Mubadalah.id – Prosesi akad nikah adalah ritual singkat, yang dampaknya memakan waktu seumur hidup. Ritual akad nikah mungkin hanya berjalan sekitar 5 menit. Mulai dari wali yang mengucapkan ijab dan menyusul dengan ungkapan qabul dari pihak suami. Namun, dari prosesi lima menit ini, perjalanan hidup sebuah keluarga kita pertaruhkan.
Mengingat pentingnya prosesi akad nikah, Tadarus Subuh ke 170 yang diselenggarakan hari Minggu kemarin (16/11), mengangkat tajuk “Efektivitas Akad Nikah”. Materi kali ini dibawakan oleh Ning Vivi Nafidzatin Nadhor, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep sekaligus Penulis Buku Pernikahan Semanis Madu Bukan Sepahit Empedu. Dipandu juga oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.
Akad nikah kita sebut efektif ketika ia berhasil menjadi pintu bagi kedua mempelai pasangan dalam membangun tanggung jawab pernikahan. Akad nikah bukan sekadar ritual yang sah secara formal, tetapi adalah gerbang menuju pernikahan yang hidup, bernapas, sera membawa kemaslahatan nyata bagi kedua pihak. Qabul yang diucapkan oleh suami pun dipandang sebagai janji untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.
Untuk memperjuangkan sebuah prosesi akad nikah menjadi sebuah akad nikah yang efektif, perlu usaha dari banyak pihak, termasuk dari pemerintah. Ada tanggung jawab kolektif yang berkelindan di sana. Mulai dari keluarga yang menyiapkan mental calon pengantin, kiai yang memberikan bimbingan pra-nikah yang substantif, sampai kehadiran negara dengan penyediaan regulasi perlindungan yang berkeadilan.
Mewujudkan Pernikahan yang Efektif
Dalam hal ini, perlu ada akhlak terpuji dari berbagai pihak. Keberadaan perempuan sebagai mempelai kita perhatikan dan ikut kita libatkan sebelum berlangsungnya prosesi akad. Permohonan izin bagi perempuan menjadi penting, karena dia yang akan menjalani pahit-manisnya pernikahan. Dalam pernikahan yang efektif, tidak boleh ada yang kita paksakan, seluruh prosesnya harus kita sertai dengan akhlak terpuji.
Pernikahan yang efektif juga terbingkai oleh perilaku takwa. Unsur-unsur dalam keluarga tidak diperkenankan untuk saling menzalimi Bahkan, lebih optimal apabila kita barengi dengan sistem hukum positif.
Bentuk lain dari perilaku takwa tersebut adalah dengan pemenuhan nafkah dzahir dan batin. Namun, ada yang perlu kita garisbawahi perihal nafkah batin. Di masyarakat, ada miskonsepsi bahwa nafkah batin hanya melulu urusan ranjang. Padahal, nafkah batin juga berarti kehadiran emosional, saling mendengarkan saat pasangan berbicara, saling menatap dengan penuh kasih sayang, dan saling hadir secara utuh.
Oleh karenanya, ilmu menjadi dasar fundamental untuk mewujudkan akad nikah yang efektif. Pasangan yang tidak terbekali wawasan pernikahan yang memadai cenderung menimbulkan kekerasan dan penelantaran. Wawasan pernikahan adalah harga mati. Ia sangat kita perlukan untuk menumbuhkan perasaan amanah bagi pasangan untuk berkomitmen saling menjaga keharmonisan ikatan pernikahan. Sehingga, pernikahan tidak lagi dipandang sekedar formalitas pemindahan tanggung jawab dari seorang bapak ke suami.
Lantas, apa saja upaya untuk mewujudkan hal ini?
Kiai Faqih menyebutkan adanya ceramah agama ketika prosesi akad nikah tidak lain untuk mengingatkan kepada sang suami bahwa pernikahan adalah amanah dan tanggung jawab yang harus terpenuhi sepanjang hidup. Sehingga dalam ceramahnya, penceramah bukan lagi sekedar memotivasi nikah, tapi juga untuk mensosialisasikan tanggung jawab pasca akad nikah. Semangat ini sesuai dengan firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 231:
﴿وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓاْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوٗاۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡحِكۡمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ٢٣١﴾
Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu kitab (Al-Qur`an) dan Hikmah (Sunah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dalam penafsiran mubadalah, Ayat ini jelas memerintahkan untuk mewujudkan akad pernikahan efektif yang berlandaskan maslahat bagi kedua belah pihak. Redaksi wa lā tumsikūhunna ḍirāran li-ta‘tadū adalah larangan tegas terhadap segala bentuk relasi pernikahan yang membawa mafsadah bagi seluruh anggota keluarga. Praktik-praktik pernikahan yang menimbulkan mudharat, baik ke pihak pria maupun perempuan, merupakan bentuk pelanggaran tujuan asal pernikahan.
Di sinilah kekuatan konsep efektivitas nikah, bahwa ia tidak hanya berbicara soal keabsahan formal (sah), melainkan juga dampak riil (maslahat). Pernikahan yang sah secara hukum namun penuh dengan kekerasan, penelantaran, dan penderitaan adalah pernikahan yang gagal secara maqashid.
Akad nikah yang efektif adalah akad yang tidak berhenti di ijab qabul. Ia terus hidup, terus kita usahaan, dan terus kita perjuangkan. Baik itu dari pihak pasangan menikah, keluarga, ulama’ maupun perlindungan dari negara. []












































