Mubadalah.id – Memaknai disabilitas tidak hanya berfokus pada satu sudut pandang saja yang mana masyarakat pada umumnya menganggap bahwa hal itu datang hanya dari faktor keturunan dan sebatas kekurangan fisik.
Namun dalam buku novel Tere liye yang berjudul “Teruslah Bodoh Jangan Pintar”, ada disabilitas atau kecacatan yang sangat merugikan banyak pihak. Baik itu makhluk hidup serta lingkungan sekitarnya yakni kecacatan moral atau disabilitas moral. Bahkan hal ini justru dilakukan oleh orang-orang normal tapi haus kekuasaan.
Ketidakadilan kebijakan sang penguasa yang selalu didukung juga ikut andil dalam menyebabkan kecacatan atau disabilitas fisik terhadap makhluk lain. Buku ini menyoroti berbagai kehidupan yang memarjinalkan kaum bawah dan memenangkan kaum atas.
Sebelum lanjut ke keterkaitan masalah dari isi buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dan kenyataan di Negeri Indonesia, mari sejenak mengulas tentang penulis dan latar belakang yang menjadi poin kritis dalam novel.
Buku ini merupakan karya Tere Liye yang dalam bahasa India berarti “untukmu”, sebuah nama pena dari penulis asal Indonesia yaitu Darwis, lahir di Lahat Sumatera Selatan pada 21 Mei 1979.
Salah satu karya dengan ciri khas satir tajam, lugas, dan penuh sindiran sosial serta mengkritik kondisi masyarakat modern yang mengagungkan kepintaran tetapi kehilangan kebijaksanaan dan nurani.
Judulnya yang provokatif justru bukan ajakan untuk menjadi bodoh, melainkan sebuah sindiran terhadap cara manusia modern menggunakan “kepintaran” untuk hal-hal kezaliman (kerusakan).
Konflik dan Kritik Dalam Novel
Secara garis besar, novel ini mengangkat konflik antara moralitas, ilmu pengetahuan, dan keserakahan manusia, terutama lewat gambaran dunia yang rusak oleh aktivitas industri dan politik korporasi.
Dalam bukunya, Tere Liye menyinggung berbagai persoalan seperti kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan industri besar yang menampilkan bagaimana alam dieksploitasi hingga menimbulkan dampak sosial seperti penyakit, kemiskinan, bahkan bayi yang terlahir cacat akibat pencemaran aktivitas tambang.
Menyinggung kecacatan moral dan “orang pintar”, kritik ini diarahkan pada golongan terpelajar, pejabat, dan ilmuwan yang memanipulasi pengetahuan untuk keuntungan pribadi atau politik, bukan untuk kemanusiaan. Kehilangan nilai kemanusiaan di tengah kemajuan teknologi dan ekonomi, Tere Liye menggambarkan masyarakat yang tampak maju secara intelektual, tetapi miskin empati dan etika.
Sindiran terhadap pendidikan modern, sistem pendidikan dianggap terlalu menekankan pada kecerdasan akademik, sementara melupakan pembentukan akhlak, karakter, dan kesadaran sosial.
Konflik novel bermula dengan pengenalan situasi dunia yang kacau, lingkungan rusak, pendidikan kehilangan arah, dan para “orang pintar” sibuk membenarkan kesalahan dengan logika yang licik.
Kemudian masuk ke ranah konflik yang menyoroti sektor pertambangan dan industri yang menyebabkan pencemaran air dan udara, sehingga berdampak pada lahirnya bayi-bayi cacat di masyarakat sekitar tambang.
Konflik muncul antara kepentingan ekonomi dan nilai kemanusiaan. Tokoh-tokoh terdidik yang bekerja di perusahaan tambang tampil sebagai simbol “orang pintar” yang kehilangan hati nurani.
Pada bagian akhir, cerita ini merenungkan makna kepintaran sejati yang bukan sekadar kemampuan berpikir logis, melainkan kemampuan untuk berbuat baik. Menyelamatkan dunia hanya bisa oleh orang yang “bodoh dalam keserakahan, tapi pintar dalam hati”.
Kondisi Nyata Indonesia 2025
Berbagai peristiwa nyata di sektor pertambangan dan industri ekstraktif menunjukkan keterkaitan dengan buku fiksi Teruslah Bodoh Jangan Pintar dan kondisi nyata di Indonesia.
