Mubadalah.id – Fenomena kawin-cerai di kalangan selebriti kian marak menjadi konsumsi publik. Setiap kali kabar perceraian muncul, media sosial ramai dengan komentar, analisis, hingga spekulasi. Pernikahan yang sejatinya merupakan ikatan suci dan tanggung jawab spiritual sering kali tampak hanya sebagai peristiwa emosional yang mudah diakhiri.
Dalam budaya yang menjunjung sensasi, cinta sering tereduksi menjadi hiburan, bukan lagi amanah. Padahal, dalam pandangan Islam, pernikahan bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan perjanjian agung (mītsāqan ghalīẓan) yang mengandung nilai ibadah, tanggung jawab moral, dan dimensi sosial yang luas.
Fenomena ini mengundang refleksi mendalam: mengapa pernikahan, yang harapannya menjadi ladang ketenangan (sakinah), kerap berubah menjadi arena konflik dan perceraian, khususnya di kalangan figur publik?
Untuk menjawabnya, Al-Qur’an menghadirkan panduan abadi tentang makna cinta, komitmen, dan keharmonisan rumah tangga. Dengan menelusuri ayat-ayat suci, kita diajak menafsir ulang bagaimana seharusnya cinta dan pernikahan dijalani dalam bingkai iman, bukan hanya emosi dan gengsi.
Cinta dan Pernikahan dalam Cahaya Al-Qur’an
Al-Qur’an menggambarkan cinta dan pernikahan sebagai tanda kebesaran Allah yang mendalam. Dalam Q.S. Ar-Rūm [30]: 21, Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah).”
Ayat ini menegaskan bahwa hakikat cinta sejati bukan sekadar ketertarikan fisik atau emosi sesaat, melainkan sumber ketenangan batin yang berlandaskan kasih dan rahmat. Dalam konteks selebriti, di mana citra dan publikasi sering kali mendominasi, makna sakinah, mawaddah, dan rahmah kerap tergeser oleh motif popularitas dan ego personal. Cinta menjadi tampilan, bukan ketulusan; pernikahan menjadi proyek citra, bukan ibadah.
Menurut para mufasir, seperti al-Rāzī dan al-Qurṭubī, ketenangan (sakinah) lahir ketika pasangan saling memahami dan menempatkan Allah sebagai pusat hubungan. Kasih (mawaddah) adalah energi spiritual untuk saling memberi, sedangkan rahmat adalah kemampuan memaafkan dan menanggung kekurangan pasangan.
Ketika dimensi ilahiah ini hilang, cinta kehilangan arah dan mudah terguncang oleh konflik duniawi. Maka, dalam perspektif Qur’ani, cinta yang kokoh bukan kita ukur dari kemesraan yang dipertontonkan, tetapi dari kesetiaan yang kita pertahankan di hadapan Allah, meski tanpa sorotan kamera.
Perceraian: Jalan Terakhir, Bukan Budaya Populer
Al-Qur’an tidak menafikan kemungkinan perceraian, tetapi menempatkannya sebagai pilihan terakhir setelah segala upaya rekonsiliasi ditempuh. Dalam Q.S. An-Nisā’ [4]: 35, Allah memerintahkan:
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perceraian bukan keputusan emosional, melainkan proses yang harus kita sertai ikhtiar damai dan pertimbangan bijak. Namun, fenomena perceraian selebriti sering kali terjadi dengan cepat, diumumkan di media, bahkan menjadi konten. Sakralitas perceraian bergeser menjadi tontonan publik. Padahal, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud).
Artinya, perceraian memang diperbolehkan, tetapi tidak dimuliakan. Ia adalah opsi terakhir ketika nilai-nilai kasih dan kesetiaan benar-benar tak dapat terselamatkan. Dalam konteks modern, terutama di dunia hiburan, perceraian sering terjadi karena faktor ego, tekanan karier, atau ketidakmampuan menjaga komunikasi. Hal ini memperlihatkan betapa rapuhnya pondasi rumah tangga yang tidak tertopang nilai spiritual.
Maka, Al-Qur’an menuntun umat agar tidak memandang pernikahan dan perceraian sebagai bagian dari gaya hidup, melainkan amanah yang bernilai ibadah. Kesadaran ini penting agar umat, terutama generasi muda, tidak menormalisasi perceraian sebagai hal biasa, melainkan sebagai keputusan yang penuh tanggung jawab dan introspeksi diri.
Membangun Rumah Tangga Qur’ani di Era Digital
Tantangan terbesar bagi pasangan masa kini, termasuk selebriti, adalah menjaga privasi, komunikasi, dan keutuhan di tengah tekanan sosial media. Dalam banyak kasus, konflik rumah tangga menjadi viral sebelum terselesaikan secara personal. Padahal, Islam mengajarkan untuk menjaga aib dan kehormatan keluarga. Q.S. An-Nūr [24]: 19 memperingatkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang suka tersebarnya perbuatan keji di antara orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
Fenomena publikasi konflik rumah tangga tidak hanya merusak nama baik, tetapi juga menormalisasi budaya sensasional yang bertentangan dengan etika Qur’ani. Rumah tangga Qur’ani adalah rumah tangga yang menjaga rahasia, mengutamakan komunikasi lembut, serta menjadikan Allah sebagai penengah. Kunci utamanya ada pada prinsip ta’āwun ‘alal birri wat-taqwā (saling menolong dalam kebaikan dan takwa).
Untuk itu, membangun rumah tangga Qur’ani berarti menanamkan tiga nilai utama. Pertama, tawakal dan sabar dalam menghadapi perbedaan. Kedua, syukur dan qana’ah dalam menjalani keterbatasan. Ketiga, musyawarah dan empati dalam menyelesaikan persoalan.
Cinta yang berpijak pada iman tidak akan lekang oleh tekanan publik. Ia tumbuh melalui doa, bukan drama. Dalam rumah tangga Qur’ani, suami dan istri tidak berlomba menjadi yang paling benar, tetapi berlomba menjadi yang paling sabar dan memaafkan.
Fenomena kawin-cerai selebriti seharusnya menjadi cermin, bukan tontonan. Ia mengingatkan bahwa ketenaran tidak menjamin kebahagiaan, dan cinta tanpa iman mudah kehilangan arah. Al-Qur’an mengajarkan bahwa pernikahan adalah perjanjian suci yang menuntut kedewasaan spiritual, bukan sekadar ikatan emosional.
Dalam dunia yang kian mengagungkan sensasi, umat Islam perlu kembali menanamkan nilai-nilai Qur’ani dalam membangun cinta: sakinah dalam hati, mawaddah dalam sikap, dan rahmah dalam pengorbanan. Hanya dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan utama, cinta dapat bertahan bukan karena sorotan dunia, melainkan karena ridha Allah yang abadi. []

			









































