Mubadalah.id – Pada hari Kamis, 11 Agustus 2022 (19.00-21.00 WIB), Universitas Muslim Indonesia Makasar dan Institut Leimena mengadakan seminar Internasional dengan tajuk “Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk Mengatasi ekstremisme Beragama: Menjawab Pesan Kairo” secara daring.
Menjadi pembicara kunci seminar, Ambasador Lutfi Rauf (Duta Besar Indonesia untuk Mesir) mengatakan bahwa isu ektremisme merupakan isu yang dekat dengan kita semua. Menurutnya, belum ada definisi yang tepat untuk dapat menggambarkan apa itu ekstremisme.
Kendati demikian, beliau menggunakan definisi milik Unesco yang intinya menggambarkan bahwa kita sedang menghadapi sesuatu yang tidak kasat mata. Karena menyangkut alam pemikiran manusia, lebih tepatnya ideologi yang memberikan dampak pada tindakan, sehingga sulit kita deteksi secara akurat.
Berdasarkan pengamatannya, sebelum 2020, ekstremisme beragama ini merupakan isu global dan menjadi pekerjaan bersama bangsa-bangsa di dunia. Hingga akhirnya, datanglah pandemi yang mengalihkan isu ini. Akan tetapi, saat dunia sedang sibuk bangun jatuh bangun karena pandemi, aktor-aktor ekstremisme justru tidak berhenti bekerja.
Pandemi dan Ekstremisme Beragama
Kondisi pandemi aktor-aktor tersebut gunakan untuk menyebar paham-paham mereka bahkan melalui ruang privat, yakni melalui dunia digital. Hingga dapat kita katakan, bahwa platform digital dan platform daring selama pandemi inilah yang menjadi ancaman untuk kita semua saat ini. siapapun itu, sangat mudah untuk mengakses dan membagikan hal-hal propaganda.
Sesuai pengalamannya, dulu sangat jarang gerakan ektsremisme yang bergerak secara individu. Namun yang menjadi tantangannya sekarang, gerakan ini bahkan telah berubah menjadi gerakan individu. Ibu-ibu rela melakukan bom bunuh diri dengan anaknya. Ini adalah tantangan dan ancaman bagi kita semua. Jumlah tersangka terorisme Indonesia meningkat tiap tahunnya, yakni hampir 60% per tahun 2021.
Oleh karena itu, ancaman terorisme ini sangat nyata, mereka cenderung mengeskploitasi ajaran agama, dan hal-hal yang berbau rasisme. Dalam konteks Indonesia, ini merupakan ladang yang subur bagi merebaknya paham ekstremisme, tidak lain karena keberagaman yang dimilikinya. Beliau juga mengungkap fakta bahwa Mesir juga tengah menghadapi ancaman nyata disebabkan ekstremisme, Mesir juga menggunakan pendekatan yang sama dengan Indonesia dalam menangani hal ini.
Upaya Pencegahan Esktremisme Beragama
Salah satu dari usaha pencegahan tersebut yakni dengan mengadakan seminar pada 7-9 Juni 2022, yang juga dihadiri oleh delegasi dari Indonesia. Kemudian isi dari seminar tersebut disebut dengan “Pesan Kairo” yang menjadi bahan brainstroming dalam acara ini.
H. Muh. Hattah Fattah (Wakil Rektor bidang Kerjasama dan Promosi Universitas Muslim Indonesia / UMI Makasar) juga mengungkap hal serupa. Bagi beliau, acara di Mesir merupakan rangkaian acara yang memberikan paham bahwa ekstremisme itu tumbuh di banyak agama dan di banyak Negara, sehingga ini menjadi tugas kita bersama.
Perkembangan paham radikal ini terus berkembang dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu kita perlu melakukan banyak kajian dan mengoneksikan seluruh kerjasama yang mungkin kita lakukan dan kita miliki. Dengan harapan membicarakan tindak lanjut untuk berkolaborasi bersama guna mencegah berkembangnya Paham radikalisme ini.
