Orang-orang bertakwa, sebagai sebuah komunitas yang menyatu, yang telah memiliki panduan hidup, berupa prinsip kasih sayang dalam relasi keimanan kepada Allah Swt (‘ubudiyah) dan relasi kemanusiaan (‘mubadalah), akan memiliki tantangan eksternal dan juga internal. Ayat 6-20 dari surat al-Baqarah bercerita tentang tantangan-tantangan ini.
Pertama tantangan eksternal. Yaitu yang datang dari orang-orang yang kafir dan ingkar. Yang tidak menerima panduan hidup (hidayah) ini. Menolak kasih sayang sebagai pegangan hidup, tidak mau meyakini relasi ketuhanan kepada Allah Swt, dan ingkar pada ajaran relasi kesalingan dan kerjasama antar sesama.
Orang-orang ini sudah menutup diri dan tidak bersedia menerima dakwah sama sekali. Semua pintu dakwah, mereka kunci sendiri. Jalan akal dan hati mereka, juga mereka tutup sendiri. Orang-orang ingkar seperti mereka, biar menjadi urusan Allah Swt. Dia yang akan benar-benar menutup hati dan mengunci akal mereka. Dia pula yang menghukum dan mengazab mereka kelak di hari akhir. Tentu saja, kita perlu waspada, bisa jadi mereka melakukan kontak fisik dan perang terhadap orang-orang bertakwa (al-muttaquun).
Orang-orang yang ingkar itu, sama saja, kalian peringatkan mereka, atau tidak peringatkan, mereka tetap tidak akan beriman. Allah telah menutup hati dan telinga mereka. Pandangan mereka juga tertutup. Mereka akan tertimpa azab yang besar. (ayat 6-7, Surat al-Baqarah).
Tantangan lain, yang lebih krusial, adalah orang-orang dari kalangan internal, yang terlihat sama, laksana orang-orang bertakwa. Mengklaim beriman kepada Allah Swt, tetapi perilaku sehari-harinya justru melakukan hal-hal yang sebaliknya. Mereka melakukan “kerusakan” (fasaad) di muka bumi. Ketika diingatkan, mereka akan mendaku, justru sedang berbuat baik untuk penduduk bumi. Padahal, mereka lah yang sesungguhnya berbuat kerusakan itu.
Dalam pengalaman komunitas awal Nabi Muhammad Saw, mereka adalah orang-orang munafik. Mereka hidup menyatu dengan Nabi Saw, berdampingan, menampakkan kebaikan dan persahabatan. Tetapi di belakang, sejatinya, mereka ingkar, memusuhi, dan selalu menebar ujaran kebencian.
Di awal surat al-Baqarah ini, ada 13 ayat yang membicarakan ciri-ciri orang-orang munafik. Di samping itu, ada surat khusus yang turun dan bercerita tentang mereka, yaitu surat ke-63, dengan nama mereka, “orang-orang munafik” (al-Munafiquun). Di awal al-Baqarah ini, pembicaraan mereka, dimuali dari ayat ke-8 sampai ayat ke-20.
Ciri-ciri dari mereka, seperti yang digambarkan ayat-ayat ini, adalah mengklaim keimanan (ayat 8 dan 9), mengklaim melakukan kebaikan untuk penduduk bumi (ayat 10 dan 11), menuduh orang lain, di luar diri mereka, sebagai bodoh dan tidak bermartabat (ayat 13), bermuka dua, atau berbeda perkataan antara di depan suatu kelompok dan kelompok yang lain (ayat 14), suka menghina dan merendahkan orang lain (ayat 14 dan 15), mencampakkan panduan hidup (hidayah) dan memilih hal-hal pragmatis yang menyesatkan (ayat 16).
Ciri-ciri perilaku ini, jika diringkas, kembali kepada dua hal terkait relasi, pertama ingkar kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, kedua memiliki relasi buruk sesama manusia. Keimanan mereka hanya di mulut saja. Sejatinya, mereka adalah orang-orang yang ingkar dan kafir. Dalam relasi antar sesama, mereka suka bermuka dua, menampakkan kebaikan tetapi memendam keburukan, suka merendahkan orang lain, dan menebar kebencian.
Utamanya adalah perilaku mereka: mencampakkan panduan hidup (hidayah) dan memilih hal-hal praktis yang menguntungkan diri mereka. Padahal, sesungguhnya menyesatkan. Kata kunci dari semua perbuatan mereka adalah “berbuat kerusakan di muka bumi” (fasaad fii l-ardh).
Menarik untuk mengungkap kata kunci ini di seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Dalam berbagai bentuknya, kata “fasaad” ini disebut sekitar 50 kali (merujuk pada Kamus Qur’an karanya Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi). Dari angka ini, sebanyak 37 kali secara spesifik menyebut obyek dari perusakan ini, yaitu bumi (al-ardh, sebanyak 32 kali), bumi dan langit (as-samawaat wa al-ardh, 2 kali), suatu kota (al-qaryah, 1 kali), penduduk suatu kota (al-bilaad, 1 kali). Artinya, kongkrit sekali perliku orang-orang munafik ini: merusak tatanan bumi.
