tersMubaadalahnews.com,- Menghapus kekerasan terhadap perempuan tak bisa hanya mengandalkan aktivis atau gerakan perempuan saja. Ulama juga harus turut andil. Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, setiap tahunnya angka kekerasan perempuan semakin meningkat.
Salah satu delegasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Faqihuddin Abdul Kodir bersama peserta lain sepakat tentang pentingannya peran ulama yang lebih nyata dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuran.
“Kerja-kerja ulama ini diperlukan untuk menanggulangi gap (pemisah) antara idealitas Islam dan realitas kekerasan yang justru dihadapi perempuan di lapangan,” kata Kang Faqih, pada acara Belajar Bersama di Thailand Selatan melalui pesan tertulis yang diterima Mubaadalahnews, 6 Desember 2018 waktu setempat.
Menurutnya, ulama adalah pewaris kerja-kerja Nabi Muhammad Saw, dan tugasnya adalah mengubah masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari keadaan kegelapan (zhulumaat) menuju terang cahaya (nuur). Dari kegelapan karena kekufuran, kebodohan, kezaliman, kekerasan dan ketidakadilan menuju cahaya keimanan, keilmuan, kebaikan, kedamaian, dan keadilan.
Lebih lanjut lagi, para ulama di Indonesia, khususnya yang tergabung dalam jaringan KUPI dalam kongresnya di Cirebon, 25-27 April 2017 lalu telah menetapkan untuk melibatkan pengalaman-pengalaman perempuan sebagai inspirasi dan pondasi dalam memutuskan pandangan-pandangan kegamaan.
Dia mencontohkan, kiprah-kiprah ulama di jaringan KUPI dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuan. Seperti KH Husein Muhammad yang menyediakan pondasi teologis, Ibu Nyai Hj. Shinto Nabilah yang aktif secara sosial kultural mengadvokasi korban-korban kekerasan, dan Ibu Hj. Badriyyah Fayyumi yang aktif secara politik mendorong peraturan, undang-undang, dan kebijakan yang dapat menghentikan kekerasan.
“Di Indonesia, kami (KUPI) sadar bahwa peran ulama tidak cukup hanya sebatas pengajaran semata, tetapi perlu memastikan bahwa kerahmatan Islam harus benar-benar secara nyata dirasakan oleh perempuan, dengan segenap peran sosial, kultural, dan politik,” tegasnya.
Sementara itu, perwakilan dari Kantor Shaikhul Islam Propinsi Narathiwat Thailand Selatan, Abdul Aziz Jehmanah menegaskan, Islam sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
“Dalam Islam, perempuan adalah kongsi hidup laki-laki, dan begitupun sebaliknya sehingga tidak ada jalan bagi kekerasan dalam Islam,” ucapnya di hadapan 37 peserta, terdiri dari delegasi KUPI dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan.
Senada, Aktivis Perempuan Thailand, Rasidah Pusu menilai, idealitas Islam ini memperoleh tantangan dari aktivis dan gerakan perempuan. Karena faktanya angka kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak, baik dalam ranah domestik maupun publik masih tinggi.
Lebih lanjut lagi, realitas ini memaksanya untuk mendatangi ulama dan aktivis Islam untuk meminta agar mereka (ulama) berperan aktif ikut menyelesaikan persoalan .
“Kerjasama dan partisipasi para ulama memudahkan kami untuk melakukan gerakan penyadaran masyarakat dan kerja-kerja advokasi korban-korban kekerasan dari perempuan dan anak,” terangnya.
Tantangan juga datang dari aktivis Sister in Islam, Azreena Abdul Aziz, yang mengetengahkan pengalaman di Malaysia. Di mana pemahaman keagaman yang ideal itu justru tidak terwujud dalam banyak benak masyarakat.
“Pemahaman agama yang ideal itu justru dibelokkan banyak ulama untuk membiarkan dan bahkan melestarikan kekerasan-kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak,” akuinya.
Dia tak sependapat ketika pernikahan anak, pemerkosaan dalam perkawinan, dan poligami, seringkali dipuja-puja sebagai sesuatu yang ideal dan Islami. Padahal pada kenyataanya justru menimbulkan kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan dan anak-anak.
“Pengalaman perempuan ini harusnya didengar para ulama dan dijadikan dasar dalam interpretasi agama,” tutupnya. (WIN)