Mubadalah.id – Demonstrasi yang terjadi pada 28 Agustus 2025 di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta, memuncak dalam sebuah tragedi yang memakan korban tak terduga. Sebuah demonstrasi yang awalnya massa buruh dan mahasiswa suarakan untuk menyampaikan aspirasi, berakhir dengan bentrokan brutal antara pengunjuk rasa dan aparat kepolisian.
Namun, di tengah kericuhan tersebut, sorotan terpusat pada sebuah insiden yang seharusnya menjadi catatan kaki, tetapi justru menjadi narasi utama yang menguak luka-luka sistemik dalam struktur sosial dan ekonomi bangsa. Tragedi ojek online ini menimpa dua pengemudi ojek online (ojol) yang sedang mencari nafkah, bukan berpartisipasi dalam demonstrasi.
Insiden ini adalah cerminan pilu tentang bagaimana individu yang paling rentan menjadi korban ganda. Tertindas oleh ketidakadilan ekonomi yang memaksa mereka bekerja dalam kondisi berbahaya, dan dilindas oleh arogansi kekuasaan yang seharusnya melindungi mereka.
Detik-detik Bentrokan dan Represi Aparat
Dalam upaya pembubaran, aparat kepolisian menembakkan gas air mata dan menghadapi perlawanan dari massa yang melempari mereka dengan batu, molotov, serta benda keras lainnya. Tindakan aparat dalam menghadapi unjuk rasa ini dinilai tidak proporsional. Tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang seharusnya.
SOP pengamanan demonstrasi oleh Polri seharusnya berdasarkan pada profesionalisme, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dan asas legalitas. Namun, berbagai laporan dari koalisi masyarakat sipil dan liputan media menunjukkan praktik yang berbeda.
Terdapat kekerasan fisik dan verbal, termasuk pemukulan, penendangan, dan penyeretan terhadap warga sipil dan jurnalis. Penangkapan terhadap demonstran sering kali polisi lakukan secara acak dan sewenang-wenang, tanpa disertai administrasi penyidikan yang lengkap.
Kesenjangan antara SOP yang tertulis dan praktik di lapangan menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada regulasi, tetapi pada budaya institusional dan akuntabilitas internal. SOP mungkin hanya berfungsi sebagai formalitas legal, bukan sebagai pedoman operasional yang terinternalisasi.
Aksi represif yang berulang kali terjadi dalam berbagai demo dari tahun ke tahun mengindikasikan adanya impunitas atau setidaknya kegagalan sistematis dalam penegakan disiplin. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa negara, melalui aparaturnya, tidak hanya gagal melindungi rakyat tetapi justru menjadi sumber ancaman
Kronik Kekerasan dan Lenyapnya Satu Nyawa Tak Bersalah
Di tengah kericuhan tersebut, sebuah insiden tragis terjadi. Sebuah kendaraan taktis (rantis) milik Brimob menabrak dan menggilas dua pengemudi ojol di sekitar Pejompongan, Jakarta Pusat. Korban pertama, Affan Kurniawan, seorang pemuda berusia 21 tahun asal Tanjung Karang, Jakarta Barat, terluka parah saat sedang mengantarkan pesanan makanan kepada pelanggannya.Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, namun sayangnya nyawanya tak tertolong.
Korban lainnya, Umar Amirudin, pria berusia 30 tahun asal Sukabumi, Jawa Barat. Ia menderita patah kaki dan lebam di sekujur tubuhnya sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Pelni. Insiden ini memicu kemarahan warga dan pengendara ojol lainnya. Bahkan mereka sempat mengejar rantis tersebut sampai ke Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat.
Kematian Affan dan terlukanya Umar bukan hanya sebuah kecelakaan tragis. Peristiwa ini adalah perwujudan brutal dari dua kekuatan yang saling menindas. Arogansi kekuasaan yang direpresentasikan oleh rantis Brimob, dan kerentanan ekonomi yang memaksa Affan dan Umar bekerja di tengah situasi berbahaya.
Keberadaan Affan dan Umar di lokasi tersebut bukanlah karena mereka ingin menjadi bagian dari unjuk rasa, melainkan karena mereka harus bekerja untuk mencari nafkah, terlepas dari bahaya yang mengancam. Ini bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan ekonomi.
Tragedi ojek online ini menjadi simbol sempurna dari bagaimana rakyat kecil, yang sudah terhimpit oleh sistem ekonomi yang tidak adil, menjadi korban pertama dan paling rentan saat ketidakstabilan politik meletus. Kendaraan taktis yang melindasnya secara harfiah adalah metafora visual dari bagaimana sebuah sistem yang seharusnya melindungi, justru menghancurkan mereka.
