Mubadalah.id – Muharram adalah bulan yang sangat kelam. Telah kita ketahui bersama bahwa pada tanggal 10 Muharram 61 H terjadi pembantaian cucu Nabi Muhammad saw, Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keluarganya di Karbala, Irak. Peristiwa ini kelak kita kenal dengan Asyura, tragedi yang terjadi pada hari ke sepuluh di bulan Muharram.
Sejarah memilukan ini terjadi karena Yazid bin Muawiyah menginginkan kekuasaan dan memaksa Sayyidina Husein untuk membai’at dirinya dan akan memenggal kepala beliau jika menolak. Sayyidina Husein menolak karena kezaliman telah terjadi di seluruh negeri. Yazid lantas memerintahkan pasukan untuk menyerang Sayyidina Husein, menjanjikan harta dan kekuasaan bagi orang yang mampu membunuh cucu Nabi itu.
Muharram tahun ini Asyura terulang kembali di Palestina. Tanpa rasa takut pasukan pembunuh Sayyidina Husein mengepung keluarga dan pengikut Sayyidina Husein. Sama halnya dengan pasukan Israel yang tak memiliki rasa takut dan malu ketika mengepung Gaza. Sejarah apa yang terulang di Karbala dan Palestina?
Perlawanan
Perjuangan Sayyidina Husein dan pengikutnya adalah bentuk perlawanan atas nama umat. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah orang-orang zalim dan lalim, merampas hak-hak umat, merampok harta benda umat, dan memerintah tanpa restu umat. Dia telah membantai orang-orang baik dan memelihara orang-orang jahat. Harta Allah dijadikan sebagai barang yang diputarkan di antara mereka orang-orang zalim.
Setelah Muawiyah meninggal, Yazid menggantikan ayahnya. Tentu saja kezaliman terus terjadi jika ia memerintah. Ia hanya haus harta dan kekuasaan. Maka Sayyidina Husein menolak berbai’at dan memilih melakukan perlawanan.
Sama seperti Yazid la’natullah alaih, Israel juga haus harta dan kekuasaan. Mereka adalah perampok yang mencuri wilayah Palestina. Maka rakyat Palestina dan Hamas melakukan perlawanan atas kekejaman dan kezaliman yang dilakukan Israel. Israel menghacurkan rumah, sekolah, tempat kerja, tempat hidup rakyat Palestina. Mencuri rumah dan harta rakyat Palestina. Membunuh dan memperkosa rakyat Palestina. Israel la’natullah alaih akan segera mendapatkan balasan yang sangat pedih.
Genosida
Apa yang Yazid lakukan terhadap keluarga Nabi adalah genosida. Pemusnahan generasi. Yazid membunuh cucu Nabi dan seluruh keluarganya yang laki-laki kecuali satu orang. Hampir saja keturunan Nabi berhenti saat tragedi Karbala jika Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husein tidak sakit dan tidak ikut perang. Hanya tersisa satu keturunan Nabi pasca tragedi tersebut.
Jangan anggap genosida berhenti sampai di Asyura ini, genosida terus berlanjut hingga keturunan seterusnya. Para pecinta dunia itu memburu, membantai, dan mencaci-maki keturununan Nabi di mimbar-mimbar. Keturunan Nabi, keturunan manusia paling mulia, pembawa risalah kenabian tidak bisa hidup nyaman selama puluhan tahun.
Hal ini pula yang terjadi di Palestina. Tujuan Israel sejak awal adalah membantai habis rakyat Palestina agar mereka bisa menguasai mencuri seluruh wilayah Palestina. Israel menyerang bayi dan anak-anak yang tak berdosa, mereka membunuh dan membuat lumpuh anak-anak Palestina.
Mereka juga merampas kehidupan rakyat Palestina. Di negeri para Nabi, di tanah para Nabi, genosida berlangsung disaksikan para malaikat dan semesta. Bumi Palestina menangis, pembataian terus terjadi selama puluhan tahun. Mereka tak bisa hidup nyaman di negeri sendiri.
