Mubadalah.id – Kehadiran sastra pesantren dalam dunia literasi menjadi oase tersendiri bagi penikmat sastra, apalagi jika penulisnya adalah seorang perempuan yang mampu memunculkan pandangan dan pengalaman kehidupannya. Selain mudah dan ringan dibaca, karya sastra juga memiliki daya tarik tersendiri dalam mengkampanyekan isu-isu tertentu, terutama bagi masyarakat awam yang tidak gemar membaca kajian dan referensi artikel ilmiah.
Jika melihat berbagai referensi, sebenarnya sastra pesantren telah lama hadir. Seperti yang ditulis oleh Jalam D Rahman, Djamil Suherman, Acep Zamzam, Gus Mus, Syu’bah Asa, dan lainnya yang lahir di era 60-an hingga 90-an. Namun hanya sedikit bahkan bisa dikatakan satu-satunya penulis perempuan sastra pesantren di era tersebut, yakni Abidah el-Khaliqy.
Namun seiring berkembangnya trend kepenulisan chick lit and teen lit pada karya sastra, di era tahun 2000-an mulai banyak bermunculan penulis-penulis perempuan sastra pesantren dengan bahasa yang ringan dan mudah dinikmati semua kalangan. Dua di antaranya adalah Nor Ismah, seorang penulis dan peneliti dan Muyassarotul Hafidzoh, penulis novel Hilda dan Cinta dalam Mimpi di tahun 2020.
Kedua sosok tersebut juga merupakan bagian dari jaringan Kongres Ulama Perempuan yang mampu mengiternalisasi nilai-nilai dan semangat juang KUPI dalam berbagai macam tulisannya.
Lalu bagaimana cara mereka memasukkan pesan dan nilai-nilai kesetaraan dalam tulisan? Bagaimana membagi waktu antara berkarya dan berkeluarga bagi penulis perempuan? dan apa tips dan trik agar memiliki gairah menulis?
Jawaban dari pertanyaan tersebut sudah dijelaskan oleh kedua narasumber dalam acara webinar Halo dari ADHKI dengan tema ‘Sastra Pesantren dan Pesan Kesetaraan dalam Relasi Keluarga’ yang dilaksanakan 25 Februari 2021 yang lalu. Silakan kunjungi kanal youtube berikut ini: