Mubadalah.id – Aku terlambat mengunjungi Bapak di perkebunan, meskipun hanya melihat-lihat tanaman sekitar. Daunnya elips memanjang berwarna merah pucat, tidak seperti dedaunan di sekelilingnya yang berwarna hijau. Kupandangi tanaman itu, kelopak bunganya berjumlah 6 helai dalam dua rangkaian. Langit mulai gelap, Bapak tak kunjung kelihatan. Apa ia tersesat? Sangat tidak mungkin. Baru mengingatnya, Bapak lebih suka menghabiskan waktunya di perkebunan seperti ini. Selalu ada ketenangan, katanya.
“Zan, Rezan. Ayo pulang!” ucap Bapak membuyarkan lamunanku.
“Loh, Bapak kok sudah di sini? Tadi kucari, belum kelihatan,” jelasku pada Bapak.
“Daritadi kamu ngelamun gitu, nak,” tutur Bapak sembari merangkul pundakku.
Melewati jalanan kampung, setiap mata yang terlewati, pandangan dan tatapannya sangat tajam. Aku asing bagi mereka atau mereka lupa denganku. Jarak rumah dari perkebunan kurang lebih 2 km, kami menggunakan sepeda onthel. Menyenangkan, setelah sekian lama menghabiskan belajar di wilayah urban, akhirnya bisa pulang. Aku memulai hal-hal kecil dengan memberi senyuman kepada mereka yang lewat. Ada yang berbalas senyum, adapula hanya diam seperti aneh melihatku. Kampungku menjelang malam adalah gelap yang merapal nasib-nasib kesunyian. Adzan maghrib menghampiri rumah mereka lalu berduyun-duyun menuju masjid untuk meraih kemenangan.
“Ibuuun. Ini pisang 3 tandan hasil hari ini,” dengan bahagia aku menyampaikan hasil berkebun bersama Bapak.
Telinga Ibu berdiri dengan kening mengernyit.
“Sejak kapan kamu, leh, memanggil Ibumu ini dengan sebutan ibun?”
“Biar sedikit keren.”
Ibu berbalik badan meninggalkanku, begitupun mulutnya yang komat-kamit entah apa yang diucapkan. Jari-jari Ibu mulai mengupas kulit pisang, aku menghampiri menawarkan bantuan. Yaah, Ibu masih sering menerima pesanan pisang goreng. Buatan hasil tangannya berbeda dari yang kutemui di luar sana. Sesekali aku bertanya pada Ibu apa yang membuatnya suka menerima pesanan pisang goreng. Bukan jawaban yang kuterima, melainkan ocehan bagai aliran air yang tak terputus.
“Zan, sejak Ibu memutuskan untuk tinggal bersama Bapakmu. Ibu harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya, selain itu ibu juga senang bisa ikut memberdayakan perempuan di sekitar sini khususnya Ibu-Ibu.”
Rupamu memang pengikat yang kuat, tak mampu aku berontak atau ingin melepas. Mahir betul Ibuku dalam ucapan dan tindakannya. Ia pernah mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Lalu Ibu memilih untuk meninggalkan apa yang melekat dalam dirinya kecuali cakap membuat pisang goreng.
Ternyata di belakang kami ada Bapak yang tertawa lebar, mengangguk-angguk penuh semangat. Ekspresi kami penuh romansa malam ini. Kami melempar senyum satu sama lain. Sudah 2 hari aku tak melihat Zale, adikku satu-satunya. Dulu Zale selalu memintaku untuk segera pulang, kapan kakaknya ini bisa diajak bermain lagi, kapan kakaknya bisa memberi benda kesukaannya, dan kapan kakaknya ini bisa antar-jemput sekolah. Mungkin sedang ada event di sekolahnya. Eitts, si Zale ini kelas berapa ya? Tetiba aku lupa dengan adik sendiri.
“Rezan, ini dihabiskan makanannya. Benar kata Bapakmu, kamu suka banget melamun akhir-akhir ini.”
“Bukan, ibun. Bukan seperti itu. Ini loh, dari kemarin kok Zale tidak berada di rumah.”
“Zale itu lagi nyantri. Pesantren yang pengasuhnya Gus Abdul, leh.” jelas Ibu kepadaku. Akupun mengiyakan ucapan Ibu dengan muka tampak paham.
Setiap makanan yang tidak habis atau sisa, Ibu selalu mengingatkan bahwa bijaklah saat makan. Ambil secukupnya lalu habiskan semuanya karena di setiap sendoknya adalah perwujudan rasa syukur kita kepada yang Maha Kuasa dan sikap empati kita kepada petani di ladangnya.
“Sudah malam, Zan. Istirahat sana, besok bantu Bapakmu lagi ya.”
“Baik, ibun.”
“Manggil Ibu aja seperti biasa, aneh kalau dipanggil Ibun. Terlalu kekotaan.”
“Hehe, bukannya Ibu juga dulu dari kota ya?” gelitikku pada Ibu.
“Dulu, nak. Sekarang sedikit berbeda, hehee. Oiya, sebelum tidur dan menjelajah mimpi, jangan lupa mengampuni, lebih-lebih mengampuni diri sendiri. Terakhir, jangan lupa panjatkan doa. Selamat istirahat, Rezan putra Ibu paling tampan.”
