Mubadalah.id – Pernah mendengar nasehat atau sindiran “Jangan ngikutin standar medsos” atau “hidup kok tergantung FYP” sepetinya kalimat-kalimat itu sering dinotice akhir-akhir ini bahkan diposting beberapa orang dan sempat tranding di beberapa platform seperti treads dan X. Bagaimana sebuah media menjadi standar? dan apa yang akan terjadi jika seseorang terlalu mengikuti standar medsos?
Ekspektasi Terlalu Tinggi
Banyaknya konten yang bertebaran di media sosial menjadi faktor utama penyebab tingginya ekspektasi seseorang. Banyak konten menyajikan berbagai macam gambaran kehidupan yang sangat indah dan menggiurkan. Berbagai konten tersebut secara tidak langsung menciptakan harapan tersendiri bagi penontonnya.
Harapan tersebut membuat seseorang memiliki ekspektasi terlalu tinggi dalam hidupnya. Gambaran kehidupan ideal dan sosok ideal yang muncul dari konten-konten media pada akhirnya menciptakan standar baru yang lebih sulit lagi untuk dicapai
Memiliki target yang tinggi sebagai standar hidup memang tidak salah. Namun jika terlalu obsesif tanpa memperhatikan kapasitas dan realita disekitar kita, maka hal tersebut justru akan membuat kita sulit mencapai target-target terdekat karena berkutat pada perfeksionisme.
Pada dasarnya tidak semua hal-hal yang terlihat indah dan menggiurkan di media dapat kita tiru dan aplikasikan di dunia nyata. Konten yang kita lihat hanyalah satu sisi dari ragam kehidupan yang sangat kompleks. Di balik kehidupan ideal yang mereka posting, terdapat hal-hal lain yang tidak kita lihat. Misalnya seseorang yang terlihat memiliki segalanya ternyata tidak memiliki keharmonisan dengan orang-orang disekitarnya.
Terlebih lagi dunia maya adalah dunia yang penuh dramatisasi dan sangat low privasi, di mana setiap orang bisa saja mengarang cerita dan mengikuti apa saja yang bukan urusannya. Bukankah dalam kehidupan nyata batas-batas itu masih ada? Lalu masih layakkah jika kita mengambilnya sebagai tolok ukur?
Oleh karena itu alangkah baiknya menjadikan media sosial sebatas hiburan dan referensi semata. Kita bisa belajar dan mengambil apapun yang bermanfaat di dalamnya, namun jangan pernah menjadikannya tolok ukur atau standar dalam kehidupan kita.
Trust Issue
Saat konten-konten positif menciptakan harapan bagi penonton, maka konten-konten negative berimbas sebaliknya. Konten negative yang banyak beredar di media sosial akan menciptakan rasa takut,kekhawatiran dan kecemasan bagi penontonnya.
Rasa takut dan kecemasan tersebut akhirnya terbawa masuk ke dunia nyata dan membuat seseorang mulai meragukan banyak hal. Hal ini menjadi semacam trust issue tersendiri yang membuat seseorang sulit percaya pada orang lain dan takut untuk melakukan sesuatu.
Contoh yang paling mudah kita temukan adalah adanya ketakutan perempuan untuk menikah, karena maraknya berita perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Masifnya pemberitaan tersebut membuat sebagian perempuan memutuskan untuk menjalani kehidupan lajang dan enggan menikah.
Menurut saya, merasa takut dan mawas diri akibat informasi negative yang kita dengar adalah sesuatu yang wajar. Namun bukankah hal tersebut hanyalah salah satu tragedi dari banyaknya peristiwa serupa yang terjadi. Dalam konteks pernikahan misalnya, bukankah masih banyak orang-orang di sekitar kita atau mungkin orang terdekat kita sendiri yang pernikahannya harmonis hingga usia senja.
Jadi meskipun potensi negative itu selalu ada, tidak bijak kiranya memukul rata seluruh peristiwa hanya karena beberapa kejadian buruk yang terjadi. Apalagi menjadikannya sebagai ketakutan yang memicu munculnya trust issue dalam kehidupan kita.
