Mubadalah.id – Adanya pandemi covid-19 di awal tahun 2020, memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor dan lini. Kebijakan untuk physical distancing dan work from home menyebabkan terbatasnya intensitas pertemuan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Hal tersebut juga berdampak pada meningkatnya intensitas pertemuan anggota keluarga di dalam rumah.
Pada awal kemunculannya, hal ini berdampak positif dan warga masyarakat menyambut baik, terutama dari kalangan ekonomi menengah keatas. Karena mereka bisa tetap bekerja dan tetap bisa berkumpul dengan keluarga. Meski demikian ada hikmah bagi pasangan suami istri, bagaimana harus menghadapi situasi tersebut.
Lalu lambat laun, masalah lain berdatangan seiring dengan kebijakan pemerintah selama pandemi covid-19. Dan dampak yang terparah secara ekonomi terasa oleh masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah. Perekonomiannya nihil income, sedangkan kebutuhan rumah tangga tak terbendung. Hal inilah yang mendorong tingginya kasus KDRT dan meningkatnya stres anggota keluarga.
Secara resmi, Presiden Republik Indonesia memang telah memberlakukan pelonggaran protokol kesehatan. Melalui Surat Edaran (SE) 18/2022, presiden Jokowi membolehkan untuk tidak menggunakan masker di luar ruangan.
Adapun di ruangan tertutup dan transportasi publik masih ada anjuran untuk menggunakan masker. Meskipun mengindikasikan kemajuan progres dalam penanganan covid-19 di Indonesia, namun ada banyak faktor yang terdampak selama pandemi covid 19.
Tentunya ada tantangan besar yang harus kita hadapi kembali. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji mengenai hikmah bagi pasangan suami istri selama menghadapi pandemi covid-19. Dengan harapan, agar bisa menjadi acuan untuk menata rumah tangga yang lebih baik pasca pandemi covid-19.
Tiga Hikmah bagi Pasangan Suami Istri
Meskipun penuh tantangan dan juga permasalahan, namun pasti ada hikmah besar di balik pandemi covid-19 terutama bagi pasangan suami istri. Lantas apa saja hikmah bagi pasangan suami istri pasca pandemi covid-19? Berikut ini kajian mengenai tiga hikmah bagi pasangan suami istri;
Pertama, merenungkan kembali tujuan dalam membina rumah tangga. Menurut catatan Komnas Perempuan melalui CATAHU 2021, terlaporkan bahwa terjadi peningkatan kekerasan seksual terhadap perempuan hingga 299.911 kasus.
Adapun untuk KBGO (kekerasan berbasis gender siber/online) mengalami empat kali peningkatan sepanjang tahun 2020. Begitupun dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga mengalami kenaikan yang signifikan. Hingga pertengahan 2021, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan 205 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Belajar dari kasus meningkatnya KDRT selama pandemi covid-19 diatas, maka pasangan suami istri harus menegaskan kembali tujuannya dalam membina rumah tangga. Bahwa rumah tangga adalah mahligai dan sebuah tanggungjawab yang harus dijalankan secara bersamaan baik suami maupun istri.
Tingginya kasus KDRT selama pandemi covid-19 menunjukkan tidak adanya kesepakatan antara suami istri dalam membangun rumah tangga. Sehingga satu pihak menuntut pihak yang lainnya, dan menyalahkan antara satu dengan yang lainnya jika muncul sebuah permasalahan. Kekerasan menjadi jalan terakhir yang terpilih karena kegagalan pasangan suami istri dalam menentukan tujuan utama dari membina rumah tangga.
Saling Berbagi Peran antara Suami Istri
Kedua, memperkuat muasyarah bil ma’ruf. Selain kasus kekerasan seksual dan KDRT, pandemi covid-19 juga mengharuskan anak-anak belajar dari rumah. Hal ini turut menjadi pemicu kekerasan yang akibat adanya peran ganda yang perempuan jalani selama menjalankan aktifitas dari rumah.