Anatomi Kerentanan: Ojek Online dalam Pusaran Gig Economy
Fenomena ojek online (ojol) merupakan bagian integral dari apa yang dikenal sebagai gig economy, sebuah tren pekerjaan temporer dan fleksibel yang dimediasi oleh platform digital. Di Indonesia, sektor ini didominasi oleh dua platform besar, Grab dan Gojek, yang mempekerjakan setidaknya empat juta orang dan menyumbang US$7 miliar bagi perekonomian.
Meskipun menawarkan fleksibilitas waktu, kenyataannya, banyak pengemudi ojol yang justru bekerja melebihi jam kerja normal. Sebuah studi oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan bahwa rata-rata jam kerja pengemudi ojol mencapai 54,4 jam per minggu. Jauh di atas standar yang ditetapkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan (40 jam per minggu).
Ironisnya, jam kerja yang panjang tidak serta-merta menjamin pendapatan yang layak. Banyak pekerja gig yang tidak mendapatkan upah minimum setelah memperhitungkan biaya operasional seperti bensin dan kuota internet yang harus mereka tanggung sendiri.
Laporan dari proyek Fairwork (2021) menunjukkan bahwa mayoritas platform di Indonesia gagal memenuhi standar kerja yang layak. Termasuk upah, kondisi, dan kontrak yang adil. Hanya sepertiga platform yang mengambil tindakan untuk melindungi pekerja mereka dengan asuransi kecelakaan atau tunjangan lainnya
Status “Kemitraan” sebagai Mekanisme Penindasan Struktural
Kerentanan para pengemudi ojol ini berakar pada status hukum mereka yang ambigu. Perjanjian antara perusahaan platform dan pengemudi ditetapkan sebagai “kemitraan,” bukan “hubungan kerja”.
Akibatnya, mereka tidak tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur hak-hak dasar pekerja, seperti upah minimum, tunjangan, dan jaminan sosial. Status ini secara efektif melepaskan perusahaan dari kewajiban sebagai pemberi kerja. Sementara para pekerja tetap sepenuhnya bergantung pada platform untuk kelangsungan hidup mereka.
Pemerintah, alih-alih menutup celah hukum ini, belum memberikan regulasi yang memadai untuk melindungi pekerja informal. Meskipun terdapat inisiatif seperti program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsosnaker) bagi pekerja rentan. Implementasinya belum maksimal dan belum mampu menjangkau seluruh pekerja yang membutuhkan.
Keadaan ini menjelaskan mengapa pekerja seperti Affan dan Umar terperangkap dalam siklus ketidakamanan, tanpa jaring pengaman yang kuat. Tragedi ojek online yang menimpa mereka adalah konsekuensi ekstrem dari kegagalan sistematis ini.
Kenaikan Tunjangan DPR: Sebuah Tamparan Bagi Rakyat
Peristiwa tragis yang menimpa ojol terjadi di tengah isu yang memantik kemarahan publik. Rencana kenaikan tunjangan anggota DPR RI, terutama tunjangan rumah yang disebut-sebut mencapai Rp 50 juta per bulan. Isu ini menuai kritik tajam, terutama karena kenaikan tersebut dianggap tidak terimbangi dengan peningkatan kinerja yang signifikan.
Menurut Nailul Huda, Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dari 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dicanangkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sepanjang tahun 2025, hingga Agustus hanya tiga undang-undang yang disahkan.
Perbandingan antara penghasilan anggota DPR dan pendapatan rakyat kecil menunjukkan jurang ketidakadilan yang luar biasa. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyoroti bahwa gaji anggota DPR setelah kenaikan dapat mencapai Rp 104 juta per bulan dengan tunjangan, atau sekitar hampir Rp 3 juta per hari.
Artinya, angka tersebut sekitar 35 kali lipat lebih besar dari rata-rata gaji buruh yang hanya Rp 3,5 juta per bulan atau hanya sekitar kurang dari Rp 200 ribu per hari! Perbandingan sederhana tersebut dapat menunjukkan skala ketidakadilan yang luar biasa antara “wakil rakyat” dengan rakyat yang mereka wakili.
Jurang Empati dan Kognitif Antara Elite dan Rakyat
Isu kenaikan tunjangan ini menunjukkan adanya jurang yang dalam antara elite politik dan masyarakat yang mereka wakili. Ketika seorang anggota DPR, Deddy Sitorus dari Fraksi PDI-P, menganggap perbandingan gajinya dengan Upah Minimum Regional (UMR) sebagai “sesat logika.” Hal ini mencerminkan adanya “jarak kognitif yang besar” dan hilangnya empati terhadap realitas yang rakyat alami.
Jarak ini menjelaskan mengapa kebijakan yang tidak peka seperti kenaikan tunjangan dapat kita pertimbangkan di tengah kesulitan ekonomi. Para pengambil keputusan tidak lagi hidup di dunia yang sama dengan konstituen mereka, sehingga tidak mampu merasakan beban yang rakyat tanggung.