Kelaparan dan Kehausan
Ketika rombongan Sayyidina Husein bin Ali sampai di Karbala, pasukan Umar bin Sa’ad mengepung. Mereka pun memblokade Sungai Eufrat sehingga keluarga dan pengikut Al Husein tidak bisa minum. Dalam kondisi kelaparan dan kehausan, di hari Asyura mereka harus berperang melawan pasukan pecinta dunia. Dalam rombongan Al Husein, terdapat perempuan, bayi, dan anak-anak. Umar bin Sa’ad pun tak ragu membuat bayi dan anak-anak kehausan.
Begitu pula yang terjadi di Palestina saat ini. Israel menutup perbatasan Rafah, bantuan tidak bisa masuk. Mereka juga menghancurkan persediaan makanan di UNRWA, rakyat Palestina kehausan dan kelaparan termasuk bayi dan anak-anak. Israel menjadikan kelaparan sebagai senjata. Tak jauh beda dengan Yazid, Ibu Ziyad, dan Umar bin Sa’ad la’natullah alaihim.
Pertempuran yang Tak Seimbang
Pasukan Umar bin Sa’ad berjumlah 4000 orang sedangkan pasukan Al Husein berjumlah 72 orang, sisanya perempuan dan anak-anak. Jumlah ini jelas tidak seimbang, selain itu, pasukan Al Husein juga dibuat kehausan sebelumnya. Pasukan Al Husein kalah jumlah, namun menang dalam perlawanan terhadap kezaliman di hari Asyura.
Rakyat Palestina dan Hamas juga merasakan hal ini. Jumlah pasukan dan persenjataan Hamas hanya sedikit, termasuk bantuan Iran, Yaman, dan Lebanon. Sedangkan Israel memiliki persenjataan lengkap yang mana seluruh negara adidaya di dunia mendukungnya. Sungguh memalukan, tapi ini yang terjadi. Banyak perusahaan dunia pun terafilliasi dalam suplai senjata dan dana ke Israel. Pertempuran ini jelas sangat tidak seimbang. Rakyat Palestina dengan tangan kosong, sedangkan Israel dengan persenjataan lengkap.
Ditawan dan diarak
Pasca tragedi Asyura, syahadah Al Husein dan seluruh pengikutnya, tinggallah para perempuan keluarga Nabi dan anak-anak. Penderitaan tidak berhenti di sana. Para perempuan dan anak dari keluarga Nabi itu ditawan dan diarak dari Karbala ke Syam untuk menghadap Yazid bin Muawiyah. Mereka diarak bersamaan dengan kepala Al Husein yang mulia.
Para perempuan itu menjadi tontonan seluruh warga, diarak bagaikan orang Kafir yang melakukan dosa. Padahal mereka adalah manusia-manusia mulia dari keturunan Nabi. Mereka harus berjalan kaki di tengah padang pasir yang panas membara. Kelak, peristiwa ini diabadikan oleh para pengikut Al Husein dalam Ziarah Arbain. Para pecinta Al Husein berjalan dari Najaf menuju Karbala, makam Al Husein, untuk memperingati sejarah diaraknya keluarga Nabi.
Di Palestina sendiri, sudah tak terhitung jumlah tawanan yang Israel siksa. Israel mengikat, memukul, memperkosa, dan mempermallukan rakyat Palestina. Holy land, kiblat pertama umat Islam menjadi tempat kejahatan paling zalim yang terjadi di bumi ini.
Sebelum tragedi Karbala terjadi, Al Husein sudah meminta pengikutnya untuk pergi agar mereka bisa selamat. Namun mereka menolak, kelak di akhirat mereka akan malu bertemu Nabi, apa yang akan mereka katakan pada Nabi jika mereka meninggalkan Al Husein seorang diri?
Kali ini, saya pun takut menghadap Allah di akhirat kelak. Apa yang akan saya katakan pada Allah dan Nabiyullah jika saya tak mampu menolong saudara saya di Palestina? []
Sumber: Buku Duka Padang Karbala oleh Sayyid Ibnu Thawus