Apa yang ada dipikiran kalian jika mendengar kata “janda”? Apakah sebuah status perempuan yang telah menikah kemudian mengalami perceraian, suaminya meninggal dunia atau pelabelan negatif lainnya?, seperti tukang penggoda, perempuan tidak berdaya, dan lainnya.
Seperti yang banyak dicitrakan oleh media mainstream di Indonesia akan stigma yang melekat pada seorang janda, kemudian diaminkan oleh kita semua sebagai dasar pembenaran untuk menghakimi seorang perempuan yang sudah tak bersuami? .
Seorang perempuan yang menyandang status janda itu bisa memiliki peran banyak hal sebagai manusia, di ingkungan sosial dia tinggal dan harus mendapatkan dukungan yang setara. Namun, seringkali sebagian orang sudah terkonstruksi pemaknaan status janda karena tayangan sinetron di televisi yang sering menampilkan citra negatif.
Munculnya berita-berita negatif tentang janda, yang akhirnya menggeneralisir makna yang berujung pada diskriminasi status janda. Perempuan yang sudah tidak memiliki suami karena alasan tertentu, tetaplah perempuan dan manusia, yang kita harus lihat sesuai fungsi dan peran kemanusiaannya, bukan hanya pelabelan negatif yang sering dilanggengkan oleh kaum patriarkis.
Perempuan Kepala Keluarga
Ketika seorang perempuan yang telah menikah sudah tidak memiliki suami lagi, dan kepergian suaminya meninggalkan anak-anak yang harus ditanggung untuk dirawat dan dibesarkan dengan baik, tentu peran kepala keluarga otomatis tergantikan oleh perempuan.
Meski menyandang status sebagai seorang janda, tetap peran dan fungsinya mampu menjadi kepala keluarga. Sebab perempuan juga manusia yang memiliki kemampuan yang sama sebagai manusia, dan dapat berperan dalam lingkungan sosialnya yang harus diterima dengan setara tanpa ada stigma dan diskriminasi karena status “janda”.
Warganet twitter membagikan pengalaman pribadi tentang Ibunya yang berstatus janda dengan sangat positif, yang mampu membuka perspektif kita lebih luas soal janda agar tidak terus melanggengkan konotasi negatif akan perempuan berstatus janda.
Dalam akun twitter @SuthaMuhd menuliskan “Ibuku ditinggal mati ayah, menghidupi kami bertiga, laki-laki semuanya, dengan membuka kios kecil dan pensiunan ayah, aku pikir ibu bukan janda tapi supermom.”
Kemudian lanjut tulis akun bernama @mysatyawati “Ibu saya dokter gigi, Bapak meninggal karena kanker tahun 2009. Anak pertama sarjana ekonomi tahun 2011, ibu pensiun tahun 2013, anak kedua sarjana tehnik tahun 2014, anak terakhir masuk kedokteran tahun 2014.”
Maka, dengan begitu banyak kisah positif dan inspiratif perempuan menyandang status janda, dapat membuka pikiran kita dalam melihat realitas sosial yang nyata. Bukan hanya sekadar konstruksi sosial yang dibangun melalui layar kaca atau headline berita media yang kadang mengada-ngada agar menarik masyarakat untuk membacanya.
Diskriminasi status janda harusnya sudah tidak ada, sebab kita lebih fokus melihat seorang janda pada fungsi kemanusiaannya sebagai sosok ibu dan perempuan, bukan pelabelan status karena satu dua berita negatif yang beredar dan menimpa orang yang kebetulan menjanda.
Jika di lingkungan kalian ada seorang perempuan yang ditinggal pasangan karena cerai hidup atau mati, lalu melakukan perbuatan tidak atau kurang baik, maka yang salah bukan karena dia berstatus janda, melainkan perbuatan yang telah dilakukan individu tersebut. Sehingga kita tidak bias dalam melihat sebuah realitas. []