Aku senyum-senyum sendiri seperti kawula muda sedang kasmaran pada umumnya melihat tingkah Ibu yang unik hari ini. Kutarik selimut dan mulai memejamkan mata. Tengah malam aku terbangun dan menuju kamar mandi. Setelahnya, kulihat Ibu sedang memandangi personal computernya (PC). Padahal ia selalu bilang, kalau tidak bermanfaat tak perlu begadang. Kutengoklah melalui celah pintu kamar yang terbuka. Bapak sudah lelap, tatapan Ibu serius sekali memandangi layar.
“Ibun belum tidur? Sedang apa?” tanyaku sembari menguap.
“Oooh. Iniloh, leh, sedang buat booklet edukasi.”
Aku tersentak, luar biasa! Kupandangi jeli layar PC Ibu, ia hebat benar. Rupanya jiwa pemberdayaan dalam diri Ibu masih ada, kupikir setelah tinggal dan hidup bersama Bapak, enggan untuk memikirkan hal tersebut. Yah, di kampung kami masih banyak perempuan yang menginginkan pekerjaan. Keseharian mereka memang banyak membantu keluarga di perkebunan. Itupun hasilnya tidak seberapa tergantung cuaca.
“Terus apa ide Ibun?”
Ibu meringis. “Doyan sekali kamu panggil Ibun rupanya.”
Dalam gelombang perjalanan sunyi ini, aku menyaksikan cahaya dalam jiwa Ibu. Kampungku tidak terlalu banyak permasalahan mengenai sampah. Namun ide Ibu, memanfaatkan komposisi sampah rumah tangga yang memiliki potensi dan nilai ekonomis. Padahal aku tahu itu tidak mudah dijalani, Ibu menambahkan bahwa dibutuhkan sikap telaten dan sabar dalam proses pengolahannya. Event tersebut telah berjalan 3 bulan. Aku masih duduk mematung di samping Ibu. Otakku berpikir bagaimana jika aku ikut melihat proses pengolahan tersebut. Malangnya, aku ditugaskan untuk setia pada Bapak.
***
Pagi ini aku merayu Bapak agar mengizinkanku menemani Ibu. Bukan hal yang sulit merayu Bapak, ia memang tak pernah memaksa. Aku mengikuti Ibu dari belakang tanpa sepengetahuannya. Langkah demi Langkah, akhirnya sampai ke tujuan. Oh, ternyata sudah ada markasnya. Ukuran sedang, cukup untuk menampung 30 orang. Ada mural unik di tembok luar yang menggambarkan kesetiakawanan dalam merawat bumi yang harus dikerjakan bersama bukan orang per orang. Markas itu bernama sinawung resmining. Aku tertawa kecil membacanya, jelas ungkapan itu hasil musyawarah yang didominasi oleh Ibun, gumamku. Dalam budaya Jawa, ungkapan ini artinya dibingkai dalam keindahan.
“Rezan, tolongin Bapakmu!” ucap Ibu dengan nada tinggi hingga aku melonjak. “Bapakmu sedang ditodong sama kawanan pencuri, ayo cepet!” Ibu menarik tanganku terburu-buru untuk menghampiri Bapak.
Sesampainya di areal perkebunan, Bapak ngos-ngosan nafasnya karena adu mulut dengan penodong. Seringkali tindak kejahatan terjadi di kampung ini, kudengar dari warga berbisik lirih satu dengan lainnya. Aku tahu, penghasilan warga dari hasil perkebunan dan pertanian di kampung ini bisa dinilai lebih dari cukup untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
“Mari Bapak dan Ibu kita kembali berkebun. Semoga hal yang saya alami baru saja tidak terjadi lagi esoknya. Kita tingkatkan kesadaran juga bahwa keamanan lingkungan harus kita jaga bersama.” ajak Bapak kepada para petani.
Kondisi Bapak dan para pekerja lainnya baik-baik saja, tidak sampai terjadi penumpahan darah. Aku dan Ibu kembali ke markas sinawung resmining, di tengah perjalanan aku memeluk pahlawanku kuat-kuat. Mungkin terlihat seperti orang aneh, lelaki seusiaku memeluk perempuan paruh baya di tengah jalan bertapak.
“Rezan, pisangnya tolong angkat yaa ke dapur biar dimasak sama Ibu,” pinta Bapak.
“Baik, Pak.”
Tidak seperti biasanya, kali ini hanya 2 tandan yang diserahkan ke Ibu. Aku melontarkan pertanyaan pada Ibu, bagaimana bisa ia melakukan sistem manajemen yang terstruktur dan terarah dalam pengolahan limbah rumah tangga ini. Tetapi, ia masih fokus dengan mengupas kulit pisang.
Seperti malam, Ibu tak pernah iri pada pagi yang selalu diharapkan, meskipun begitu ia selalu ada sebagai tempat untuk para bintang bulan bersinar dan selalu menemani pada sebuah hati yang seringkali mengeluh meresah bahkan menangis. Pukul 3 pagi, Ibu selalu bangun dan menyiapkan puluhan bahkan ratusan pesanan pisang goreng. Ibu adalah inspirasi hidupku, selalu meyakinkanku untuk menjunjung mimpi-mimpiku. Ia adalah antitesis sikap pesimis.
Ibu menatapku lembut, lalu menjawab.
“Kesibukan Ibu kan dari pukul 3 pagi sampai 8 pagi, leh. Setelah itu, apa yang ibu lakukan? Ya tadi ikut pengolahan limbah rumah tangga.”
“Baiklah. Menerima pesanan pisang goreng adalah kesibukan Ibu.”
Ternyata, kita adalah subjek yang menjadi nyata, menjajakan bahagia secara legal di dalam kepala. []