Berdasarkan riset KemenPPA 91% anak mendapatkan pendampingan orang tua selama belajar dari rumah, namun sayangnya pendampingan tersebut hanya dibebankan ke perempuan. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya stres tinggi pada kelompok rentan, terutama bagi perempuan dan anak.
Oleh sebab itu, pasangan suami istri harus mengambil keputusan rumah tangga dengan dasar kebaikan bersama. Tidak boleh mengambil keputusan berdasarkan paksaan. Misal dalam menentukan siapa yang akan bertugas memberikan pendampingan anak selama belajar di rumah. Antara suami dan istri harus melakukan pembagian tugas yang jelas. Jika suami bekerja, maka istri yang harus mendampingi belajar anak. Juga sebaliknya bisa melakukan hal sama, saling berganti peran.
Jika baik istri maupun suami sama-sama bekerja maka melakukan tugas pendampingan bersama saat keduanya ada di rumah. Jika sangat terpaksa keduanya tidak mampu menjalankan peran tersebut, maka harus mencari solusi lain seperti mendatangkan guru les. Tidak boleh ada salah satu pihak yang mendominasi yang lainnya dan merasa memiliki superioritas lebih dalam rumah tangga.
Begitu pula dalam memberikan pendidikan kepada anak di dalam rumah. Anak adalah tanggung jawab orang tua secara bersamaan, baik suami maupun istri keduanya memiliki tanggung jawab penuh untuk mendidik dan memberikan bimbingan serta contoh akhlak mahmudah bagi anak.
Ketiga, menempatkan relasi suami istri sebagai mitra. Perubahan siklus keuangan selama pandemi covid-19 menyebabkan hilangnya fungsi keseimbangan dalam rumah tangga. Alih-alih mencari solusi dan jalan keluar, ketidakmampuan dalam mengelola perekonomian ini justru berakhir di meja hijau melalui perceraian. Di tahun 2020, kasus perceraian mengalami lonjakan 80%, dari 20.000 kasus menjadi 57.000 kasus, dan mayoritas ajuan oleh pihak istri. (Wijayanti, 2021).
Suami Istri Tegaskan Relasi Setara dalam Rumah Tangga
Hal ini menunjukkan masih kuatnya doktrin pelimpahan tugas pemenuhan nafkah di pihak suami saja. Doktrin tersebut juga diperkuat oleh pandangan patriarkis dan pembagian peran dalam rumah tangga yang hanya membebankan tanggung jawab nafkah kepada pihak suami, dan membebankan urusan domestik kepada istri.
Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia memisahkan peran domestik dan publik berdasarkan jenis kelamin. Pun demikian dengan tradisi dan pemahaman yang mengakar pada mayoritas masyarakat kita dewasa ini. Seperti pada tradisi Jawa yang meletakkan posisi istri sebagai konco wingking saja bagi suami. Kondisi ini tak hanya merugikan pihak istri, namun juga merugikan pihak suami. Terlebih saat kondisi pandemi seperti ini.
Oleh karena itu, pasangan suami istri perlu untuk menegaskan kembali bahwa relasi yang mereka bangun ke depan adalah relasi kesetaraan. Suami adalah mitra bagi istri, begitu pula dengan sebaliknya. Sehingga ketiga sebuah rumah tangga menghadapi masalah, yang diutamakan adalah komunikasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Ketika pasangan suami istri sudah membangun kemitraan, maka keduanya akan saling melindungi demi mewujudkan keharmonisan keluarga. Masalah suami adalah masalah istri, begitu pula dengan sebaliknya. Ketika menghadapi permasalahan rumah tangga, satu sama lain harus saling mensupport, terbuka, dan komunikatif tidak justru melakukan tindakan kekerasan, dan menempuh jalur meja hijau tanpa melakukan musyawarah terlebih dahulu. []