Ingat, orang jahat pasti ada,tapi masih banyak orang-orang baik di sekitar kita.
Insecurity
Selain menyebabkan tingginya ekspektasi dan memunculkan trust issue bagi penggunanya, terlalu terpaku paku pada media sosial juga dapat menimbulkan insecurity pada diri seseorang. Tentu saja lagi-lagi hal ini dipicu oleh beragam konten di sosial media. Khususnya konten-konten yang bersifat flexing.
Maraknya konten flexing yang menyuguhkan berbagai macam pencapaian seseorang, baik dalam ranah finansial, karir, pendidikan maupun keluarga tentu akan memunculkan rasa insecurity bagi orang-orang yang belum mampu mencapainya. Seseorang dengan tingkat self appreciate rendah akan mudah merasa inferior saat melihat pencapaian orang lain.
Memposting berbagai pencapaian diri di media sosial memang sah-sah saja, juga tidak selalu untuk tujuan flexing. Selain wujud tahaddus bini’mah, bisa juga merupakan bentuk promosi, self branding bahkan apresiasi terhadap orang-orang yang telah membantu pencapaiannya.
Oleh karena itu, dalam menyikapi rasa insecurity, yang paling penting diperhatikan justru diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa mengapresiasi diri, menghargai setiap proses dan pencapain yang kita lalui, serta menjadikan pencapaian orang lain sebagai motivasi alih-alih merasa insecure.
Percayalah sebesar apapun pencapaian orang lain, ia pasti pernah menghadapi kesulitan dan berada di titik terendahnya. Apa yang kita lihat sekarang hanyalah buah dari proses panjang yang tidak kita lihat sebelumnya.
Setiap Orang Punya Porsinya
Satu hal krusial yang perlu kita sadari bersama adalah bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari sisi kehidupan yang sangat kompleks. Oleh sebab itu sesuatu yang terlihat sangat ideal atau buruk di satu sisi tidaklah sepenuhnya ideal atau buruk.
Saat melihat kehidupan seseorang di media sosial, sadarilah bahwa itu adalah hidupnya, kisahnya,dan masalahnya. Meniru atau mengambil pelajaran itu baik,namun setiap orang tentu punya jalan hidup, permasalahan dan kapasitas yang berbeda. Meskipun menempuh cara dan jalan yang sama, tidak ada yang dapat menjamin kita akan mendapatkan hasil yang sama.
Oleh karena itu, alih-alih terus terdikte oleh standar media sosial yang terlampau tinggi dan tidak relevan dengan keadaan kita, atau terus merasa kerdil dengan pencapaian orang lain, alangkah lebih baiknya kita menciptakan sukses versi diri kita sendiri.
Sukses yang ukurannya bukan standar umum atau sosmed, juga bukan sukses dari cara pandang orang lain. Namun sukses yang berasal dari kemampuan dan keinginan diri kita sendiri. Sukses yang dapat kita usahakan tanpa terlalu banyak ketakutan, sukses yang dapat kita wujudkan tanpa harus jauh berandai-andai.
Contoh sederhana, aku ingin menyelesaikan kuliah yang sudah ku mulai, meskipun tidak secepat dan sebaik yang lain, tapi aku akan berusaha menyelesaikannya.
Hiduplah di dunia nyata
Hiduplah di dunia nyata…
Sederhana memang, namun saat kita benar-benar menyadarinya efeknya akan sangat luar biasa. Kita tidak lagi terdikte dengan standar-standar media yang seringkali tidak realistis. Tidak lagi menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada hal-hal yang ada di sekitar kita. Tidak lagi ditakuti oleh kabar-kabar negatif yang berada luar sana. Kita juga telah memiliki sukses versi diri sendiri yang lebih relevan.
Maka kita akan menyadari betapa indah dan sederhananya dunia ini tanpa standar-standar media yang secara sadar atau tidak ikut mendikte kita dewasa ini. []