Mubadalah.id – Jargon women support women dalam kontestasi politik pemilu 2024 sepertinya harus kita tanggalkan terlebih dahulu. Kalimat tersebut berpotensi jadi senjata politik bagi orang-orang tertentu untuk dipilih. Misalnya nih, kamu memilih calon pemimpin perempuan hanya karena dia perempuan.
Padahal, kamu tahu tidak? Tidak semua perempuan dapat membawa nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Sebab tidak semua perempuan mampu merasakan pengalaman perempuan lain yang berbeda dengan dirinya.
Pengalaman Megawati sebagai perempuan, tentu akan berbeda dengan pengalaman perempuan pekerja rumah tangga, akan berbeda juga dengan pengalaman perempuan buruh pabrik, atau perempuan di Mollo yang sedang memperjuangkan tanahnya.
Lalu, apakah mereka akan saling memahami? Kemungkinannya kecil, karena dari perempuan-perempuan tadi, mereka memiliki kepentingan yang berbeda bahkan ada yang bertentangan.
Perbedaan kepentingan dan kelas membuat perempuan menjadi entitas yang plural dan tidak bisa disamaratakan. Jadi, ketika kita berpikir bahwa “saat kita memilih calon pemimpin perempuan, maka mereka akan membela hak-hak semua perempuan” bisa jadi akan menjebak kita.
Kita lihat saja, bagaimana kepemimpinan perempuan selama ini, apakah menghasilkan kebijakan ramah perempuan dan kaum rentan lainnya, atau sebaliknya? Jika ada, berapa banyak pemimpin perempuan yang berhasil menyuarakan hal tersebut? Terus, kita harus memilih yang bagaimana dong?
Situasi Perempuan Hari Ini
Melihat kebutuhan terhadap calon pemimpin, kita juga perlu mengetahui situasi-situasi sosial dan mayoritas perempuan hari ini. Pertama, soal eksploitasi lingkungan yang semakin parah dan disebabkan oleh kapitalisme ekstraktif, dimana komodifikasi sumber daya alam berlangsung terus menerus dan merusak bumi. Kerusakan bumi semakin merusak hidup manusia selanjutnya, lebih-lebih perempuan dan anak.
Kedua, kondisi ketenagakerjaan hari ini. Kamu pernah menyadari tidak? bahwa mayoritas dari kita adalah kelas pekerja, mulai dari bekerja sebagai freelancer atau buruh lepas, petani, buruh tani, nelayan, pekerja pabrik, pekerja kantoran, dan pekerja rumah tangga, serta pekerja akademik dan lainnya. Situasi kita sebagai kelas pekerja tentu tidak jauh berbeda.
Kebutuhan terhadap jaminan sosial, kesehatan, dan bebas dari eksploitasi merupakan idaman para pekerja. Namun, sebagai kelas mayoritas, kondisi pekerja masih penuh kerentanan.
Apalagi semakin banyaknya sektor informal dan menjadi sektor paling rentan yang banyak dilakukan juga oleh perempuan untuk menyesuaikan dengan kerja-kerja domestiknya, seperti bekerja menjadi driver ojek online, kemudian pekerja rumah tangga, dan pekerja informal lainnya.
Di mana, kerja-kerja informal tidak memiliki perlindungan sosial. Sebagai negara berkembang, eksploitasi terhadap kerja-kerja manusia masih berlangsung mengerikan.
Ketiga, kekerasan struktural yang juga potensial terjadi. Kekerasan fisik, psikis, bahkan seksual seperti pemerkosaan juga tidak jarang terjadi dalam lingkungan kerja sebab perbedaan struktur kekuasaan. Pelaku kekerasan seringkali dilakukan oleh bos, guru, pelatih, dan atasan lainnya. Jadi, perempuan dalam kelas pekerja memiliki kerentanan kekerasan ganda bahkan seringkali menjadi korban human trafficking.
Feminisme untuk 99%
Dalam situasi ketenagakerjaan, perempuan seringkali menempati posisi lebih rentan. Sebab terjadi genderisasi dalam pembagian kerja. Perempuan seringkali menjadi subjek yang dimanfaatkan keberadaannya dalam proses produksi namun tak terlihat seperti sedang bekerja dan menjadi tenaga kerja dengan upah murah.
Seperti kerja-kerja rumah tangga dan perawatan yang tak dianggap sebagai bekerja namun menopang kepentingan kapitalis dan negara dan menjadi buruh harian pabrik dengan upah murah.
Setelah mengetahui kondisi perempuan hari ini, saya ingin meminjam istilah Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya, dan Nancy Fraser yakni Feminisme 99 %. Feminisme untuk 99 % merupakan gerakan yang menyuarakan kondisi mayoritas perempuan tadi. Suara mayoritas perempuan sebagai kelas pekerja yang seringkali dieksploitasi merupakan kelompok 99 % yang membutuhkan dukungan dan advokasi.
Feminis untuk 99 % adalah mereka yang memahami bagaimana situasi-situasi mayoritas penduduk terkhusus perempuan. Feminisme yang mengerti upaya-upaya subordinasi dan menyebabkan kekerasan perempuan yang terjadi di berbagai sistem kerja kapitalistik yang begitu kompleks, mulai dari kekerasan ekonomi berbasis pasar, kekerasan reproduksi, kekerasan simbolik, kekerasan transnasional yang seringkali terjadi di perbatasan pada perempuan pekerja migran, dan kekerasan lingkungan.
Siapa yang memiliki perspektif tersebut? Kita perlu mencarinya dan melihatnya dengan baik. Siapa yang mampu mendukung kebijakan-kebijakan dengan perspektif feminisme 99 %? Siapa yang mampu menolak kebijakan-kebijakan pemberdayaan tak berkelanjutan dan semakin menjerumuskan perempuan? mari kita cari dan jawab bersama-sama untuk pemilu 2024 nanti.
Pemilu 2024 dan Suara 99% Perempuan
Sudah nemu jawabannya siapa? Atau masih meraba-raba, siapa sebenarnya yang mampu melakukannya? Tidak apa-apa, jawabannya tidak harus hari ini. Kalau sudah menemukan setidaknya yang memiliki perspektif feminisme mayoritas ini dan kita bisa mempertimbangkannya dalam pemilu 2024.
Memilih pemimpin memang perlu banyak pertimbangan, bukan? Tulisan ini tidak ingin mendikte siapapun, hanya sebuah gambaran akan situasi yang terjadi.
Pemilu 2024 menjadi peluang kita semua untuk benar-benar menjadi pemilih yang bijak. Menentukan masa depan yang berkeadilan baik untuk perempuan dan ekologi yang selama ini menjadi subjek paling rentan. Karena pada dasarnya, jika tetap merujuk pada feminisme 99%, kita akan mendukung demokrasi dan perdamaian.
Dukungan terhadap demokrasi, dengan cara memerangi hal-hal yang merusak demokrasi dan perdamaian, seperti kekerasan yang perlahan menyebabkan krisis politik.
Kita perlu menghadirkan suara 99 % perempuan dalam pemilu 2024 dan menyadari bahwa tidak semua perempuan mampu merasakan kondisi 99 % perempuan tadi. Sebab pengalaman perempuan yang berbeda-beda. Maka, sebagai bagaian dari 99 %, kita perlu turut menyuarakannya secara lugas bagaimana sebenarnya pemimpin yang kita butuhkan. Daripada menyesal, iya kan? []