Pendidikan Menjadi Kunci
Sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat penting. Oleh karena itu sektor ini dapat menjadi wahana yang potensial untuk kita susupi. Sehingga kita wajib menjaga sektor ini dari ancaman radikalisme dan ekstremisme. Di UMI sendiri, nilai-nilai moderasi beragama ini sedang mereka implementasikan dalam kurikulum pendidikan dan berbagai kerjasama yang terjalin.
Dengan tegas beliau berkata bahwa kita semua harus bekerjasama untuk membangun persamaan konsepsi dan persepsi untuk mencegah tindakan ekstremisme. Adanya platform digital juga menjadi wahana empuk bagi mereka. Oleh karena itu kita harus mengadopsi upaya yang dilakukan oleh Universitas Al-Azhar yang mempelajari konten-konten yang beraroma radikal, dan dengan aktif kita (sebagaimana Al-Azhar) dapat memberikan fatwa atas konten-konten yang berbau radikal tersebut.
Ini bisa kita adopsi dalam pengembangan digitalisasi dengan dan menjadi startegi penting dalam realisasi pencegahan radikalisme. Memberikan paham moderasi harus dimulai sejak usia dini, sehingga anak-anak bangsa lebih dini juga memahami adanya paham toleransi, moderasi. Maka saat ada yang mulai menyusupi dengan Paham intoleran, mereka dapat memahami dan menangkalnya. Dengan demikian, mereka dapat memahami konsistensi Islam yang rahmatan lil alamin.
Intervensi Materi Keislaman di Lembaga Pendidikan
Sebagai pembicara selanjutnya, Tuan Guru Bajang (TGB) HM Zainul Majdi (Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia) mengutip dua qaul ulama yang berkaitan dengan tindakan ekstremisme: Muhammad ibnu Sirrin, yang menekankan agar para pencari ilmu agama hendaknya mencari ilmu tersebut dari mereka yang kompeten; Abdullah bin Mubarok yang mengatakan bahwa rantai keilmuan adalah bagian dari agama, dan pentingnya rantai keilmuan tersebut dalam validasi keilmuan yang bersangkutan.
Kedua tokoh ini dapat berkata demikian karena mereka berdua melihat kehancuran yang bermula dari benih-benih destruktif yang ada di tengah-tengah masyarakat Islam saat itu. Dan hal ini adalah bagian dari ekstremisme beragama karena kesalahpahaman. TGB juga mengungkapkan bahwasanya Ibnu Sirrin saat kecil sudah mendengar kisah tentang perang Siffin, dan kisah inilah yang kerap menjadi embrio terjadinya perpecahan.
Kemudian, TGB kembali berkata bahwa, sejak awal para ulama melihat adanya kesalahpahaman terhadap agama merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam menimbulkan ekstremisme beragama, yang berpengaruh pada segala sendi kehidupan dan mengakibatkan perang berkepanjangan dalam masayarakat beragama.
Radikalitas dan ekstreminitas adalah term yang otentik, bukan jualan kaum Barat, jangankan ekstrem, al-ghulluw atau melampaui batas itu saja sudah terlarang. Melawan radikalitas, ekstreminitas, dan hal-hal yang menuju kepadanya adalah sesungguhnya kita sedang menjalankan amanat Allah dan Rasul-Nya.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
TGB kemudian memberikan insight tentang apa tang harus kita lakukan. Pertama, Intervensi dalam pendidikan. Materi-materi keislaman yang kita ajarkan dalam semua jenjang pendidikan harus kita sisir dengan benar. Karena ini adalah basis wajah-wajah bangsa 10 bahkan 20 tahun kedepannya. Kita harus memastikan materi-materi keagamaan yang kita asupkan kepada anak didik tidak mengandung paham intoleransi dan ekstremisme.
Kedua, Para guru yang mengajar, kita harus berani dan memiliki pemahaman yang moderat. Ketiga, khususnya tentang akidah, hari ini kita bicara akidah maka harusnya selalu mengaitkan dengan akhlak. Bagaimana nilai-nilai akidah kita wujudkan dalam akhlak/interaksi sosial. Akidah tidak selalu norma, melainkan tentang akhlak. Akidah yang selalu berbentuk norma jadi mudah menyalahkah orang lain.
