kita hadapi. []

 

Tags: Hukum InternasionalPolitik GlobalRuntuhnya Rezim Bashar al-AssadSuriahTimur Tengah
Yayat Hidayat

Yayat Hidayat

Perantau-Santri-Abdi Negara

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version