Mubadalah.id – Ada pandangan normatif tentang perempuan muslim, bahwa perempuan muslim merupakan korban aturan-aturan patriarki yang diproduksi oleh fikih, tradisi, dan praktik-praktik muslim lainnya. Ini penyebabnya atas pandangan bahwa fiqih atau hukum Islam adalah sesuatu yang tak dapat kita ubah dan ditawar-tawar karena hukum tersebut berasal dari Quran, Hadis, dan tafsir para fuqaha Abad Pertengahan.
Menurut Amira El-Azhary Sonbol dalam esainya ‘Rethinking of Woman and Islam’—yang terkumpul dalam buku ‘Daughters of Abraham’—bahwa Islam, sebagaimana penafsiran para fuqaha Abad Pertengahan, menglorifikasi nilai-nilai patriarki yang menafikkan kebebasan dan kesetaraan perempuan yang telah terjamin dalam Islam.
Sulit bagi perempuan muslim mendapatkan pemahaman Islam yang emansipatoris dan inklusif. Apabila mereka masih terikat pada tafsir hukum patriarki yang kebanyakan di antaranya disponsori oleh para ulama laki-laki yang tidak memahami pengalaman perempuan.
Di sisi lain, ketika perempuan membutuhkan tafsir hukum inklusif dan adil gender, menurut Amira, sangat sedikit perempuan muslim yang berani melakukan interpretasi progresif terhadap fikih konvensional yang bias gender.
Sekalipun ada, banyak di antara para fuqaha perempuan itu yang justru membela dan melanggengkan dogma-dogma patriarki tradisional. Atau jika ada yang melakukan tafsir inklusif dan adil gender, mereka akan dipersekusi dan dianggap sesat—tak relevan.
Dengan situasi semacam ini, perempuan muslim pada dasarnya membutuhkan pemahaman atau interpretasi baru terhadap Islam dan hukum Islam. Di sisi lain adalah penting jika interpretasi tersebut berasal dari kalangan atau pemikir perempuan itu sendiri. Sebab bagaimanapun produk hukum tidak boleh mengabaikan pengalaman perempuan itu sendiri.
Meskipun tidak sedikit pemikir yang telah berusaha menjawab perlunya pendekatan tafsir atau hukum baru yang inklusif, dalam artikel kali ini saya akan membahas salah satu dari mereka, yaitu Azizah Y. Al-Hibri. Dia adalah salah satu filsuf Islam modern. Menurut Nima Dahir, dalam ‘The Philosopher Queens’, pemikiran dan karya Azizah sangat penting berkontribusi dalam filsafat kontemporer.
Biografi
Azizah Y. Al-Hibri merupakan pemikir muslim berdarah Lebanon-Amerika yang pemikirannya berfokus pada masalah-masalah HAM dan hukum Islam. Dia adalah cucu dari Toufik Al-Hibri, yang mendirikan Gerakan Pramuka (Scout) pertama di dunia Arab.
Azizah menyelesaikan pendidikan sarjananya di bidang filsafat pada 1966, di American University, Beirut. Dia mendapatkan gelar PhD-nya di bidang filsafat pada 1975 di University of Pennsylvania dan bekerja di kampus itu sebagai guru besar filsafat.
Pada 1983, dia mendirikan jurnal akademik yang bernama Hypatia: A Journal of Feminist Philosophy yang terbit setiap tiga bulan sekali oleh Cambridge University. Dan dua tahun kemudian, 1985, dia melanjutkan kembali studinya di bidang hukum.
Selain mendirikan jurnal Hypatia, Azizah juga mendirikan Karamah: Muslim Women Lawyers for Human Rights. Pada tahun 1992, Azizah diangkat sebagai associate professor di T. C. Williams School of Law, University of Richmond. Saat itu, Azizah menjadi perempuan muslim pertama yang bekerja sebagai profesor hukum di Amerika. Sebuah pencapaian yang tidak boleh kita anggap remeh.
Selain apa yang telah saya sebutkan di atas, prestasi lain yang telah dia capai sangat banyak dan beragam. Di antaranya: dewan penasehat Pew Forum on Religion in Public Life, Pluralism Project di Harvard University, dan PBS (Religion & Ethics Newsweekly).