Tere Liye menggunakan kisah fiktif untuk menyoroti fenomena nyata. Pencemaran lingkungan akibat tambang, bayi lahir cacat dan gangguan kesehatan akibat limbah. Konflik sosial antara perusahaan tambang, masyarakat adat, dan pemerintah. Ketidakadilan hukum akibat dominasi kepentingan ekonomi.
Dengan demikian, novel ini berfungsi sebagai cermin sosial (social mirror) yang mengungkap kebenaran ekologis dan moral bangsa melalui medium sastra.
Kasus Pencemaran Tambang Emas di Teluk Buyat, Sulawesi Utara (2004)
Kasus Teluk Buyat menjadi contoh klasik keterkaitan langsung dengan isu yang Tere Liye angkat. Perusahaan tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya melakukan pembuangan limbah yang mengandung logam berat ke perairan Teluk Buyat.
Dampak negatifnya banyak warga menderita penyakit kulit, gangguan saraf, dan keguguran. Bayi dengan cacat fisik dan pertumbuhan tidak normal. Ekosistem laut rusak, ikan mati, dan warga kehilangan mata pencaharian.
Fenomena ini sejalan dengan narasi novel, yang mana aktivitas pertambangan menyebabkan bayi lahir cacat dan masyarakat menderita akibat pencemaran air dan tanah. Tere Liye seolah menulis refleksi moral dari tragedi Teluk Buyat. Ketika “orang pintar” (insinyur, pejabat, dan ilmuwan) justru bersekongkol menutupi kejahatan lingkungan.
Kasus Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur (2006 – sekarang)
Ledakan lumpur panas akibat pengeboran gas oleh PT Lapindo Brantas menyebabkan ribuan rumah tenggelam dan puluhan ribu warga mengungsi. Efek sosialnya panjang serta mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan dan sumber air, trauma psikologis serta hilangnya tempat tinggal.
Dalam novel ini, Tere Liye menggambarkan betapa “kepintaran” manusia dalam mengejar sumber daya alam sering berujung pada kecacatan moral. Tepat seperti tragedi Lapindo, ilmu sains dan teknologi tanpa etika membawa bencana.
Kasus Pencemaran Merkuri di Kalimantan dan Sumatera
Penambangan emas tanpa izin (PETI) menggunakan merkuri (Hg) telah mencemari sungai dan ekosistem di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan kadar merkuri di sungai jauh melampaui ambang batas aman.
Akibatnya berdampak pada gangguan perkembangan janin (cacat lahir). Kelainan saraf dan ginjal pada masyarakat sekitar tambang. Kematian ikan dan penurunan kualitas air.
Novel “Teruslah Bodoh Jangan Pintar” mengilustrasikan situasi serupa, bayi lahir cacat akibat pemikiran industri yang menuhankan keuntungan. Penggunaan simbol “orang pintar yang kehilangan nurani” untuk mengkritik para akademisi dan teknokrat yang membenarkan pencemaran demi kesejahteraan ekonominya.
Kasus Pertambangan Nikel di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara (2020 – 2025)
Dalam konteks kontemporer, tambang nikel untuk baterai listrik kini menjadi isu besar di Indonesia. Meski terbilang bagian dari “ekonomi hijau”, faktanya banyak masyarakat adat dan nelayan kehilangan lahan karena deforestasi besar-besaran. Air laut dan sungai tercemar lumpur nikel. Terjadi konflik sosial dan kriminalisasi aktivis lingkungan.
Novel Tere Liye memberi peringatan dini terhadap fenomena semacam ini. Kemajuan teknologi (mobil listrik, baterai, energi hijau) akan tetap menghancurkan manusia bila tidak sejalan dengan kebodohan yang bijak. Yakni kesederhanaan, empati, dan tanggung jawab moral.
Novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar bukan sekedar cerita moral, tetapi peta etika sosial dan Hifz al-Bi’ah (menjaga lingkungan) bagi Indonesia. Kerusakan lingkungan bukan karna kebodohan rakyat, melainkan oleh kepintaran yang salah arah oleh pemerintah, akademisi, dan perusahaan.
Mari jaga negeri Indonesia dari perusak lingkungan yang cacat moralnya, dengan menjadi pribadi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terkhusus bagi umat Islam Indonesia yang diamanahi sebagai Khalifah fil Ard, karena mereka menghuni 88,3% dari total populasi 275.000.000 jiwa. []










































