Mubadalah.id – Setelah tiga film sebelumnya, Frozen, Moana dan Mulan, kini Walt Disney Animation Studio menampilkan kembali tokoh kepahlawanan perempuan dalam film animasi Raya and The Last Dragon. Ini adalah film dari Disney yang pertama kali mengangkat isu feminisme dengan tema pahlawan perempuan dari Asia Tenggara.
Sebenarnya ada banyak sekali pesan positif dari film ini, namun tidak mungkin dibahas dalam artikel yang singkat ini. Maka dari itu, tulisan ini akan fokus pada unsur-unsur terkait paradigma masyarakat tentang perempuan.
Diakui, unsur perempuan dalam film ini cukup kuat. Peran protagonis dan antagonis juga dilakoni oleh perempuan. Hal ini tentu bukanlah hal yang sederhana, mengingat film-film tema kepahlawanan, sering kali diperankan oleh kaum laki-laki. Tak heran, jika masyarakat pun cukup mudah menyebutkan nama-nama karakter yang berakhiran dengan kata “boy atau man” di akhir nama setiap tokoh, seperti Superboy, Batman, Superman, Ironman, dan lain-lain.
Apakah ada versi perempuannya? Ada, namun tidak begitu dikenal, seperti; Supergirl, Batgirl, Catwoman, Wonderwoman, dan lain-lain. Fakta ini menyiratkan bahwa maskulinitas adalah simbol kepahlawanan dan kekuatan.
Seperti dilansir dalam tirto.id, belakangan ini Hollywood memang dituntut untuk menyajikan film-film yang mengusung unsur-unsur keadilan dan kesetaraan. Terutama terkait dengan isu ras, suku, dan kesetaraan gender. Sepertinya, orang-orang semakin sadar bahwa film memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam membentuk paradigma dan peradaban masyarakat.
Seperti halnya film animasi Raya and The Last Dragon, tokoh protagonis (pemeran utama) dalam film adalah perempuan yang bernama “Raya”. Ia digambarkan sebagai sosok perempuan yang berani, cerdas, kuat, dan teliti. Perilaku dan cara berfikirnya, tampaknya perpaduan antara maskulinitas dan feminitas.
Ia digambarkan bermental kuat, tak takut perkelahian, sekaligus tak tega mengabaikan uluran tangan bayi kecil yang meminta bantuan padanya. Jiwa keibuannya terpanggil, meskipun ia akhirnya tertipu dengan bayi tersebut.
- Perempuan dan Pertemanan
Akar masalah yang muncul dalam film ini juga erat kaitannya dengan sisi emosional perempuan. Raya dan sahabat barunya, Namaari, terlibat dalam percakapan yang akrab. Melihat percakapan perdana mereka, cukup membuat perasaan saya tak karuan. Bagaimana bisa mereka bisa seakrab itu di pertemuan pertama, sementara suku mereka bersaing sejak 500 tahun yang lalu.
Namun tak lama, jawaban tersingkap. Tiba-tiba, Namaari memanfaatkan kebaikan Raya dan tak segan ia “menusuk” dari belakang. Akibat perkelahian yang sengit, Bola Permata Naga pecah menjadi lima bagian, yang diperebutkan oleh lima suku (ekor, cakar, tulang, taring, dan hati).
Adegan Raya yang cepat mempercayai Namaari, menurut saya, adalah sisi psikologis perempuan yang lebih mudah menerima dan mempercayai sikap baik seseorang. Namaari berhasil menyentuh sifat dasar perempuan, yang cenderung kooperatif.
Terkait dengan sikap kooperatif ini, Morton Deutsch, yang mengembangkan teori cooperative-competitive mengatakan bahwa kooperatif (kerjasama) adalah saat dimana prestasi tujuan seseorang dengan yang lainnya saling berkorelasi positif dan mereka percaya bahwa mereka dapat mencapai tujuan jika orang lain juga mencapai tujuan mereka.
Sedangkan dalam teori kompetitif, orang percaya bahwa prestasi tujuan mereka berkorelasi negatif dan masing-masing merasakan bahwa suatu pencapaian menghilangkan -atau setidaknya- memperkecil kemungkinan orang lain dapat mencapai tujuan mereka.
Raya percaya bahwa Namaari dapat dijadikan partner untuk mengembalikan persatuan di negeri Kumandra, sehingga ia tak segan memperlihatkan Namaari tempat rahasia penyimpanan Bola Permata Naga. Sedangkan Namaari tetap menganggap Raya sebagai musuh dan tanpa membuang waktu, Namaari menyerang Raya untuk mengambil Bola Permata Naga.
Apa yang dilakoni Raya, cukup berhasil mencerminkan sisi perempuan yang lebih suka merekrut, bekerja sama, menjaga relasi dan menghindari persaingan. Berbeda dengan laki-laki, yang lebih waspada pada dunia baru yang ia temui. Bagi laki-laki, dunia ini dipenuhi oleh persaingan dan peperangan.
- Raya dan Naga Anti Mainstream
Dalam proses pencarian pecahan Bola Permata Naga, Raya akhirnya menemukan Naga terakhir, yang bernama Sisu. Uniknya, film ini cukup kreatif dalam menampilkan naga anti mainstrem. Bagaimana tidak, sosok naga ini sama sekali tidak mengerikan dan sangar. Melainkan feminim, cantik, lincah, dan lucu.
Ketika menyentuh pecahan Permata yang kedua, Sisu berubah menjadi perempuan. Lagi-lagi perempuan. Wajah dan tubuhnya dirancang seperti perempuan, lengkap dengan rambut panjang dan prilaku feminitasnya. “Sahabat perempuan baru” inilah yang menjadi salah satu teman perjuangan Raya selanjutnya. Sesekali Sisu berubah wujud menjadi naga ketika diperlukan.
Bersama Sisu, Raya menghadapi dunia penuh persaingan melawan empat suku. Kalimat-kalimat dari lisan Raya juga lebih berjiwa kompetitif. Terlebih di babak hidupnya yang kedua ini, Raya punya satu prinsip hidup, yaitu tidak memercayai siapapun.
- Perempuan dan Senjata
Dilihat dari perspektif budaya, pedang Raya cukup unik. Pedangnya berbentuk keris. Persis seperti keris khas budaya Indonesia. Bedanya, keris ini lebih panjang dan besar. Pemilihan pedang berbentuk keris ini adalah bentuk manifestasi budaya Indonesia yang menjadi salah satu inspirasi tim Disney membuat film ini.
Untuk mendapatkan informasi kekayaan budaya Indonesia, tim Disney juga melibatkan sejumlah seniman dan pakar budaya Indonesia, seperti Griselda Sastrawinata, Dewa Berata, dan Emiko Susilo. Dari sudut pandang feminisme, pedang yang digunakan pahlawan perempuan juga menyiratkan sebuah pesan yang unik. Dari sekian banyak alternatif senjata yang ada, pedang dipilih sebagai senjata andalan Raya.
Pemilihan pedang ini juga pernah ada dalam film lain, seperti Wonder Woman dan Mulan. Hal ini pernah diulas dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Erina Adeline Tandian tentang Perjalanan Pahlawan Perempuan dalam Film Wonder Woman (2017) dan Mulan (2020).
Disebutkan dalam artikel ini, sebenarnya ada jenis senjata lain bernama Labrys yang dianggap sebagai simbol feminisme. Labrys adalah senjata berbentuk kapak bermata dua yang secara spesifik merujuk pada labia perempuan sebagai pelindung di jalan masuk rahim. Senjata ini pernah digunakan oleh pahlawan perempuan dalam film The Old Guard (2020).
Lalu, mengapa pedang yang dipilih? dalam buku The Jacatra Secret karya Rizki Ridyasmara mengatakan bahwa dalam sejarah purba, maskulinitas biasa dilambangkan dengan bentuk sebuah bilah pedang terbuka atau tertutup. Sedangkan dalam sejarah ksatria Eropa, para mujahid di Jazirah Arab, para samurai di Jepang, para pendekar di Cina, para prajurit Bhayangkara dan para senopati, selalu dilambangkan dengan pedang dan memang secara fisik membawa pedang.
Pedang dalam perjalanan sejarahnya, menggambarkan kepahlawanan, kekuasaan, kekuatan, keberanian, dan kemenangan. Pedang identik dengan laki-laki, karena memang laki-laki yang terlibat aktif dalam medan peperangan.
Tampaknya Disney ingin melekatkan simbol-simbol maskulinitas ini dalam diri Raya. Sehingga, meskipun Raya adalah seorang perempuan, namun ia tetap memiliki sisi maskulinitas yang tak diragukan untuk memenangkan pertempuran melawan musuhnya.
- Kepemimpinan Perempuan
Dari judul dan sampul film ini, jelas terlihat bahwa yang berperan sebagai pemimpin adalah perempuan. Film ini berhasil menanamkan konsep bahwa pemimpin tak harus laki-laki.
“Siapapun yang memiliki gagasan, ia adalah pemimpin yang sebenarnya”, itulah pesan utama yang diusung dari kepemimpinan Raya. Raya yang sedari awal ingin menyelesaikan misi penyelamatan, ternyata didukung juga oleh Kepala Suku Tulang (Spine), dan ia adalah laki-laki dengan tubuh tinggi dan besar.
Dalam proses penyelesaian misi, Raya berulang kali memberi kesempatan kepada teman-temannya untuk menyampaikan pendapat. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, Raya dengan segera memilih pendapat siapa yang ia ambil. Terkadang usulan Boun, Sisu, atau Kepala suku Tulang.
- Trik Menyelesaikan Masalah ala Perempuan
Diantara sifat kepemimpinan perempuan adalah mementingkan kolaborasi. Konsep inilah yang ditunjukkan dalam film Raya. Awalnya Raya masih mengedepankan konsep zero sum games (yang satu menang, yang lain kalah). Biasanya cara ini banyak digunakan dalam kepemimpinan laki-laki.
Namun, menjelang akhir cerita, Raya menerima usulan Sisu untuk menggunakan cara damai dalam menyelesaikan misi. Satu prinsip dasar yang diajarkan Sisu adalah saling percaya.
Tak disangka, cara ini berhasil. Raya dengan sukarela menyerahkan pecahan Permata Naga kepada musuhnya, Namaari, dan diikuti oleh teman-temannya yang lain. Di akhir cerita, pesan yang ingin disampaikan adalah untuk mengalahkan Druun, bukan sihir naga saja yang dibutuhkan, melainkan saling menjaga kepercayaan antar sesama.
Berdasarkan ulasan di atas, dapat dipahami bahwa industri perfilman tampaknya mulai konsen untuk mengusung tema keadilan gender. Menyatukan sisi maskulinitas dan feminitas adalah hal yang wajar dan bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Hal ini juga menegaskan bahwa dalam diri seseorang, sisi maskulinitas dan feminitas adalah dua hal yang bisa saling berdampingan. Wallahu a’lam bi al-shawab. []