Mubadalah.id – Dalam beberapa waktu terakhir, kasus pelecehan seksual terhadap anak semakin meningkat. Keprihatinan semakin meningkat ketika pelecehan seksual terjadi dalam lingkungan sekolah. Kasus pelecehan seksual menjadi perhatian yang cukup serius.
Sekolah seharusnya menjadi tempat bagi anak menimba ilmu, tetapi menjadi tempat pelampiasan hasrat oknum tertentu. Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak, tapi menjadi tempat penghancuran masa depan mereka.
Kasus pelecahan seksual dalam lingkungan sekolah bukanlah kasus sepele. Ironisnya, sekolah menutupi kasus ini. Ada ancaman kepada korban supaya menutup mulut. Fenomena ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada individu pelaku, tapi budaya yang membungkam suara korban demi menjaga citra institusi.
Relasi Kuasa Tidak Seimbang
Salah satu alasan atau latar belakang terjadinya pelecehan seksual dalam lingkungan sekolah adalah karena adanya relasi tidak seimbang. Pihak sekolah mempunyai kuasa yang menjadi tameng bagi pelaku dalam melancarkan aksinya. Mereka menganggap dapat menguasai murid di sekolah tersebut.
Tidak jarang pelaku melancarkan aksinya dengan ancaman. Misalkan, jika murid menolak, maka ia tidak mendapat nilai bagus. Hal lain adalah dengan ancaman penyiksaan bahkan pembunuhan. Alasan tersebut menjadi cara pelaku melemahkan korban sehingga bisa menguasainya.
Selain itu guru juga menyalahgunakan kekuasaan mengajar. Dengan kata lain, ketika guru meminta melakukan sesuatu, itu menjadi hal benar. Dalam budaya tertentu, guru mendapat kehormatan. Hal ini membuat orang tidak mudah curiga dengan guru. Banyak orang menganggap perkataannya lebih benar daripada murid. Relasi kuasa seperti ini menjadi penyebab utama terjadinya kasus pelecehan seksual terhadap murid.
Keluarga Yang Berantakan
Selain faktor dari pelaku, kekerasan seksual dalam lingkungan sekolah juga bisa terjadi adanya faktor keluarga. Misalkan hubungan kurang harmonis antara korban dan keluarganya. Ketika seorang anak mengalami defisit afeksi dari keluarganya, ia akan mencari sosok pengganti yang mampu memberi perlindungan.
Ironisnya, pelaku justru menggunakan keadaan ini sebagai cara mempengaruhi korban. Dengan modus melindungi, secara perlahan pelaku merenggut masa depan korban. Mungkin pada awalnya bersikap biasa layaknya seperti orang tua melindungi anaknya, namun lama kelamaan pelaku menjadikan korban sebagai pemuas nafsu.
Lalu mengapa korban cenderung tidak mengadu? Alasannya adalah anak dalam keluarga berantakan akan sulit mencari tempat mengadu. Ia merasa bahwa dirinya keluarganya tidak mendengar apa ia alami. Korban cenderung diam ketika mendapat pelecehan karena ia sendiri tidak tahu kepada siapa akan mengadu. Hal ini membuat pelaku merasa aman, karena korban tidak mungkin melapor.
Pihak Sekolah Yang Bungkam
Menurut beberapa kasus yang terjadi, pelaku tidak hanya guru saja, tetapi juga tenaga kependidikan lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sekolah tahu akan kasus pelecehan itu terjadi di sekolah mereka. Alih-alih melaporkan kepada pihak berwajib, ada beberapa sekolah justru menutupi kasus dengan rapi.
Banyak alasan mengapa sekolah menutupi kasus pelecehan seksual tersebut. Salah satu penyebabnya adalah ingin tetap menjaga nama baik sekolah. Hal ini sebagai cara supaya nama sekolah tidak tercemar. Ada beberapa sekolah unggul terjerat dalam kasus seperti ini. Artinya, ketika membiarkan kasus sampai ke publik, mereka akan kehilangan nama baik sekolah mereka.
Dalam hal ini, pelaku bukan hanya dia yang melakukan pelecehan seksual, tetapi juga pihak sekolah yang berusaha untuk menutupi kasus tersebut.
Keluarga Sebagai Perlindungan Pertama
Tidak ada cara selain memberikan edukasi kepada anak tentang seksualitas dan martabat tubuh mereka. Keluarga mempunyai peran penting dalam memberikan edukasi tentang seksualitas. Sebelum sekolah menetapkan aturan, keluarga memiliki peran kunci dalam membangun perlindungan dari dalam.
Orang tua dan keluarga perlu memberikan edukasi yang cukup berkaitan dengan seksualitas. Anak perlu mendapat edukasi berkaitan dengan seksualitas karena ini juga menyangkut perkembangan diri mereka. Hal ini akan sangat berguna dalam menyikapi perlakuan yang mereka dapatkan.
Pelecehan seksual terjadi karena adanya hubungan keluarga tidak harmonis. Biar bagaimanapun keluarga harus menjadi rumah aman bagi anak. Keluarga menjadi tempat bagi anak mendapat kasih sayang dan sebaliknya. Jika tidak mendapat kasih sayang dalam keluarga, mereka akan mencari kasih sayang dari luar.
Penegakan Hukum Yang Adil
Untuk mencegah semakin kasus pelecahan terjadi, perlu adanya SOP (Standar Operasional Prosedur) penanganan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.
Hal ini sudah tercantum dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Penanganan tindak kekerasan seksual harus sesuai dengan prinsip dukungan psikologis atau psychological first aid (PFA) yang meliputi, safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate.
Hukum harus memberikan efek jera kepada pelaku. Sesuai perundang-undangan yang berlaku, pelaku telah melanggar pasal pasal 30 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pelaku terancam dengan pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) serta ditambah 1/3 dari ancaman pidana karena dilakuan tenaga pendidik (guru).
Dalam hal undang-undang tersebut juga menerangkan korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Hal ini menegaskan bahwa sekolah harus bertanggungjawab secara moral kepada korban. []