Mubadalah.id – Sebagai seorang perempuan yang tumbuh dalam masyarakat patriarkal, seringkali kita mendapatkan kritikan yang begitu tajam. Kritikan itu biasanya datang dari orang-orang terdekat seperti sanak saudara dan teman sepantaran, Dengan berdalih demi menjadi perempuan yang sempurna, berbagai tuntutan yang tak mungkin tergapai terbebankan kepada perempuan yang tidak sempurna.
Tuntutan-tuntutan yang terbebankan oleh masyarakat itu misalnya adalah standar cantik yang berpatokan pada kriteria fisik. Ketika wajah seorang perempuan berjerawat akan mendapat cemooh dan kita tuduh jorok. Seorang perempuan yang berambut keriting atau ikal dianggap tidak bisa merapikan rambut. Jika suatu saat tubuh perempuan sedikit saja mengalami kenaikan berat badan dari berat badan ideal, ia akan mendapat dorongan untuk mengurangi porsi makan dan mulai berolahraga.
Keadaan itu turut diamini oleh industri kosmetik. Dalam iklan produk kecantikan, modelnya adalah seorang perempuan yang ciri fisiknya sudah dari sananya ‘sempurna’. Saya mengatakan sudah dari sananya sempurna. Karena tentu saja produk kecantikan itu tidak dapat mengubah perempuan berkulit gelap menjadi berkulit terang.
Mitos Standar Kecantikan Perempuan
Perempuan dalam iklan produk kosmetik itu umumnya berambut lurus, berkulit putih, dan memiliki tubuh ideal. Hal itu menguatkan pendapat masyarakat bahwa orang-orang yang tidak cantik adalah kelompok minoritas.
Suatu kali saya pergi saya ke salon untuk creambath dan cuci rambut. Salah satu pegawai salon yang menangani pelanggan berambut keriting, menawarkan sesuatu. Pegawai salon itu berkata, “Mau di smoothing, Kak? Biar cantik.” Padahal bagi saya, kakak itu sudah cantik.
Tentu saja hal ini menjadi beban bagi perempuan-perempuan yang memiliki rambut tidak lurus. Mereka merasa tidak cantik dan tidak sempurna. Sebagian yang kepercayaan diri dia tergerus akhirnya memutuskan untuk meluruskan rambutnya.
Meskipun saya tak memungkiri, ada juga perempuan yang memutuskan meluruskan rambutnya hanya demi kesenangan semata. Bukan untuk memenuhi standar cantik. Akan tetapi, setelah meluruskan rambutnya, tak jarang mereka merasa lebih cantik dari sebelumnya dan ingin menunjukkan perubahan tersebut kepada kawan terdekatnya.
Tak hanya itu, tuntutan masyarakat patriarkal juga berkubang pada usia yang anggapannya sudah harus menikah atau sudah seharusnya punya anak. Maka perempuan-perempuan yang masih lajang saat berada di usia menikah akan dianggap aneh dan tidak normal.
Sebagian dari mereka berhasil melewati lorong yang mengerikan itu. Lalu memilih menjalani hidup dengan gembira. Mereka bangkit dan memiliki keyakinan. Keputusan menikah bukan hanya bergantung pada berapa usia mereka atau ketika kawan-kawan mereka sudah menikah.
Stigma yang Menghantui Kehidupan Perempuan
Seperti yang diungkapkan oleh Ester Lianawati dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan. Ia akan menikah atas keinginan pribadinya, karena menganggap sudah siap, sudah menemukan pasangan yang dengannya dapat menjalin hubungan yang setara.
Sebagian masih berjuang dalam lorong gelap dan penuh tanda tanya itu. Mereka terus membebani diri untuk segera menikah demi memenuhi tuntutan masyarakat. Namun, di dalam hatinya ia juga menyadari bahwa ia belum sepenuhnya siap untuk menikah. Atau ia belum begitu yakin dengan calon pasangan yang ia temui.