Untuk menjelaskan kualitas buruk dari perilaku perusakan ini, beberapa ayat al-Qur’an memberikan deskripsi tambahan. Seperti menumpahkan darah dengan membunuh atau mengobarkan peperangan (QS. Al-Baqarah, 2: 30; QS. Al-Maidah, 5: 32; dan QS. Al-Qashash, 28: 4), memutus tali persaudaraan (QS. Al-Baqarah, 2: 27), merusak tanaman, ternak, dan siklus reproduksi (QS. Al-Baqarah, 2: 205), dan bersikap otoriter serta zalim (QS. Al-Fajr, 89: 12).
Sikap dan perilaku semua ini, tentu saja, terang benderang, bertentangan dengan jalan hidup yang telah digariskan pada Surat al-Fatihah. Jalan lurus orang-orang bertakwa. Orang-orang munafik, tidak saja mengingkari ketuhanan Allah Swt dan Rasul-Nya, tetapi lebih kongkrit lagi merusak tatanan kehidupan, yang justru akan mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan semesta di muka bumi ini.
Orang-orang seperti ini, adalah “Mereka hanya memilih hal-hal praktis yang menyesatkan, tetapi mencampakkan panduan hidup (hidayah). Sungguh, karena mereka tidak memiliki hidayah ini, semua perilaku mereka ini akan merugi” (ayat ke 16).
“Perumpamaan mereka adalah laksana orang-orang yang menyalakan tungku api, ketika api itu sudah menyala dan menerangi sekitarnya, tiba-tiba Allah mematikan api mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan. Mereka, lalu, sama sekali tidak bisa melihat” (ayat 17).
“Mereka menjadi tuli, bisa, dan buta. Sehingga sulit bagi mereka untuk kembali (ke jalan yang lurus)” (ayat 18).
“Atau (perumpamaan mereka itu) seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah-lah yang mengendalikan orang-orang yang ingkar dan kafir itu” (ayat 19).
“Hampir-hampir kilat itu menyambar mata mereka. Setiap ada cahaya, mereka akan berjalan di bawah sinar cahaya itu, dan ketika gelap tiba, mereka hanya akan berdiri (berhenti berjalan). Jika saja Allah berkehendak, bisa saja Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu” (ayat 20).
Demikianlah perilaku orang-orang munafik itu. Merasa benar sendiri. Mudah menuduh, membenci, merendahkan, dan menghina orang lain. Aktivitasnya selalu merusak, berbuat onar, dan kekacauan.
Mengaku beriman, padahal ingkar. Mengaku berbuat baik, padahal buruk. Mengaku berlaku adil, padahal zalim. Mengaku demokratis, padahal otoriter. Mengaku cinta dan sayang, padahal sewenang-wenang. Mengaku melindungi, padahal mengangkangi. Mengaku melayani, padahal hanya untuk diri sendiri.
Kita tidak perlu menuduh siapa yang munafik di antara kita. Mari berefleksi masing-masing. Shalat dan puasa adalah momentum yang tepat untuk berefleksi. Ketika shalat, terutama saat baca al-Fatihah, kita selalu meminta “hidayah”, yang intinya adalah prinsip kasih sayang, baik dalam relasi vertikal yang kuat kepada Allah Swt, maupun relasi horizontal yang baik sesama manusia.
Kita boleh mengaku apa saja, tentang diri kita, kepada orang lain. Tetapi mari berefleksi saat doa-doa yang kita panjatkan pada Allah Swt, dengan membayangkan ayat-ayat fasaad yang menjadi ciri-ciri munafik di atas. Apakah kita bagian dari perliku itu semua?
Seberapa banyak ucapan baik yang terlontar dari mulut kita, atau tulisan baik dari tangan kita, dibanding yang buruk dan menyakiti; baik kepada orang dekat, pasangan kita, anak atau orang tua, saudara, tetangga, masyarakat sekitar, komunitas media sosial, atau publik lebih luas lagi?
Seberapa banyak perilaku baik kita, tindakan, atau layanan dan kebijakan bagi mereka yang memiliki wewenang, atau justru sebaliknya, lebih banyak membuat kesusahan, baik kepada orang-orang dekat, maupun orang-orang lain?
Sebelum kita menuding orang lain, mari kita lihat diri kita sendiri. Bulan puasa adalah momentum yang paripurna untuk mengenali diri. Shalat adalah saat yang tepat untuk refleksi. Dan doa-doa adalah saat dimana kita mau mengakui kesalahan kita, lalu beranjak, bismillah, untuk kembali menjadi orang yang lurus, memegang panduan hidayah, dengan prinsip rahmah, berman pada Allah Swt, dan berelasi secara mubadalah antar sesama.
Semoga kita semua terus memperoleh hidayah dari Allah Swt agar kita memiliki iman yang teguh, istiqomah, dan menjadi orang-orang yang saling mencintai serta menolong satu sama lain. Amiin.