• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Standar Media Sosial Merusak Keindahan Dunia

Sederhana memang, namun saat menyadarinya efeknya sangat luar biasa. Kita tidak lagi terdikte dengan standar media yang seringkali tidak realistis

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
29/07/2024
in Personal
0
Standar Media Sosial

Standar Media Sosial

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernah mendengar nasehat atau sindiran “Jangan ngikutin standar medsos” atau “hidup kok tergantung FYP” sepetinya kalimat-kalimat itu sering dinotice akhir-akhir ini bahkan diposting beberapa orang dan sempat tranding di beberapa platform seperti treads dan X. Bagaimana sebuah media menjadi standar? dan apa yang akan terjadi jika seseorang terlalu mengikuti standar medsos?

Ekspektasi Terlalu Tinggi

Banyaknya konten yang  bertebaran di media sosial menjadi faktor utama penyebab tingginya ekspektasi seseorang. Banyak konten menyajikan berbagai macam gambaran kehidupan yang sangat indah dan menggiurkan. Berbagai  konten tersebut secara tidak langsung menciptakan harapan tersendiri bagi penontonnya.

Harapan tersebut membuat seseorang memiliki ekspektasi terlalu tinggi dalam hidupnya. Gambaran kehidupan  ideal dan sosok ideal yang muncul dari konten-konten media pada akhirnya menciptakan standar baru yang lebih sulit lagi untuk dicapai

Memiliki target yang tinggi sebagai standar hidup memang tidak salah. Namun jika terlalu obsesif tanpa memperhatikan kapasitas dan realita disekitar kita, maka hal tersebut justru akan membuat kita sulit mencapai target-target terdekat karena berkutat pada perfeksionisme.

Pada dasarnya tidak semua hal-hal yang terlihat indah dan menggiurkan di media dapat kita tiru dan aplikasikan di dunia nyata. Konten yang kita lihat hanyalah satu sisi dari ragam kehidupan yang sangat kompleks. Di balik kehidupan ideal yang mereka posting, terdapat hal-hal lain yang tidak kita  lihat. Misalnya seseorang yang terlihat memiliki segalanya ternyata tidak memiliki keharmonisan dengan orang-orang disekitarnya.

Baca Juga:

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

Terlebih lagi dunia maya adalah dunia yang penuh dramatisasi dan sangat low privasi, di mana setiap orang bisa saja mengarang cerita dan mengikuti apa saja yang bukan urusannya. Bukankah dalam kehidupan nyata batas-batas itu masih ada? Lalu masih layakkah jika kita mengambilnya sebagai tolok ukur?

Oleh karena itu alangkah baiknya menjadikan media sosial sebatas hiburan dan referensi semata. Kita bisa belajar dan mengambil apapun yang bermanfaat di dalamnya, namun jangan pernah menjadikannya  tolok ukur atau standar dalam kehidupan kita.

Trust Issue

Saat konten-konten positif menciptakan harapan bagi penonton, maka konten-konten negative berimbas sebaliknya. Konten negative yang banyak beredar di media sosial akan menciptakan rasa takut,kekhawatiran dan kecemasan bagi penontonnya.

Rasa takut dan kecemasan tersebut akhirnya terbawa masuk ke dunia nyata dan membuat seseorang mulai meragukan banyak hal. Hal ini menjadi semacam trust issue tersendiri yang membuat seseorang sulit percaya pada orang lain dan takut untuk melakukan sesuatu.

Contoh yang paling mudah kita temukan adalah adanya ketakutan perempuan untuk menikah, karena maraknya berita perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Masifnya pemberitaan tersebut membuat sebagian perempuan memutuskan untuk menjalani kehidupan lajang dan enggan menikah.

Menurut saya, merasa takut dan mawas diri akibat informasi negative yang kita dengar adalah sesuatu yang wajar. Namun bukankah hal tersebut hanyalah salah satu tragedi dari banyaknya peristiwa serupa yang terjadi. Dalam konteks pernikahan misalnya, bukankah masih banyak orang-orang di sekitar kita atau mungkin orang terdekat kita sendiri yang pernikahannya harmonis hingga usia senja.

