• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kudeta Myanmar dan Marjinalisasi Sosial Politik terhadap Perempuan

Dari apa yang terjadi di Myanmar, kita belajar bahwa salah satu indikator kacau balaunya suatu negara dapat dilihat dari bagaimana peran pemerintah memberikan ruang untuk para perempuannya untuk bersuara dan memberdayakan komunitas

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
06/03/2021
in Publik
0
Myanmar

Myanmar

178
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebulan usai kudeta militer Myanmar dilangsungkan, berita duka yang menyayat hati itu bertubi-tubi datang. Selain sudah menewaskan beberapa pendemo, yang sebagian besar adalah warga sipil, Rabu lalu seorang perempuan muda dengan semangat membara meninggal dunia setelah polisi menembakkan peluru ke arah kepalanya.

Tiadanya Kyal Sin atau Angel semakin menambah panjang daftar korban jiwa akibat perebutan kekuasaan di Myanmar, negeri beribukota Yangoon tersebut. Yang miris, Kyal Sin berusia masih belia, 19 tahun. Sebelum bergabung pada aksi protes, ia bahkan sempat pamit untuk minta restu kepada kedua orangtuanya. Dengan mengenakan kaos bernada optimisme, “everything will be okay”, ia merangsek ke garda terdepan untuk memperjuangkan demokrasi. Sayangnya, malang tak dapat ditolak. Ia justru harus kehilangan nyawa demi menyuarakan kehendak rakyat.

Kisah heroik nan tragis dari seorang Kyal Sin seakan memperlihatkan potret kelam budaya patriarkis yang merambah banyak aspek kehidupan di Myanmar. Jika ditelusuri lebih lanjut, kudeta militer yang berkelindan dengan aksi brutal polisi di sana hanyalah puncak dari carut marut politik, termasuk juga gunung es marjinalisasi perempuan di berbagai bidang. Padahal, dalam satu dekade terakhir, pergerakan perempuan di sana menunjukkan banyak kemajuan, termasuk pengajuan undang-undang perlindungan dalam kasus kekerasan.

Sayangnya, upaya progresif yang sudah mulai menemukan titik terang itu menemui ganjalan besar. Bahkan terpilihnya seorang Suu Kyi yang dianggap sebagai ibu bangsa, nyatanya belum sanggup menerjang struktur pemerintahan Myanmar yang sangat konservatif. Serangan kudeta yang dilancarkan militer justru kian menggambarkan bahwa budaya akut patriarki belum sepenuhnya ditinggalkan oleh para elitnya. Sehingga keterpilihan perempuan dengan sistem demokrasi terbuka malah dianggap sebagai ancaman berat bagi percaturan politik agen-agen pemerintahan.

Terhitung sudah bertahun-tahun lamanya, konstitusi Myanmar hanya memperbolehkan kaum laki-laki untuk menduduki jabatan tertentu. Yang parah, secara nyata perempuan tidak masuk hitungan untuk posisi menteri, representasi pemerintah pusat hingga badan yang berkaitan dengan Aparatur Sipil Negara.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Walau memiliki anggota DPR perempuan (hanya sekitar 5%), dan sempat menyelenggarakan pemilu terbuka yang memenangkan Aung San Suu Kyi, pada jabatan-jabatan strategis politik lainnya, tidak banyak mengalami perubahan. Sistem politik pemerintahan Myanmar tetap menutup diri pada kiprah dan kapasitas kaum hawa. Padahal separuh dari total populasi Myanmar adalah perempuan. Bahkan statistik menunjukkan bahwa 19 juta dari 37 juta pemilih tetap pemilu 2020 lalu juga kaum wanita.

Melalui peminggiran peran perempuan secara terstruktur, aspirasi dan hak-hak perempuan di negeri Pagoda itu acap kali menemui jalan buntu. Bahkan bagi perempuan dari kelas ekonomi bawah dan golongan minoritas, nasib mereka jauh lebih memprihatinkan. Merujuk pada laporan penyelidikan PBB tentang pelanggaran HAM di Myanmar, ditemukan bahwa sekitar 82% kasus perkosaan beramai-ramai dilakukan oleh para tentara yang seyogyanya bertugas melindungi rakyat.

Peristiwa tragis tersebut bahkan dilakukan di setidaknya 10 desa di wilayah konflik Rakhine. Bahkan, dalam banyak kasus, usai diperkosa, mereka kemudian disiksa secara fisik dan mental. Beberapa diantaranya dipaksa masuk ke dalam rumah yang telah dibakar sebelumnya.

Jatuhnya banyak korban, utamanya perempuan dan anak-anak akibat kekejaman angkatan bersenjata di wilayah konflik etnis Rohingya tak juga membuka mata para pejabat militer Burma. Dalam beberapa kali perundingan perdamaian, mereka jarang melibatkan perempuan. Hanya ada empat srikandi yang sempat diberikan jabatan negosiator, tapi itu pun tidak konsisten. Bahkan dalam proses monitoring dan struktur mediasi, suara-suara perempuan terus diabaikan.

Pandangan misoginis militer Myanmar juga terefleksi dalam aturan terkait jabatan legislatif. Di sana disebutkan bahwa untuk menduduki beberapa jabatan tertentu, seseorang perlu memiliki latarbelakang militer. Sedangkan di saat yang sama, kebijakan masuk militer bagi perempuan baru saja disahkan. Itu pun, di struktur politik atas hanya ada 2 orang perempuan dari 166 orang yang disetujui oleh kalangan militer untuk duduk di kursi parlemen.

Meski banyaknya perempuan dalam dunia politik belum tentu menghentikan kudeta Myanmar, paling tidak harus dipahami bahwa alienasi perempuan dalam segala bidang juga turut menghambat perbaikan situasi ekonomi sosial hingga politik. Absennya aspirasi perempuan turut berkontribusi dalam langgengnya dominasi militer yang bertangan besi.

Dari apa yang terjadi di Myanmar, kita belajar bahwa salah satu indikator kacau balaunya suatu negara dapat dilihat dari bagaimana peran pemerintah memberikan ruang untuk para perempuannya untuk bersuara dan memberdayakan komunitas. Dan, bila hal ini sulit diwujudkan, Myanmar mau tak mau akan kehilangan lebih banyak generasi penerus unggul, terutama dari golongan perempuan seperti Kyal Sin yang sayang seribu sayang harus meregang nyawa dengan sia-sia. []

Tags: keadilanKudeta Militer MyanmarMarginalisasiPerdamaianperempuanPolitik Dunia
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID