Mubadalah.id – Sebagai anak muda yang sehari-harinya banyak menghabiskan waktu di media sosial, saya kerapkali menemukan komentar-komentar netizen yang kadang membuat gemas dan membuat diri makin merasa insecure.
Di antara komentar-komentar tersebut ialah;
“Duuuh cantik banget deh kamu, bener-bener cewek sempurna”, “Orang cantik pake baju apa aja tetep cantik, beda sama yang jelek kayak aku”, “Liat perempuan cantik joged-joged tuh tambah semangat kerja”, ”Coba kalau badannya kecilan dikit, kulitnya putihan dikit pasti makin cantik dan sempurna”.
Komentar-komentar seperti ini sudah seperti makanan sehari-hari di media sosial. Sepertinya dalam konten apapun jika ada wajah perempuan di dalamnya, hal pertama yang jadi perbincangan adalah cantik atau tidak. Padahal konten tersebut sedang menunjukan kegiatan melukis atau jalan-jalan misalnya.
Kadang ketika iseng-iseng membaca komentar seperti itu, saya berpikir dan bertanya kepada diri sendiri. Mengapa perempuan selalu dituntut untuk tampil cantik? Apa benar standar kesempurnaan perempuan adalah kecantikan fisiknya? Dan mengapa masyarakat sangat terobsesi dengan kata cantik?
Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan
Ester Lianawati dalam buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan” menyebutkan bahwa budaya patriarki sudah sejak lama menempatkan perempuan dalam standar kesempurnaan diri. Perempuan dituntut untuk selalu cantik agar dianggap berharga. Dia harus feminim dan lemah lembut supaya menjadi perempuan baik-baik. Lalu, perempuan juga harus mengikuti standar kenormalan yang telah mereka tentukan, supaya dianggap sempurna.
Sejak kecil, anak perempuan sudah mendapatkan penguatan (reinforcement) bahwa kecantikan perempuan dan tubuh indah itu penting. Bahkan akan mendapatkan imbalan. Seperti dapat pujian atau komentar-komentar manis dari orang di sekitarnya.
Dalam penekanan pada kecantikan, sejak kecil perempuan juga diajarkan untuk bersaing. Jika ada beberapa anak perempuan di keluarga besarnya, anggota keluarga atau orang tuanya akan membanding-bandingkan kecantikan satu sama lain. Yang lebih cantik mereka puji (imbalan), yang kurang cantik entah terabaikan, dan kurang diperhatikan. Atau terus mendapatkan komentar negatif dan ini seolah-olah hukuman bagi dia.
Kemudian, ketika sudah besar, reward atas kecantikan ternyata lebih besar lagi. Seperti mudah mendapatkan pacar, pekerjaan, mendapatkan pelayanan lebih ramah dan memuaskan jika berada di tempat umum. Sebaliknya, jika tidak menarik, bukan hanya tidak kita beri imbalan, melainkan kadang diberi sanksi dan hukuman. Seperti menjadi korban body shaming atau kena bullying.
Menurut Ester reward-reward seperti ini ternyata tanpa kita sadari telah mempengaruhi perempuan untuk menjadikan tubuh dan kecantikan sebagai aspek penting dalam membangun diri. Bahkan tidak sedikit perempuan yang merasa frustasi, karena tidak bisa memenuhi standar kecantikan yang telah masyarakat tentukan.
Standar Kesempurnaan Membuat Frustasi
Sehingga tidak heran jika Clara Thompson seorang psikoanalisis menyebutkan bahwa standar kesempurnaan tersebut mampu membuat banyak perempuan merasa frustasi. Lalu mengalami gangguan kondisi mental serta membuat perempuan menilai diri sendiri negatif.
Padahal menurut Clara kesempurnaan yang masyarakat konstruksi itu adalah mitos. Sebab tidak mungkin perempuan bisa tetap menjaga badan agar tidak melar setelah melahirkan. Atau menyusui anak sambil melakukan perawatan kekencangan otot-otot vagina dalam waktu yang bersamaan.
Di sisi lain, media massa juga ikut melanggengkan mitos kesempuranaan tersebut dengan mengonstruksi kecantikan perempuan. Yakni melalui iklan produk kecantikan dengan model-model cantik yang tentu saja mengikuti kriteria yang telah masyarakat tetapkan.
Akibatnya perempuan “kebanyakan” terus terpapar pada kecantikan si model. Hingga secara perlahan mereka pun mengembangkan rasa kurang percaya diri. Tidak sempurna dan dalam tingkat yang ekstrem, perempuan bisa saja mengalami body dysmorphic disorder (gangguan mental yang tertandai dengan gejala berupa rasa cemas berlebihan terhadap kelemahan atau kekurangan dari penampilan fisik diri sendiri).
Dalam bebepa kasus, tidak sedikit perempuan yang terus berusaha menurunkan berat badannya. Padahal tubuhnya sudah sangat kurus sampai level anorexia. Yakni masalah kesehatan jiwa yang membuat pengidapnya terobsesi memiliki tubuh kurus dan sangat takut jika terlihat gemuk.
Mengenal Bulimia Nervosa
Di samping itu, kita juga mungkin pernah mendengar bahwa ada sebagian perempuan yang merasa bersalah ketika memakan makanan yang berlebihan. Lalu memutuskan untuk memuntahkannya kembali, walaupun dengan cara yang ekstrem.
Menurut Ester kondisi ini bisa kita sebut dengan bulimia nervosa. Yaitu gangguan makan yang tertandai dengan kecenderungan untuk memuntahkan kembali makanannya.
Melihat gambaran suram kondisi mental perempuan di atas, Carol D. Ryff seorang psikolog penggagas teori kesejahteraan psikologis menjelaskan bahwa perempuan sebenarnya bisa melepaskan diri dari kondisi suram tersebut dan menjadi sejahtera. Yakni dengan cara menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain. Kemudian menjadi pribadi yang mandiri, menguasai lingkungan dan terus bertumbuh secara personal.
Jadi, menurut Carol menjadi perempuan yang sejahtera dan berdaya itu bukan menjadi perempuan yang sempurna seperti yang masyarakat patriarki lekatkan. Tetapi justru menjadi sejahtera ialah menjadi perempuan bebas dari kompleks-kompleks kesempurnaan dan standar yang mereka ciptakan, atau masyarakat paksakan atas diri perempuan.
Kemudian yang terakhir, saya ingin mengutip kata-kata indah dari Ester Lianawati bahwa “perempuan tidak harus merasa cantik untuk dapat mencintai diri sendiri. Karena nilai perempuan tidak hanya ditentukan dari kecantikannya. Jangan jadikan kecantikan sebagai tirani, kita bukan tahanan dalam tubuh kita sendiri.” []