Jadi meskipun potensi negative itu selalu ada, tidak bijak kiranya memukul rata seluruh peristiwa hanya karena beberapa kejadian buruk yang terjadi. Apalagi menjadikannya sebagai ketakutan yang memicu munculnya trust issue dalam kehidupan kita.

Ingat, orang jahat pasti ada,tapi masih banyak orang-orang baik di sekitar kita.

Insecurity

Selain menyebabkan tingginya ekspektasi dan memunculkan trust issue bagi penggunanya, terlalu terpaku paku pada media sosial juga dapat menimbulkan insecurity pada diri seseorang. Tentu saja lagi-lagi hal ini dipicu oleh beragam konten di sosial media. Khususnya konten-konten yang bersifat flexing.

Maraknya konten flexing yang menyuguhkan berbagai macam pencapaian seseorang, baik dalam ranah finansial, karir, pendidikan maupun keluarga tentu akan memunculkan rasa insecurity bagi orang-orang yang belum mampu mencapainya. Seseorang dengan tingkat self appreciate  rendah akan mudah merasa inferior saat melihat pencapaian orang lain.

Memposting berbagai pencapaian diri di media sosial memang sah-sah saja, juga tidak selalu untuk tujuan flexing. Selain wujud tahaddus bini’mah, bisa juga merupakan bentuk  promosi, self branding bahkan apresiasi terhadap orang-orang yang telah membantu pencapaiannya.

Oleh karena itu, dalam menyikapi rasa insecurity, yang paling penting diperhatikan justru diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa mengapresiasi diri, menghargai setiap proses dan pencapain yang kita lalui, serta menjadikan pencapaian orang lain sebagai motivasi alih-alih merasa insecure.

Percayalah sebesar apapun pencapaian orang lain, ia pasti pernah menghadapi kesulitan dan berada di titik terendahnya. Apa yang kita lihat sekarang hanyalah buah dari proses panjang yang tidak kita lihat sebelumnya.

Setiap Orang Punya Porsinya

Satu hal krusial yang perlu kita sadari bersama adalah bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari sisi kehidupan yang sangat kompleks. Oleh sebab itu sesuatu yang terlihat sangat ideal atau buruk di satu sisi tidaklah sepenuhnya ideal atau buruk.

Saat melihat kehidupan seseorang di media sosial, sadarilah bahwa itu adalah hidupnya, kisahnya,dan masalahnya. Meniru atau mengambil pelajaran itu baik,namun setiap orang tentu punya jalan hidup, permasalahan dan kapasitas yang berbeda. Meskipun menempuh cara dan jalan yang sama, tidak ada yang dapat menjamin kita akan mendapatkan hasil yang sama.

Oleh karena itu, alih-alih terus terdikte oleh standar media sosial yang terlampau tinggi dan tidak relevan dengan keadaan kita, atau terus merasa kerdil dengan pencapaian orang lain, alangkah lebih baiknya kita menciptakan sukses versi diri kita sendiri.

Sukses yang ukurannya bukan standar umum atau sosmed, juga bukan sukses dari cara pandang orang lain. Namun sukses yang berasal dari kemampuan dan keinginan diri kita sendiri. Sukses yang  dapat kita usahakan tanpa terlalu banyak ketakutan, sukses yang dapat kita wujudkan tanpa harus jauh berandai-andai.

Contoh sederhana, aku ingin menyelesaikan kuliah yang sudah ku mulai, meskipun tidak secepat dan sebaik yang lain, tapi aku akan berusaha menyelesaikannya.

Hiduplah di dunia nyata

Hiduplah di dunia nyata…

Sederhana memang, namun saat kita benar-benar menyadarinya efeknya akan sangat luar biasa. Kita tidak lagi terdikte dengan standar-standar media yang seringkali tidak realistis.  Tidak lagi menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada hal-hal yang ada di sekitar kita. Tidak lagi ditakuti oleh kabar-kabar negatif yang berada luar sana. Kita juga telah memiliki sukses versi diri sendiri yang lebih relevan.

Maka kita akan menyadari betapa indah dan sederhananya dunia ini tanpa standar-standar media yang secara sadar atau tidak ikut mendikte kita dewasa ini. []

 

Tags: bahagiaKesehatan MentalLiterasi Media SosialSelf LoveStandar Media SosialSukses
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID