• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

2 Langkah Pemberdayaan Perempuan Menurut Buya Husein

Ada beberapa teks keagamaan oleh sebagian kalangan dijadikan tendensi untuk menjustifikasi stigma-stigma miring terhadap perempuan

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
26/09/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Sesama Perempuan

Sesama Perempuan

127
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Catatan kecil, Situbondo 11 Mei 2021

Mubadalah.id – Dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan [359], K.H. Husen Muhammad menjelaskan bahwa ada dua langkah penting untuk memberdayakan kaum perempuan menuju kehidupan yang berbasis universalitas nilai islami yaitu kesetaraan dan keadilan. Pertama, reinterpretasi teks untuk membangun basis teoritis bagi pemahaman dan tradisi baru yang lebih berkeadilan dan selaras dengan pesan-peasan subtansial untuk memuliakan kaum perempuan. Kedua, sosialisasi keadilan gender.

Kenapa harus reinterpretasi teks (wacana atau pemahaman keagamaan)? jelas langkah pertama ini sangat sentral sekali karena – di samping kebudayaan patriarki saat ayat diturunkan – bagaimanapun sebagian teks keagamaan memberikan kotribusi dalam memarginal, subordinasi dan ketimpangan sosial yang merugikan kaum perempuan. Ada beberapa teks keagamaan oleh sebagian kalangan dijadikan tendensi untuk menjustifikasi stigma-stigma miring terhadap perempuan bahwa perempuan kurang akal dan di bawah kekuasaan laki-laki; semisal Al-Qur’an surah Al-Nisa yang menjelaskan kepemimpinan seorang laki-laki.

{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34]

Artinya, “laki-laki adalah pengayom bagi perempuan sebab keistimewaan yang diberikan Allah dan sebab merelka menafkahi dari harta-harta mereka…” [QS. An-nisa: 34]

Sungguh, jika teks di atas dan yang serupa tetap dipahami secara skripturalistik akan menimbulkan kesan bahwa agama mendukung terhadap ketimpangan sosial tersebut, ketimpangan yang menyudutkan perempuan, menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua.

Baca Juga:

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Padahal, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai islam yang universal dan berlaku sepanjang zaman dan tempat yaitu keadilan dan kesetaraan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Asyur dll. Oleh karena itu, reinterpretasi ini sangat penting bahkan menjadi kebutuhan mutlak untuk segera dilakukan mengingat dinamika perkembangan sosial yang begitu cepat di Indonesia khususnya.

Sementara itu, ada alasan lain mengapa sangat penting untuk melakukan reinterpretasi tersebut. sebagaimana yang dipaparkan K.H. Husein bahwa ada tiga kemungkinan kenapa perempuan seringkali mengalami diskriminasi dalam wacana-wacana keagamaan.

Pertama, bisa jadi karena kesalahan dalam melakukan interpretasi teks. Kedua, karena penafsirannya secara partikulatif. Artinya, penafsiran yang dilakukan hanya ayat-ayat tertentu tanpa mencoba untuk diintegrasikan dan dibandingkan dengan ayat yang lain sehingga penafsirannya tersebut tidak holistik. Ketiga, bisa jadi karena didasarkan pada hadis-hadis yang lemah dan palsu. [K.H. Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: 238 & 255]

Sudah barang tentu, dari kemungkinan-kemungkinan satu dan dua pertama tersebut– menurut K.H. Husein – penafsiran yang dilakukan tidak menggunakan kaca mata sosio-historis dan kultur dimana dan kapan serta dalam kondisi seperti apa ayat itu diturunkan. Di samping juga, karena didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu baik bersifat publik maupun domestik. Dengan demikian reinterpretasi sangat penting untuk dilakukan, khususnya bagi kalangan pesantren dimana sampai sekarang masih menjadikan kitab-kitab yang dianggap “patriarki” sebagai kurikulum paten tanpa melakukan telaah dengan cermat dan pandangan kritis.

Adapaun yang dijadikan kaca mata untuk melakukan reinterpretasi mesti ditimbang dengan nilai egaletarian Islam itu sendiri yaitu nilai keadilan bagi seluruh umat dan kesetaraan. Ada beberapa hal yang mesti dijadikan pedoman untuk melakukan reinterpretasi.

Pertama, Maqhasidusy Syariah (tujuan syariat diberlakukan) sebagai basis utama untuk malakukan penafsiran dan perumusan hukum. Kedua, Siyaqut Taarikhil Ijtima’i menganalisa terhadap sosio-historis dan struktur masyarakat atas kasus-kasus yang ada dalam teks. Ketiga, As-siyaqul Lisani melakukan analisa kebahasaan dan konteksnya.

Keempat, melakukan identifikasi kausalitas (illat hukum) sebagai jalan pemikiran analogis untuk kebutuhan konteks sosial yang baru (Qiyasul Ghaib ala Syahid). Kelima, melakukan kajian kritis terhadap sanad hadis (takhriijul Asaanid) dan kritik matan (naqdul Matn). [K.H. Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: 207]

Langkah kedua, yaitu melakukan sosialisasi gender secara intens. Khususnya dalam dunia pesantren karena bagaimanapun pesantren juga “ikut membantu” untuk menguatkan terhadap pandangan subordinasi kaum perempuan melalui kitab-kitab yang dikaji tanpa ada telaah yang kritis dan cermat. Sebab dalam subkultur yang ada di pesantren, masyarakat di pesantren terlanjur terdoktrin bahwa kitab-kitab yang dikarang para ulama itu seolah menjadi ketentuan final dan menurut sebagian lagi posisi perempuan mesti berada di bawah laki-laki secara kodrati.

Oleh karenanya, dengan adanya sosialisasi keadilan gender di pesantren-pesantren diharapkan membuka cakrawala baru untuk membaca kitab-kitab warisan lama dengan penuh kecermatan dan kritis tanpa menempatkan sebagai kebenaran yang mutlak. Sehingga melakukan wacana-wacana baru yang lebih relevan dengan dinamika sosial yang ada di luar pesantren. Semisal beberapa kali di Ma’had Aly mengadakan sosialisasi gender tersebut yang disampaikan oleh narasumber Dr. Fera dkk. Semoga hal ini terus dilakukan ke dalam pesantren-pesantren lain. Wa Allahu A’lam Bissawab. []

Tags: keadilanKesetaraanKH Husein MuhammadPemberdayaan Perempuanpendidikanperempuanperspektif mubadalah
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID