Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa hukum-hukum Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan dan menegakkan kemaslahatan (kesejahteraan) manusia.
Buya Husein menemukan paradigma mewujudkan keadilan dan menegakkan kemaslahatan ini ada pada semua ilmu hukum fiqh Islam.
Lebih lanjut, Buya Husein mengutip pendapat Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa, misalnya, mengemukakan bahwa kemaslahatan sebagai tujuan syari’ah.
Pandangan dan pendirian mereka yang beragam ini, kata Buya Husein, sesungguhnya merupakan akibat dari perbedaan pemahaman atau pemaknaan mereka atas teks-teks al-Qur’ân maupun Hadits Nabi saw.
Tidak seorang muslimpun yang ingin menafikan al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Sebab menafikan keduanya mengakibatkan ia kehilangan identitasnya sebagai muslim.
Terkait dengan hal ini, Prof. Dr. Husein al-Dzahabi mantan Menteri Waqaf Mesir dan Guru Besar Universitas al-Azhar pernah mengatakan: “Kebenaran Agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaaan cara keberagaman umat manusia atau apa yang kemudian disebut dalam ajaran Islam sebagai “tanawwu’ al-‘abadah”. Jika ini dapat dipahami niscaya tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan…” (lihat: Agama dan Pluralitas Bangsa, P3M, 1991, hlm. 40).
Terlebih, Buya Husein menyampaikan, lalu dari mana dan mengapa orang berbeda-beda dalam memaknai teks?
Untuk menjelaskan hal ini, adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Faruq Abu Zaid dalam bukunya Al-Syarî’ah al-Islâmiyah baina al-Muhâfizhîn wa al-Mujaddidîn (Syari’ah Islam antara tradisionalis-konservatis dan modern) bahwa “keberagaman interpretasi atas teks-teks keagamaan adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”. Fârûq mengatakan: “Anna Madzâhib al-Fiqh al-Islâmy laisat siwâ in’ikas li tathawwur al-hayâh al-Ijtimâ’iyyah fî al-‘Alam al-Islâmy”. (hlm. 16).
Perebutan pemaknaan atas teks pada akhirnya harus disudahi melalui mekanisme yang paling baik dan sejalan dengan perintah al-Qur’an; musyawarah, dan cara-cara yang demokratis, bukan dengan jalan sendiri-sendiri apalagi dengan menggunakan kekerasan, membunuh, termasuk membunuh karakter orang. (Rul)