Apa yang saya temukan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini sangat ironis. Buku ini bukan hanya mengupas sisi rahasia dari sebuah keluarga yang bisa saja terjadi pada keluarga manapun.
Namun lebih jauh, 9 dari Nadira mampu membongkar aspek yang terdalam dari stigma untuk menjadi perempuan “baik-baik” dalam masyarakat. Ya, 9 dari Nadira merupakan ironi dari kesempurnaan hidup seorang perempuan yang dianggap ideal.
Tokoh ibu merupakan sosok panutan bagi anak-anaknya, Nina, Arya, dan Nadira. Ibu digambarkan sebagai sosok yang selalu bisa menyelami emosi anggota keluarganya. Ia adalah istri yang ideal dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Dalam urusan dapur, sumur, dan kasur, Ibu mampu menguasainya dengan sangat baik.
Sebagai istri seorang wartawan senior yang kritis, ibu cukup sabar menghadapi berbagai persoalan dalam rumah tangganya. Ibu tidak pernah mengeluh bahkan memperlihatkan emosinya sekalipun saat mereka ditimpa masalah. Seolah malaikat, Ibu selalu mengukir senyum bagi siapapun yang berinteraksi dengannya. Sampai suatu ketika, Ibu ditemukan terkapar tidak bernyawa dengan menggenggam seonggok pil tidur di lantai yang dingin.
Kematian ibu yang mengguncang seisi rumah merupakan pembuka dari kumpulan cerita pendek ini. 9 dari Nadira merupakan kumpulan cerita pendek yang terdiri dari sembilan bagian di dalamnya. Atau dapat pula karya ini disebut novel karena cerita satu dan cerita lainnya saling berkaitan satu sama lain.
Fokus cerita memang ada pada tokoh Nadira, namun tokoh ibu terus mempengaruhi keseluruhan cerita. Yang menarik pada cerita ini adalah adanya perpindahan sudut pandang yang melibatkan perpindahan narator dan fokalisasi di dalamnya.
Pada cerita 1 sampai 5, perpindahan sudut pandang selalu terjadi melalui fokalisasi tokoh ibu pada saat adegan flash back yang ditandai dengan huruf yang dicetak miring pada setiap adegan tersebut. Meskipun di awal cerita, Ibu digambarkan telah meninggal dunia, namun suara Ibu tetap muncul di setiap bagian cerita.
Tokoh Ibu adalah center yang menentukan sisi psikologis tokoh-tokoh lainnya. Menariknya, saat fokalisasi tokoh ibu, sudut pandang selalu menggunakan narator orang pertama (aku). Hal ini mengimplikasikan bahwa tokoh ibu merupakan tokoh penggerak dalam cerita 9 dari Nadira.
Mengapa tokoh ibu menjadi penting? Sosok ibu dalam keluarga sudah mewakili kesempurnaan perempuan sebagai istri dan ibu dalam masyarakat. Namun mengapa dalam cerita ini tokoh ibu justru dihilangkan nyawanya? Mengapa ibu dipaksa kalah.
Jawabannya adalah karena sosok ibu merupakan ironi dari perempuan ideal yang berkembang di masyarakat. Ibu tidak pernah merasa bahagia sehingga ibu akhirnya mencari kebahagiaan yang lain melalui sikap menyerah kalahnya.
Lewat kutipan Kami menemukan sebuah sosok yang terlentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena ia memutuskan : hari ini, aku bisa mati. Mungkin Ibu tak pernah bahagia terlihat bahwa kematian adalah pilihan Ibu. Sampai akhir cerita pun tidak dijelaskan alasan apa yang mendorong Ibu melakukan tindakan nekad seperti itu.
Dua tokoh perempuan lainnya Nina dan Nadira yang merupakan kakak beradik diceritakan juga mengalami kekalahan dalam membina rumah tangga. Nina yang merupakan perempuan yang merasa dirinya sempurna dalam kariernya tunduk kepada laki-laki playboy dan pada akhirnya harus menelan pil pahit karena suaminya tidak mampu untuk setia.
Sementara itu, Nadira, sang adik juga sama seperti kakaknya. Sosok Nadira yang rapuh menjadi takluk pada laki-laki yang dianggapnya telah mengangkatnya di masa terpuruknya. Rumah tangga mereka berakhir karena suami meninggalkan dirinya demi perempuan lain. Kedua tokoh perempuan ini sama-sama gagal dalam membina rumah tangga masing-masing.
Cerita 9 dari nadira merupakan cerita yang unik karena terdiri dari beberapa cerita pendek yang saling berkaitan satu sama lain yang apabila dibaca secara terpisah juga dapat berdiri sendiri. Masing-masing cerita pendek memiliki sub plot namun apabila disatukan maka dapat menjadi plot major.
Konflik yang terjadi beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya merupakan satu kesatuan tetapi dapat dipecah pada masing-masing bagian. Sosok Ibu digambarkan adegan setiap adegan flash backnya sebagai perempuan dan seorang istri yang ideal namun pada akhirnya menyerah dan mengakhiri hidupnya.
Peristiwa kematian Ibu yang tidak biasa berdampak secara psikologis terhadap kedua perempuannya, yaitu Nina dan Nadira. Meskipun traumatis keduanya tidak digambarkan dengan keengganan mereka berdua untuk menikah, namun keduanya digambarkan gagal dalam membina rumah tangga.
Nina bercerai dengan suaminya karena suaminya berselingkuh, begitu pula dengan Nadira yang juga bercerai. Bahkan di akhir cerita, tokoh Nadira juga terlambat menyadari cintanya terhadap Utara Bayu, seorang laki-laki yang tulus mencintainya.
Ketiga tokoh perempuan utama ini seakan bercerita, yakni Ibu, Nina dan Nadira, bagaimana melakukan perlawanan terhadap stigma perempuan ideal yang berkembang di masyarakat. Kadang ingin menyerah, tapi sadar bahwa perempuan tak boleh kalah lalu memilih pasrah. []