Sedangkan prestasi di luar akademik sendiri, pada 2011, Azizah ditunjuk langsung oleh Presiden Obama untuk menjabat sebagai komisaris U.S. Commission on International Religious Freedom.
Pemikiran
Pemikiran Azizah berfokus pada titik temu antara hukum Islam dan kesetaraan gender. Azizah berusaha mengkaji tentang problem dalam hukum Islam sehubungan dengan kesetaraan gender dan HAM dalam konteks abad 21. Dia melakukan redefinisi terhadap tafsir dan hukum Islam sekaligus mengkritik penafsiran Islam jumhur yang ia anggap merawat supremasi patriarki.
Dalam esainya yang berjudul ‘Islam, Law and Custom: Redefining Muslim Women’s Rights’ (1997), Azizah menegaskan bahwa sebagian besar hukum Islam yang mensubordinasikan perempuan. Misalnya putusan mengenai hukum perceraian, KDRT, dan poligami. Hal ini berdasarkan pada tafsiran patriarki. Padahal, menurut Azizah, Islam adalah agama yang cukup fleksibel untuk mencerminkan kehidupan modern dan pengalaman perempuan muslim.
Azizah berkata, “… Both the Quran and the ahadith maintain the equality of all humans.” Sayangnya, kata Azizah, sering kali tradisi-tradisi patriarki yang jelas bertentangan dengan Quran dan Hadis masuk ke dalam hukum-hukum Islam.
Hal ini bukan hanya menyebabkan kebingungan dalam membedakan mana budaya atau tradisi patriarki dan hukum Islam. Tetapi juga menyebabkan hukum Islam yang dianggap paten menjadi patronase patriarki yang mengancam otonomi perempuan.
Jika sudah seperti itu, kata Azizah, muncullah ketakutan komunal untuk mempertanyakan fikih. Sehingga banyak muslim yang menganggap bahwa fiqih mutlak, terlepas dari patriarki-tidaknya hukum tersebut. Siapapun yang mempertanyakannya sama saja dengan mempertanyakan agama. Inilah apa yang Abed al-Jabiri sebut dengan taqdisul afkar addiniyah (sakralisasi pemikiran keagamaan).
Kritik Azizah terhadap Pandangan Barat
Karena kurangnya pemerataan pendidikan kepada perempuan di dunia Islam, sehingga melanggengkan penindasan yang mengatasnamakan syariat Allah. Padahal fiqih, bagaimanapun, merupakan produk pemikiran manusia. Jika manusianya patriarki, tentu besar kemungkinan hasil pemikirannya pun juga demikian.
Oleh karena itu, dalam Islam, semua muslim—terlepas dari jenis kelaminnya—yang memiliki pengetahuan mumpuni layak membuat penafsirannya sendiri terhadap teks-teks keagamaan.
Bagi Azizah, tafsir Islam seharusnya dimaksudkan untuk menyesuaikan konteks masyarakatnya. Tidak muluk terikat pada tafsir-tafsir Abad Pertengahan. Karena kita tahu bahwa sepanjang sejarah Islam, situasi dan kondisi masyarakat muslim sangat memengaruhi bagaimana Islam kita tafsirkan. Pada gilirannya bagaimana Islam kita praktikkan.
Azizah mengkritik pandangan Barat yang menganggap Islam sebagai agama patriarki. Sebaliknya, bukan Islam yang patriarki tetapi tafsir dan fiqih Islamlah yang patriarki. Pandangan ulama laki-laki yang bias gender, budaya, dan fenomena sejarahlah yang membuat Islam terkesan mengabaikan perempuan.
Dalam esainya ‘A Study of Islamic Herstory: or how did we ever get into this mess?’ pada 1982, Azizah menulis bahwa Islam mengubah budaya patriarki di semenanjung Arab dan menggantinya dengan hubungan antar agama yang inklusif di mana setiap orang setara, terlepas dari etnik, jenis kelamin, maupun ras.
Sayangnya, setelah Nabi Muhammad wafat budaya yang patriarki, entah bagaimana, mulai masuk ke dalam wacana-wacana keagamaan. Maka tugas Azizah sangat penting: bagaimana tafsir atau hukum Islam jadinya jika pengaruh patriarki dihilangkan dari Islam? []