Sebagian lagi memutuskan untuk mengakhiri masa lajang dengan hati yang masih bimbang. Mereka tahu bahwa ia belum siap memasuki pernikahan. Mereka belum begitu yakin dengan pasangannya. Belum punya ilmu tentang pernikahan dan pengasuhan anak. Mereka memutuskan melangkah hanya karena merasa sudah saatnya menikah, kawan-kawannya sudah menikah, atau daripada tak kunjung mendapat pasangan.
Kelak setelah memasuki pernikahan, tuntutan akan kesempurnaan perempuan semakin besar. Masyarakat patriarkal menganggap seorang perempuan terkatakan sempurna bila berhasil hamil. Akibatnya, pasangan yang tak kunjung memiliki anak di beberapa tahun awal pernikahannya akan merasa tertekan.
Kelak jika perempuan melahirkan dengan operasi, masyarakat akan menganggapnya belum menjadi ibu yang sempurna. Ketika ia tak bisa memberikan ASI dalam jangka waktu dua tahun, masyarakat akan mencibirnya. Ketika anak-anaknya mengalami masalah dalam pertumbuhan dan perkembangannya, seorang ibu lagi-lagi dianggap tidak berhasil.
Belum lagi jika berbicara tentang stigma ibu rumah tangga dan ibu bekerja. Tentunya akan semakin panjang lagi penjabarannyan. Begitulah, tuntutan dalam masyarakat patriarkal kepada perempuan tak akan ada habisnya.
Jika seorang perempuan memutuskan untuk melangkah demi menyenangkan masyarakat dan menepis cemoohan mereka, mungkin saja ia akan terbiasa dengan pola hidup seperti ini.
Ia akan menormalisasi pola tuntutan yang dibebankan kepada perempuan. Sehingga tak jarang kita mendengar orang tua-orang tua kita yang berkata, “Jadi perempuan ya harus begitu.” Lalu sederet tuntutan fisik, status, maupun perilaku kan mengikutinya. Padahal terlahir sebagai perempuan tak membuat mereka otomatis ‘sempurna’ sesuai tuntutan masyarakat.
Jika sudah begitu, siklus masyarakat patriarkal akan berlanjut hingga generasi-generasi berikutnya. Akibatnya, perempuan-perempuan akan terus tumbuh dalam lingkaran beban mitos kesempurnaan yang tak mungkin tergapai. Menormalisasi hal itu, lalu melanjutkannya kepada anak cucunya.
Menerima Diri Menjadi Perempuan yang Tidak Sempurna
Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk mencegahnya? Berhenti saat ini juga. Ya, kita harus berhenti menjadi perempuan yang menyenangkan masyarakat patriarkal. Kita tak perlu menjadi sempurna sesuai tuntutan mitos kesempurnaan, yang memang tak pernah mungkin tergapai. Bebaskan diri sari semua beban itu.
Kita tak perlu merasa resah jika kita dianggap tidak cantik. Cemas saat memasuki usia kepala tiga dengan status lajang. Berkecil hati andai di tahun awal pernikahan belum terkaruniai momongan. Kita hanya perlu menerima berbagai ketidaksempurnaan yang ada dalam diri kita. Menyadari bahwa kita hanyalah manusia dengan segala ketidaksempurnaannya.
Jika kita telah mampu menerima ketidaksempurnaan dan berhenti menuntut diri agar dapat mengikuti tuntutan mitos kesempurnaan, kita akan jadi perempuan yang lebih bahagia. Kelak kita juga tidak akan memandang sebelah mata kepada perempuan lain dengan segala ketidaksempurnaannya.
Suatu saat ketika kita merasa ‘beruntung’ dapat menjadi perempuan ‘sempurna’, kita tak akan berbangga hati. Apalagi mencibir perempuan yang menurut kita ‘tidak sempurna’. Sebab tentu saja selain menyakiti hati perempuan lain, hal itu hanya akan melanggengkan budaya patriarkal dalam masyarakat kita.
Perempuan hendaknya tidak melakukan sesuatu hanya berdasarkan penilaian orang lain (masyarakat). Sebagai perempuan kita perlu membebaskan diri dari penilaian-penilaian ini. Jika kita sendiri sudah menjadi perempuan bebas, kita dapat membebaskan orang lain. (Ester Lianawati dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan). []