Keempat, memperbanyak dan menghadirkan dalam materi pendidikan kita, maupun narasi keagamann kita hal-hal yang terkait dengan kebudayaan agama. Ya, Islam tidak hanya agama, tetapi juga budaya. Jika kita menghadirkan Islam yang berwarna-warni dengan budaya yang beragam, maka ia akan menghadirkan kenyamanan bersama dan adanya keseimbangan dalam beragama dan bermasyarakat.
Teladan dari Nabi Ibrahim
Sepaham dengan TGB, Dr. Alwi Shihab (Senior Fellow, Institut Leimena) juga menegaskan bahwa fokus training ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana seharusnya muslim berinteraksi dengan pihak lain. Ini untuk mengantisipasi paham ektremisme yang tejadi di luar lingkungan kita, dan juga yang berada dalam sekitar dan diri kita.
Pandangan kita terhadap keberadaan agama lain adalah penting, seperti contoh, apa pandangan umat muslim Indonesia saat melihat kaum Yahudi? 90% menjawab mereka (Yahudi) adalah musuh. Menurut beliau, kita tidak bisa menggeneralisir, karena ada dari mereka yang zionis, dan ada juga yang tidak zionis.
Selengkapnya, Dr. Alwi memberikan resep untuk kita dapat berhubungan baik dengan pihak lain dengan cara yang dianjurkan (dengan mengutip teori Chris Seiple), yakni dengan memiliki tiga kompetensi. Dalam lingkup ahlul kitab, kita ambil contoh Ibrahim as yang menjadi tokoh sentral bagi tiga agama. Ini bisa mendekatkan tiga agama kepada satu sumber, sehingga terdapat simpati yang dapat kita terima, dan bahkan Alquran menekankan hal itu.
Ibrahim adalah hal yang baik/tokoh yang menjadi teladan kita semua, dan tersebutkan bahwa Ibrahim bukan Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah nabi hanifan yang pasrah kepada Allah semata. Ada banyak hal dalam Alquran yang dapat menjadi inspirasi untuk kita berinteraksi baik dengan agama yang berbeda. Syariah kita berbeda-beda, namun agama kita satu. Agama tetap satu, yakni Islam/pasrah, namun syariat yang diberikan berbeda antar kelompoknya.
Yang menarik dari pernyataan Dr. Alwi Shihab, menurut beliau, perbedaan aliran, agama, akidah maupun ajaran itu tidak apa-apa. Yang perlu kita waspadai adalah ajaran akidah yang mengandung dan mengajarkan nilai-nilai/unsur-unsur perpecahan yang dapat memberikan pengaruh buruk dalam interaksi sosial.
Membangun Narasi yang Efektif
Sebagai pembicara terakhir, Muhammad Suaib Tahir (Staf Ahli Satgas Bidang Pencegahan, perlindungan dan Deradikalisasi badan nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia, mengungkap bahwa hambatan utama dalam BNPT adalah narasi. Narasi yang kaum ekstremis gaungkan ternyata lebih efektif daripada yang kita/BNPT bangun.
Mereka ini sedikit tapi aktif di media sosial, sedangkan pihak yang moderat jumlahnya banyak namun tidak aktif (masih minimnya narasi-narasi alternatif yang moderatif di media sosial). Oleh karena itu BNPT sangat berterimakasih dan membanggakan kepada instansi-instansi yang dapat berkolaborasi untuk menyebarkan narasi alternatif di berbagai media, khususnya media sosial dan pendidikan.
Akhirnya, kaum radikal dan ekstrim tidak selalu teroris, tetapi kaum teroris sudah pasti radikal dan esktrem. Akan tetapi yang pasti, kelompok-kelompok ini (ekstremis, radikalis, dan teroris) telah melakukan distorsi terhadap nilai-nilai luhur agama. []