Mubadalah.id – Menjadi perempuan di zaman modern, masih belum menjamin terpenuhinya kebebasan untuk menjalani pendidikan, dan menentukan jalan hidupnya karena pandangan konservatif yang masih dipahami masyarakat. Apalagi pandangan tersebut datang dari keluarga sendiri, terlebih orang tua.
Peran mereka sebagai orang tua seringkali mengontrol penuh anaknya dengan dalih untuk kepentingan keluarga dan kebaikan bagi si anak, namun justru membatasi ruang gerak dan perkembangannya, khususnya hak memperoleh pendidikan yang tinggi.
Acap kali orang tua yang melarang anak perempuannya bersekolah sampai sarjana, mereka beralasan bahwa perempuan lebih baik bekerja atau menikah untuk meringankan beban orang tua. Padahal banyak kesempatan terbuka lebar bagi pelajar yang kurang mampu secara finansial untuk terus melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, misalnya lewat jalur beasiswa.
Saat ini, sudah sangat beragam jenis beasiswa pendidikan yang ditawarkan baik dari instansi negeri maupun swasta. Mulai dari beasiswa keluarga kurang mampu, tahfidz Al-Qur’an, berprestasi akademik maupun nonakademik, bahkan ada pula beasiswa santri.
Beberapa pesantren justru menawarkan penangguhan biaya pendidikan dengan syarat dapat mendedikasikan diri di pesantren sebagai bentuk pengabdian. Bahkan, banyak pelajar dan mahasiswa yang bersekolah sambil berbisnis atau mengajar les private. Jadi, alasan ekonomi bukan menjadi penghalang untuk bisa melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Tak hanya alasan yang bersinggungan dengan ekonomi saja. Alasan lainnya adalah orang tua menganggap tidak aman bagi anak perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan, kuliah di luar kota atau bahkan luar negeri. Mereka terlalu mengkhawatirkan kondisi anak perempuannya jika mengalami kesulitan di perantauan atau terpengaruh pergaulan yang tidak baik.
Padahal, anak perempuan juga bisa mandiri dan menjaga dirinya sendiri. Seringnya anggapan tidak aman tersebut hanya karena ia menjadi perempuan, tetapi jika pada anak laki-laki, orangtua tidak keberatan melepas anaknya pergi jauh untuk melanjutkan pendidikan, menimba ilmu tanpa menyadari bahwa situasi semacam itu bisa juga dialami oleh anak laki-laki.
Bahkan untuk pemilihan jurusan pun beberapa orang tua merasa memilih kendali atas anaknya. Seperti halnya anak perempuan yang dianjurkan untuk memilih jalur pendidikan sebagai guru, perawat, atau jurusan yang prospeknya sesuai dengan profesi perempuan di masyarakat. Ia tidak diperkenankan dengan jurusan teknik atau ilmu politik yang dianggap maskulin.
Stereotip maskulinitas bagi orang-orang teknik atau yang menduduki jabatan penguasa, membuat ruang gerak dan berkembang perempuan terbatas. Pilihan pendidikan guru dan perawat dikonstruksi sebagai jurusan yang paling cocok untuk anak perempuan, karena dianggap bisa mempersiapkan masa depan menjadi ibu yang baik dengan bisa mengajari anak dan merawat keluarga.
Padahal, memberikan pendidikan anak dan merawat keluarga adalah kewajiban bersama antara ibu dan bapak, bukan dilimpahkan kepada perempuan saja. Beban ganda senyatanya sering dialami perempuan. Belum lagi beban psikis yang diterima ketika perempuan sudah berhasil meraih pendidikan yang tinggi.
Beberapa orangtua seringkali menasehati anak perempuannya untuk bisa ngerem, jangan melanjutkan sekolah magister dulu, jangan kerja dulu, jangan jadi kaya dulu, dengan dalih supaya anak perempuan tidak sulit mendapatkan jodoh di kemudian hari. Pemikiran konservatif ini menganggap perempuan tidak boleh mengungguli laki-laki.
Alih alih menyarankan anak perempuan menjadi pribadi yang berdaya, mandiri, dan kaya, orang tua justru mendorongnya untuk bisa memasak aneka macam masakan dan membersihkan rumah. Apakah kelebihan yang dilihat masyarakat pada anak perempuan hanya soal urusan dapur dan pekerjaan rumah tangga saja?
Menurut Ibu Nyai Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm dalam bukunya yang berjudul Nalar Kritis Muslimah, citra perempuan ideal dalam Al-Qur’an di antaranya; mempunyai kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah) yang tercermin dalam QS. Al-Mumtanah [60]: 12, seperti Ratu Balqis sebagai contoh perempuan penguasa yang mempunyai kerajaan besar dan berpengaruh, laha ‘arsyun azhim (QS. Al-Naml [27]: 23).
Citra perempuan dalam Al-Qur’an juga memiliki kemandirian secara finansial (al-istiqlal al-iqtishad) dalam QS. al-Nahl [16]: 97, sebagaimana pemandangan yang disaksikan Nabi Musa ketika melihat perempuan pengelola peternakan di Madyan (QS. al-Qashah [28]: 23).
Bahkan, dalam QS. al-Tahrim [66]: 11-12, perempuan memiliki otoritas untuk menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshiy) yang diyakini kebenarannya meskipun harus berhadapan dengan suami bagi perempuan yang telah berkeluarga, atau menantang paradigma masyarakat yang merugikan, dan menyuarakan kebenaran dengan tindakan oposisi terhadap berbagai hal yang memicu kehancuran (QS. al-Taubah [9]: 71).
Ada banyak perempuan sukses, berpendidikan, dan kaya yang bisa kita ambil contoh, seperti; Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW yang mendermakan hartanya untuk dakwah Islam. Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru yang berhasil menekan lonjakan kasus Covid-19 di negaranya. Dan RA. Kartini yang dengan sangat berani dan tekad kuatnya untuk memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia.
Jadi, tidak ada alasan untuk membatasi ruang gerak dan berkembangnya perempuan untuk bisa mendapatkan hak memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini karena perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam urusan belajar dan mendapatkan pendidikan terbaik. []