Tragedi Affan dan Umar, yang terjadi di tengah-tengah perdebatan ini, menjadi sebuah tamparan ironis yang menyingkap betapa terasingnya para pemimpin dari nasib rakyat yang mereka pimpin.
Kegagalan Konstitusional: Negara Gagal Melindungi Rakyatnya
Konstitusi negara, UUD 1945, secara eksplisit mengamanatkan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan melindungi kelompok rentan. Pasal 34 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Tragedi ini adalah manifestasi nyata dari kegagalan para pemimpin dalam menjalankan amanat tersebut.
Meskipun pemerintah memiliki program-program kesejahteraan seperti Program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) , fakta bahwa lebih dari 13 juta penduduk desa masih hidup dalam kemiskinan. Gig worker seperti ojol tidak terlindungi secara sistematis menunjukkan bahwa model welfare state belum terwujud secara efektif.
Program-program bantuan sosial seringkali bersifat sektoral atau tambal sulam. Tidak mengatasi akar masalah kemiskinan struktural, ketidakadilan ekonomi, dan celah hukum yang ada.
Kegagalan ini menciptakan kondisi di mana kelompok rentan seperti Affan dan Umar terperangkap dalam siklus ketidakamanan, tanpa jaring pengaman yang kuat. Tragedi ini menegaskan bahwa amanat konstitusi untuk “melindungi segenap bangsa” tidak hanya gagal, tetapi bahkan terlanggar oleh alat negara itu sendiri.
Agustus dan Makna Kemerdekaan yang Belum Tuntas
Bulan Agustus seharusnya menjadi momen untuk memaknai kemerdekaan, yang tidak hanya terbatas pada euforia perayaan, tetapi juga pembebasan dari kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan.
Namun, bagi banyak rakyat, termasuk para pengemudi ojol kemerdekaan sejati masih merupakan “pekerjaan rumah” yang belum tuntas. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah tentang keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama, yang seharusnya dapat terasa oleh seluruh lapisan masyarakat.
Peristiwa tragis yang menimpa Affan dan Umar pada 28 Agustus, di penghujung bulan kemerdekaan, adalah ironi yang menyayat hati. Ini adalah sebuah pengingat brutal bahwa proses demokrasi kita masih jauh dari harapan. Di balik euforia perayaan 17 Agustus, masih ada realitas pahit yang harus rakyat kecil hadapi.
Ruang sipil semakin menyempit, suara rakyat tertanggapi dengan kekerasan, dan kebijakan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang kemerdekaan jika ojol seperti Affan harus meregang nyawa di tengah pengabdiannya untuk mencari nafkah?
Peristiwa ini memaksa kita untuk berhenti sejenak dan beralih dari “euforia menuju refleksi”. Kematian seorang pemuda yang hanya sedang mencari rezeki seharusnya menjadi pengingat bagi seluruh bangsa. Jika sebuah negara tidak dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan dasar bagi warganya yang sedang mencari nafkah, apakah di usia negara kita yang ke-80 tahun ini bangsa kita sudah benar-benar merdeka?
Refleksi dan Jalan Ke Depan: Memaknai Kembali Kemerdekaan Sejati
Tragedi Affan dan Umar bukanlah sekadar insiden tunggal, melainkan efek beruntun dari kegagalan para pemimpin dan sistem yang gagal memastikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Kerentanan yang para ojol alami, yang sudah tertindas oleh sistem ekonomi dan ketidakpastian pekerjaan, berujung pada penderitaan yang dilindas oleh arogansi kekuasaan.
Keadilan sosial, yang merupakan sila kelima Pancasila, bukanlah sekadar wacana. Keadilan sosial adalah “kata kerja” yang harus terwujudkan melalui aksi nyata, kebijakan yang berpihak, dan pertanggungjawaban yang transparan. Peristiwa ini harus menjadi titik balik bagi seluruh elemen bangsa untuk menuntut pertanggungjawaban negara dan reformasi sistemik.
Kita tidak bisa hanya berhenti pada tuntutan hukum bagi pelaku kekerasan. Lebih dari itu, kita harus mendorong perubahan sistemik yang memastikan bahwa kebijakan ekonomi berpihak pada rakyat kecil, bahwa aparat keamanan mengutamakan pendekatan humanis, dan bahwa ruang demokrasi kita hargai sebagai bagian dari kedaulatan rakyat.
Kita harus memastikan bahwa pengorbanan Affan dan penderitaan Umar tidak sia-sia. Perjuangan untuk keadilan sosial harus terus kita gaungkan. Memastikan bahwa di masa depan, tidak ada lagi warga yang harus menjadi korban ganda dari ketidakadilan ekonomi dan arogansi kekuasaan. Hanya dengan demikian, makna kemerdekaan sejati bisa terwujud bagi seluruh rakyat Indonesia. []